BESOK paginya, Dion mengirimiku pesan:
Dion Riyanto
Hari ini tante berangkat pagi, 'kan?
Aku jemput di rumah, ya
Aku hendak menolak, tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya untuk sesekali mengajak Dion mampir ke rumah. Ia sudah menjemputku sejak kelas awal masuk SMA, tapi baru dua kali main ke rumah (itupun yang kedua, ia harus menghadapi puluhan pertanyaan dari Mama yang mirip interogasi). Sejak itu aku selalu bertemu Dion di depan gang.
Aku menggigit potongan terakhir rotiku sebelum mengetik balasan:
Cindy Priscilla
Oke
Setelah itu, aku menghabiskan sisa susuku dalam sekali teguk. Aku jarang sarapan roti dan susu, Mama bilang roti tidak mengenyangkan, tidak akan bisa mengganjal perutku sampai jam istirahat pertama. Jadi selama dalam pengawasannya, aku selalu diberi sepiring penuh isi kalori: menu-menu seperti nasi goreng, nasi dan telur mata sapi, kentang rebus dan potongan wortel (tapi lebih sering nasi).
Pagi ini Mama berangkat pukul 6 pagi untuk urusan pekerjaan. Ia bahkan tidak repot-repot mengucapkan selamat tinggal padaku, hanya berupa post it yang ditempel di kulkas bertuliskan: Sarapan hari ini bubur oat sudah Mama siapkan dalam kulkas. Hangatkan saja kalau mau makan. Sarapan untuk Charlie nasi merah dan sosis instan 2 buah, jangan banyak-banyak. Minum susu jangan lupa.
Lalu pada pojok kiri catatan, sebuah tulisan kecil:
Love,
Mama.
"Kenapa Mama pergi pagi-pagi?" Charlie bertanya dengan mulut penuh sosis.
"Mama ada urusan di kantor," Aku menyabet selembar tisu dan mengusap mulutnya yang penuh remah roti. "Cepat habiskan sarapanmu, tiga puluh menit lagi kakak harus berangkat. Kalau lama, nanti kakak tinggal."
Mendengar ancamanku, Charlie buru-buru menyuap sisa sosisnya. Namun toh, bukan adikku namanya kalau ia tidak mengoceh, "Kakak baik banget masakin sosis dan roti panggang buat Charlie. Kalau Mama tahu pasti kakak kena marah, kakak nggak apa-apa?"
Aku menelan ludah, berpaling untuk menaruh piring dan gelas kotor pada tempat cucian. "Hari ini hari spesial," jawabku, berusaha terdengar seceria mungkin di depan bocah berusia 6 tahun, "Nggak usah mikirin kakak, kamu makan aja yang banyak."
"Kalau tiba-tiba Mama tahu gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana."
"Kalau kakak dimarahi?"
Aku menyahut asal, "Nggak apa-apa. Udah biasa."
"Tapi, Charlie nggak suka ...."
Aku menoleh dengan alis bertaut. "Charlie nggak suka sosis?"
Charlie menunduk, hanya memainkan sisa sosis dan sepotong begel di piring. "Bukan," jawabnya pelan, "Charlie nggak suka lihat kakak sama mama berantem terus. Rasanya jadi aneh. Charlie nggak papa, kok, makan nasi merah asal Mama nggak marahin kakak lagi."
Tatapan itu.
Hatiku teriris. Benci sekaligus penuh belas kasih. Mama keterlaluan. Bisa-bisanya memaksa bocah beusia enam tahun untuk hidup dalam ekspetasinya. Charlie tidak pernah melawan saat Mama beri nasi merah―ia hanya diam, menatap gumpalan beras matang itu di atas piringnya, menguyah dalam diam.

KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Roman pour AdolescentsCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...