HARI itu terasa bagai neraka.
Kelas pertama diisi oleh pelajaran Bahasa Inggris, dan seperti biasanyanya, Pak Sigit selalu punya ide brilian perihal "membuat siswa terlambat istirahat dengan siksaan tugas". Dua jam kelas diisi oleh celotehan motivasi yang lebih mirip senandung nina bobo (sebab kulihat, nyaris seisi kelas merebahkan kepala di atas meja) selama 40 menit, 40 menit berikutnya diisi dengan kuis dadakan tentang grammar dan vocab bahasa Inggris, lalu pada 30 menit terakhir, Pak Sigit baru memberi tugas menulis sebuah teks persuatif bertema pendidikan.
Siapa saja yang bisa mengumpulkan hasil esai sebelum jam istirahat akan emndapat tambahan 10 poin untuk Penilaian Tengah Semester. Aku sudah semangat mengejar reward spesial itu, tapi sialnya di tengah proses menulis, dua pulpen favoritku berhenti bekerja, tipex-ku rusak, dan saat aku hendak mengumpulkan hasil karanganku yang penuh coretan, ini feedback yang kuterima:
"Kamu tahu apa yang membuat sebuah karya tulis bisa dinikmati pembaca, Cindy?"
Aku terpaku, tidak bisa menjawab. Namun dari tatapan liciknya, aku tahu ia akan mengerjaiku habis-habisan saat berkata dengan suara keras, "Karena ada tulisan yang bisa dibaca dengan jelas."
Pak Sigit menyeringai, sama sekali tidak merasa bersalah saat menunjukkan kertasku di depan kelas. "Kamu mau Bapak membaca tulisan seperti ini?"
Aku mendengar dengkusan bercampur tawa samar dari teman-teman di belakang. Beberapa bahkan tidak enggan untuk bergumam dengan suara keras, "Bodoh, salahnya sendiri terburu-buru."
"Ini, kamu bisa tulis ulang dengan tulisan yang jelas dan rapi."
Dengan wajah merah padam, kuterima kertas itu. Saat bel istirahat berbunyi dan Pak Sigit sudah keluar, aku segera mengambil berlari keluar kelas. Dari belakang kudengar Jinny mengejarku, tapi aku tidak repot-repot untuk berhenti atau menoleh sedetik pun. Aku berlari sampai ke lapangan belakang, duduk dan terengah-engah di bangku penonton bagian tengah.
Dadaku kembali sesak, mataku penuh dengan air mata. Aku tidak suka menangis di tempat umum, tapi pikiranku tak henti memutar peristiwa memalukan tadi. Bagaimana bisa Pak Sigit memperlakukanku seperti itu di depan kelas?
Sebentar lagi, mereka akan mengecapku sebagai "Cindy, siswa SOK PINTAR yang menulis asal-asalan hanya demi nilai". Atau mungkin, mereka akan mengenalku sebagai siswa yang haus nilai. Aku tidak suka. Aku benciーsangat benci―mendapat pandangan serendah itu di mata orang.
Bagaimana kalau mereka pikir aku tidak sebaik itu?
Membayangkan bagaimana nanti namaku akan disebut dalam perkumpulan mereka, dijuluki dalam grup kelas sebagai "Si Pintar yang Ambisius" (jangan pikir aku tidak pernah membaca walau memang jarang aktif dalam group chat).
Dadaku sesak, aku buru-buru mengambil napas untuk menenangkan diri.
Jangan nangis, jangan nangis.
Aku menggigit lidah sendiri untuk menahan air mata. Suasana istirahat semakin tampak dalam pandanganku yang kabur―siswa berhamburan keluar kelas, berdesakkan turun melewati tangga yang tampak bagai sekumpulan semut. Lapangan outdoor-ku terletak di depan gedung. Ada jarak belasan meter antara garis paling luar lapangan dengan baris kursi penonton paling bawah. Dari jarak sejauh ini, semua objek yang ada dalam sekolah terlihat mungil.
Aku sering kemari pulang sekolah, hanya untuk melihat seberapa besar bangunan tempat aku menuntut ilmu dan menyadari seberapa kecil diriku. Dramatis, memang. Namun entah mengapa, cara ini selalu berhasil membuatku merasa lebih baik.
Matahari siang ini cukup cerah, sesekali angin sepoi membelai poniku lembut. Well, memang kenapa kalau Pak Sigit berniat menjatuhkanku? Memangnya kenapa kalau semua siswa berpikir aku ambisius?
KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Fiksi RemajaCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...