PAGI itu, aku bangun dengan perasaan campur aduk: marah, gelisah, kecewa, menyesal, dan malu.
Malu yang teramat sangat.
Oh, astaga. Kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali melakukan sesuatu tanpa berpikir dulu? Dari janji dengan Jinny, konfrontasi dengan Serga, lalu semalam.
Apa yang kupikirkan saat mengirim permintaan maaf pada Serga Wilantara lewat pesan?
Bagian terburuknya adalah pagi ini: ketika aku terbangun dan mengira mimpi semalam adalah nyata, mendadak tertampar relitas ketika membuka WhatsApp dan melihat tanda dua centang biru dalam kolom pesan teratas. Serga telah membacanya. Dia telah membaca permintaan maaf daruratku pada pukul 1 subuh dan tidak membalas.
Ah, aku pasti kelihatan bodoh sekarang.
Atau lebih parah, Serga menganggapku siswa freak yang plin-plan. Siangnya punya tingkat percaya diri tinggi melampaui langit, malamnya malah memohon-mohon maaf lewat pesan.
Bodoh, bodoh sekali.
"Kak, nanti Charlie boleh main di rumah kak Dion?"
Lamunanku buyar. Aku melirik ke arah bocah gembul yang kini menusuk-nusukkan garpunya pada sepiring brokoli rebusku. Aku mendengkus setengah tertawa. Lucu sekali bagaimana adik manisku punya kebiasaan memainkan sarapan orang saat sedang berbisik-bisik padaku. Jelas, kami tidak bisa bicara soal "Dion" keras-keras. Baik aku dan Charlie sama-sama tahu, Mama benci melihatku dekat dengan lelaki.
"Kenapa harus main ke rumah kak Dion?" tanyaku, ikut berbisik. "Charlie, 'kan, lagi banyak PR."
"Kan tiap Rabu kakak ekskulll. Nanti Charlie sendirian lagi di rumah dong?"
Hari ini hari Rabu? Bagus. Berarti hari ini aku harus mengikuti ekskul jurnal, yang mana berarti aku harus bertemu dengan Serga.
Aku menghela napas frustrasi.
"Boleh ya, kakk? Nanti Charlie bawa buku PR, deh, kerjain PR sama kak Dion. Janjiii."
"Iya, boleh. Tapi seperti biasa, jangan rewel dan janji PR-nya harus sudah selesai."
Aku memberi tahu keinginan Charlie tersebut pada Dion, dan sesuai dugaanku pemuda itu sama sekali tidak keberatan. "Baguslah dari pada dia sendirian di rumah," katanya setelah kami sampai di parkiran sekolah.
"Iya, sih, tapi aku juga nggak enak kalau dia lama-lama di rumah kamu."
"Ya elah, kayak sama siapa aja." Dion tertawa.
"Mangkanya, jangan dimanjain, dong! Jangan beliin Charlie cemilan atau mainan terus. Nanti kebisaan."
"Siap, Tuan Putri," balasnya sambil terkekeh-kekeh.
Aku berdecak mendengar ledekan Dion kala tiba-tiba sesosok pemuda melintas tepat di depanku. Hatiku berdegup. Tapi sosok yang dimaksud, Serga, malah dengan santainya berjalan melintasi koridor seolah tak terjadi apa-apa.
Hah ... bahkan sebelum pengumuman pagi pun, aku tahu hari ini akan berjalan panjang dan melelahkan.
***
Tapi, dugaanku salah. Hari itu, secara mengejutkan, malah berlalu begitu cepat dan kabur. Jam biologi digunakan untuk presentasiーkhusus untuk kelompok yang belum dapat giliran, sementara kelompokku sudah tampil urutan pertama minggu lalu. Kemudian, dua jam pelajaran berikutnya diisi dengan jam kosong sehingga aku langsung meluncur ke perpustakaan. Belum lagi absennya guru Matematika Wajib sehingga kami (lagi-lagi) diberi jam kosong berkedok "tugas"ーiya, karena tidak ada yang mengerjakan dan tidak jelas pula dateline-nya.

KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Teen FictionCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...