"KAMU tulis ulang semuanya?"
"Iya, Bu."
"Termasuk ganti tema?"
Aku mengangguk pelan. "Saya rasa, draf pertama saya masih sangat kurang. Sesuai saran Ibu, saya rombak gaya bahasa dan coba buat kerangka sebelum nulis. Untuk tema sendiri, saya nggak benar-benar 'ganti', saya tetap menulis tentang cyber-bullying dengan fokus pada denigrationー" aku langsung teringat Serga, "ーpencemaran nama baik seperti gosip, rumor tidak benar yang merusak reputasi seseorang. Saya rasa, itu kenakalan remaja melalui media digital yang jarang dibahas."
Bu Suci mengangguk-angguk meresponi penjelasanku, sementara matanya masih menelusuri dua lembar artikel padat yang kucetak semalam.
Setelah konversasi dengan Serga dua hari lalu, aku banyak mengurung diri di kamar untuk memperdalam riset sekaligus merevisi artikelku. Awalnya, aku juga enggan mengganti tema. Dateline semakin dekat, dan rasanya mustahil aku bisa menulis satu artikel baru dengan tema yang "baru" pula.
Tapi setelah membaca ulang draf artikel pertamaku, aku mulai sadar kenapa Bu Suci mengatakan tulisan ini mentah dan dangkal. Tidak banyak hal yang kuketahui tentang cyberbullying. Ada beragam jenis, elemen, contoh, bahkan detil terkecil yang tidak kujelaskan. Tulisanku hanya berputar-putar soal definisi, perasaan korban, dan dampak.
Itupun masih sangat dangkal.
"Kalau dibanding yang kemarin, yang ini jauh lebih bagus." Bu Suci membenarkan letak kacamatanya, matanya bertemu mataku dan tersenyum. "Gaya bahasanya lebih santai, ngalir, tapi masih baku dan sesuai KBBI. Pembahasan materi lebih dalam, ada contoh analisis kasusnya juga. Keren, Cindy. Ibu selalu tahu kamu bisa diandalkan."
Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi pujian itu setelah sebelumnya artikelku dianggap buruk. Aku senang, jelas. Aku lega, tentu sajaーsenyum dan binar mataku sudah menunjukkan itu semua. Tapi di saat yang sama, sebuah kesadaran lantas mengetuk benakku keras-keras: Apa Bu Suci serius mengatakannya? Ini bukan wujud kasihan untuk kegagalan artikelku yang pertama, 'kan? Apa aku benar-benar bisa diandalkan?
Kemudian, bahkan sebelum aku bereaksi apa-apa, tanda tanya selanjutnya menyerbu bagai hantaman di depan wajah:
Apa ini tandanya aku lebih baik dari Mei?
Napasku tertahan. Segera kutepis pikiran itu jauh-jauh.
"Sebenarnya, Ibu senang banget kamu dan Mei sama-sama ikut lomba ini. Mei juga penulis berbakat. Dia punya gaya bahasa yang khas dan adiktif. Kamu sudah pernah baca novel online-nya? Sekali baca, sulit untuk lepas. Lagian, lumayan kalau kalian berdua ikut dan salah satu menang, atau kalau bisa dua-duanya menang, bisa mengharumkan nama sekolah."
Aku tersenyum, walau lebih seperti meringis. Salah satu.
Hanya ada tiga juara yang dipilih dari lomba ini. Dan aku tahu bahwa kecil kemungkinan bagiku dan Meiーbagi kami berduaーuntuk sama-sama masuk dalam deretan pemenang. Sepositif apapun pendapat Bu Suci mengenai lomba ini, itu tetap tidak mengubah fakta bahwa aku dan Mei adalah saingan.
Kami adalah saingan. Lebih parah, ia adalah adik kelasku dan sudah mengantongi lebih banyak pengalaman dalam bidang menulis. Seandainya Mei benar-benar menang, seandainya ia yang dikalungkan penghargaan dan fotonya dipajang di banner sekolah sebagai "SISWA BERPRESTASI MENANG LOMBA", aku yakin Mama akan menyuruhku berhenti menulis selamanya.
Pilihanku hanya satu: menang atau tidak sama sekali.
Memikirkan itu langsung membuat perutku melilit. Aku mengatakan "terima kasih" pada Bu Suci dan pamit keluar. Aku melirik jam di ponsel, masih ada lima belas menit waktu istirahat kedua. Kuputuskan untuk pergi ke kantin.
![](https://img.wattpad.com/cover/289010983-288-k765576.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Подростковая литератураCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...