KERINCING bel café terdengar tepat saat aku mendorong pintu kaca dan melangkah masuk. Atmosfer ramai mall langsung berubah. Aroma kopi dan pastry bercampur cokelat menggelitik hidung, langsung membuat perutku meraung-raung. Refleks kugigit bibir, berusaha menahan godaan untuk melirik ke arah rak roti dan malah menelusuri isi kafe dan mencari sosok pemuda.
Ah, ketemu!
Kulambaikan tangan ke arahnya, pas ketika tatapannya juga mengarah padaku. Dion balas melambai, kemudian mengibas-ngibaskan tangannya menyuruhku datang. Seperti biasa, ia memilih bangku paling dalam dan pojok, bersebelahan dengan dinding. Setelah mengempaskan tubuh pada bangku di hadapannya, Dion langsung menyodorkan sepiring croissant cokelat dengan hamburan Almon di atasnya. "Aku baru pesan, masih hangat."
Kukulum senyum. "Makasih. Maaf telat, tahu sendiri gimana sulitnya minta izin sama Mama."
Dion hanya tersenyum, sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Padahal aku yakin, sudah lebih dari 30 menit ia menunggu di sini. "Gimana kabar Tante?"
Aku menggigit ujung croissant-ku, dalam hati memekik girang saat mengecap manisnya cokelat. "Masih sama galaknya," jawabku yang langsung dibalas tawa. Setelahnya baru kuralat, "Baik, cuman ya gitu ... lebih sibuk. Setiap pulang kerja selalu aja uring-uringan. Kemarin habis ribut sama Charlie gara-gara urusan PR."
Konversasi kami tersela tiba-tiba saat seorang pelayan datang untuk membawakan buku menu. Dion dan aku memesan minuman favorit kami seperti biasa: Ice caramel latte. Aku sebenarnya tidak terlalu boleh minum minuman manis sekarang―kemarin aku sudah menelan segelas latte dengan gula, popcorn karamel, dan selusin donat JCO pemberian Jinny. Tapi memikirkan tumpukan tugas sekolah minggu depan, kepalaku jadi berkedut lagi. Persetan apa kata Mama tentang makanan manis, aku butuh campuran gula dan kafein untuk menjaga diri tetap waras.
"Kayaknya bukan Charlie aja yang banyak tugas," ujar Dion, tepat setelah pelayan meninggalkan meja kami. "Akhir-akhir ini kamu juga sering pulang telat."
"Ya, gitulah. Banyak tugas," sahutku, kembali menggigit croissant. "Minggu-minggu menjelanf ujian, mendadak semua guru gopo ngumpulin nilai."
"Kayaknya bukan tugas sekolah biasa, deh."
Alisku refleks berkerut tak suka. Dion bukan tipe orang yang suka menyindir, tapi kalau ia sudah menyindir, berarti ada sesuatu yang ingin ia katakan namun terlalu malu untuk mengatakannya secara langsung. Atau, terlalu gengsi. Atau, terlalu malas dan ingin aku menebak sendiri. Kadang kalau malas meladeni, aku tidak menanggapi dan kami berakhir mogok bicara―rekor paling lama, 7 hari.
Namun hari ini suasana hatiku sedang baik. Aku tidak mau bertengkar dengan Dion hanya karena masalah sepele. Jadi mengembuskan napas, aku menjawab dengan aras-arasan, "Ada tugas ekskul jurnal. Nulis artikel tentang siswa, agak ribet emang."
Dion memajukan tubuh, kedua tangannya bertumpu di atas meja, matanya memandangku dengan anti dan skeptis. "Aku baru tahu ekskul bisa bikin siswa pulang telat 3 hari berturut-turut."
Oh, masalah pulang sekolah. Aku memutar bola mata, mendesah lelah. "Ya 'kan aku baru pindah ekskul, jelas sibuk."
"Ya karena kamu baru pindah dan klub jurnal juga baru dibentuk, aku bingung kenapa dari Rabu sampai Jumat kemarin kamu pulang malam."
"Ada kerja kelompok," ucapku pelan.
"Kerja kelompok 3 hari berturut-turut dan belum selesai?" Dion terdengar tak percaya. Ia akan mengomel lebih panjang kalau saja pelayan tidak datang dan mengantar pesanan kami. Sejenak, ia memutuskan untuk diam, seolah menungguku mengatakan permintaan maaf atau apapun. Namun, aku tidak mengatakan apa-apa dan memilih untuk menyeruput minumanku dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Teen FictionCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...