"HAH? Yang genah aja ... Aku belum ijin, belum ngomong Dion, belum pernah ke SMA Semesta juga. Jangan ngawur, deh. Kalau mau cepat kelarin tugas, nggak gini caranya."
Serga hanya diam mendengar omelanku. Tidak tampak tersinggung, tidak tampak setuju juga. Dan aku agak menghargainya untuk itu.
Salah sendiri melontarkan ide gila mendadak begini. Dikira SMA Semesta dekat dari sekolah? Dulu Jinny pernah cerita ikut menyaksikan pertandingan olahraga di sana. Butuh waktu 30 menit untuk berangkat (itupun kalau tidak macet), belum lagi risiko kalau pertandingan sparring-nya sudah selesai saat kita sampai di sana. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab rencana ceroboh begini.
Aku mulai mempertanyakan sikap Serga yang semakin lama semakin mencurigakan. Tanpa angin dan hujan ia mendadak menemuiku di kelas, mendiskusikan soal wawancara dan kini, dengan nekat mengajakku untuk pergi ke gedung olah raga bersama. Ingat bagaimana pemuda ini begitu cuek dan masa bodoh tentang tugas artikel?
Kenapa tiba-tiba antusias sekali?
"Kalau masalah izin, aku nggak bisa ngomong apa-apa," balasnya sembari mengangkat kedua tangan pasrah. "Tapi hari ini kesempatan satu-satunya untuk kenalan sama Elfredo―well, sebelum wawancara. Siapa tahu, kalian cocok dan bisa ... lebih dekat."
Aku langsung menggeleng sebagai respon refleks atas kalimat terakhir Serga. Membayangkan sosok Dodo si pemain basket populer yang hobi ke mall, punya banyak teman cewek, sering mendapat DM Instagram dari anak angkatan lain langsung membuat perutku mulas. Dunia kami jelas berbeda. Kalau bukan demi tugas artikel klub Bu Suci, aku juga enggan berinteraksi dengan siswa populer.
"Kenapa nggak ngomong dulu kemarin ..." gumamku, memijat pelipis lelah. Aku tahu perkataannya benar, sejujurnya aku juga berpikir ide 'berkenalan sebelum wawancara' ini ide cemerlang. Tapi, bagaimana dengan Dion? Ia berjanji akan mengantarku pulang hari ini. Bagaimana dengan Charlie? Bagaimana dengan Mama yang―ugh, bahkan membayangkannya membuat kepalaku berkedut pening.
"Lain kali jangan mendadak, dong," kataku, "Mamaku bukan tipe orang yang gampang diminta ijin."
Serga menghela napas, merogoh sesuatu dari sakunya. Sebuah ponsel. "Minta nomor kamu."
"WhatsApp?"
"Ya masa OVO?" katanya, entah berniat bercanda atau memang kesal sebab nadanya terdengar ketus. Tak lama ia mengerjap merasa bersalah. "WhatsApp boleh, ID Line juga boleh. Nomor yang bisa aku hubungi untuk diskusi."
Aku menerima ponselnya, mengetikkan nomorku di sana.
"Hari ini fix nggak bisa, ya?"
"Nggak bisa, sori," jawabku.
Serga mengangguk paham. Dengan gerakan canggung ia melambaikan tangannya sebagai gerakan "oke, selamat tinggal" sebelum berbalik pergi, meninggalkanku sendirian di lapangan. Sudah di bawah sini, aku jadi malas kembali ke kelas. Kupandangi lagi lapangan outdoor yang kosong.
Aku yakin Serga tak berbohong, ada bekas jejak sepatu dan botol Pocari Sweat kosong di tengah lapangan-aku yakin itu bekas anak Basket. Kebiasaan mereka selalu meninggalkan jejak setelah latihan. Coach pernah ditegur kepala sekolah yang waktu itu mengadakan kunjungan keliling untuk melihat situasi sekolah, tapi tidak ada perubahan signifikan. Mereka masih sering membuang sampah di lapangan dan menganggap seolah itu hal biasa.
Aku pernah menanyakan hal serupa pada Dion, tapi reaksinya hanya, "Oh, masa sih? Tim sebelah kali, timku nggak pernah ninggalin sampah di lapangan."
Lalu aku membayangkan wajah-wajah anak "tim sebelah", langsung aku mengangguk paham.
Sistem tim basket di sekolahku memang sedikit berbeda. Ada cukup banyak anak potensial dan berbakat dalam olahraga, itulah mengapa seleksi untuk bergabung tim futsal dan basket sangatlah ketat. Setelah bergabung pun, kamu tidak bisa menentukan sembarang tim untuk bertanding. Coach yang akan menentukan, tentunya disertai pertimbangan dan rapat yang matang. Tim yang baru terbentuk akan diamati pergerakan dan perkembangannya selama 3 bulan, dan kalau tidak ada masalah, maka tim itu dinyatakan "tetap" dan bisa bertahan hingga satu semester. Atau bertahun-tahun malah, seperti tim Dion.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Teen FictionCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...