SESUAI dugaanku, Mama sangat menentang gagasan lomba menulis artikel tingkat nasional itu.
Menurutnya, kompetisi tersebut murahan, tidak bermodal, payah, dan diadakan hanya sebagai ajang buang-buang waktu siswa. Sumbernya tidak jelas, saingannya tidak seberapa, hadiahnya hanya berupa sertifikat abal-abal, yang katanya, tidak akan berguna untuk mendaftar universitas bergengsi manapun.
"Bilang sama Bu Suci kamu mengundurkan diri."
Aku hanya mendengkus untuk menutupi kekesalanku.
Mama membuka-buka ponsel dengan gerakan sibuk (atau sok sibuk), sebab aku mengenalnya dengan sangat baik untuk tahu gerakan itu hanya sebagai pengalihan saat ia merasa sangat marah atau canggung. Aku rasa, dua-duanya sedang terjadi sekarang. Rumah kami memang tidak semegah dulu, tapi luasnya lebih dari cukup untuk ditinggali satu orang dewasa dan dua orang anak. Plus, Charlieーadikku dengan pipi gempal dan hobi mengocehーtidak ada di sini sekarang. Sudah lama sejak terakhir aku menghabiskan waktu sarapan berdua hanya dengan Mama, mungkin itu yang membuatnya sedikit gugup.
"Aku udah terlanjur isi formulir, udah nggak ada waktu untuk mundur," sahutku, berusaha terdengar se-tak acuh mungkin sembari memainkan brokoli rebus di atas piring. Mama terobsesi memasak sayur rebus sejak Papa pergiーtanpa garam atau bumbu penyedap apapun. Alasannya, ini bagus untuk kesehatan. Tapi aku yakin ini hanyalah cara lain Mama untuk membuktikan diri bahwa ia bisa bahagia dengan caranya sendiri paska kepergian Papa (sebab sayur rebus adalah makanan yang paling Papa benci, dan tidak ada satu pun anggota keluarga kami yang suka makan makanan hambar tanpa bumbu begini).
"Kalau gitu, Mama yang akan ngomong sama Bu Suci."
Aku memutar bola mata. Siap-siap drama baru di hari baru. "Ma, kenapa sih?" Decakanku mengudara, nadaku meninggi bahkan sebelum dapat kucegah, "Ujian udah selesai, tenggat lombanya juga masih lama. Nggak akan ganggu belajarku, kok!"
Mama balas menyentak, "Tapi kamu keluar klub olim demi lomba ini, 'kan?"
Keningku lantas mengernyit dalam-dalam. Aku tidak pernah memberitahu Mama soal klub itu ....
"Kenapa?" Mama menatapku dengan penuh kemenangan, poninya yang menutupi mata disibakkan dengan gaya angkuh khas ibu-ibu karier. "Kaget Mama tahu sekarang?"
Aku hanya terdiam, kalah telak. Nafsu makanku langsung memudar, mulutku terasa hambar mendadak. Aku benci sarapan di pagi hari, tapi hari ini ada pelajaran Fisika yang menuntut kerja pikiran yang ekstra. Seharusnya sarapan akan membuatku merasa lebih baik, awalnya kupikir begitu.
Sampai Mama membawa-bawa topik ini lagi.
"Mama sampai heran dengar berita itu dari orang lain." Mama tertawa sarkas. "Mama kira kamu ngerti perjuangan Mama. Mama kira dari semua orang, cuman kamu satu-satunya yang bisa Mama andalkan."
Perutku seolah teraduk.
Mama menggeleng dengan senyum sarkas. "Tapi ternyata Mama salah."
Rasanya telur dadar itu sudah berlari ke pangkal tenggorokan. Aku membekap mulut dengan satu tangan, semakin mual.
"Kelakuanmu mirip seperti Papa kamu. Ceroboh, nggak pikir panjang, pengecut. Bilang aja kamu keluar klub olim karena takut kalah saing sama anak kelas 11, 'kan?" Mama mendesak. "Iya, 'kan?!"
Baiklah, sudah cukup. Aku langsung berdiri, menyabet tas dengan satu tangan dan berjalan keluar rumah. Mama masih berteriak murka di belakang, menyerukan namaku beberapa kali yang kutanggapi dengan gelengan tanpa repot-repot menoleh. Aku berlari sampai ke gerbang perumahan, peduli setan dengan tali sepatuku yang belum diikat. Rasanya pagi ini seperti neraka; perutku mual, tenggorokanku panas, dadaku sesak layaknya diisi penuh oleh setangki air.

KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Teen FictionCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...