"HAH? Bukannya eksositosis, ya? Nomor dua puluh baru endositosis. Ya elahhh, kemarin udah belajar masa salah semua."
Aku tersenyum enggan, kembali menunjukkan catatan pada Nayla yang kini tengah garuk-garuk kepala. Dengan sabar kujelaskan ulang, "Peristiwa menelan bakteri oleh fagosit jelas termasuk fagositosis. Fagositosis termasuk endositosis. Nah, kalau nomor dua puluh baru kebalikannya, eksositosis."
"Hadeh." Nayla berdecak, melipat lembar jawabannya pasrah. "Emang kayaknya nggak usah belajar bio. Percuma belajar, bakal kalah sama orang yang udah pintar dari sananya."
"Mana ada," kataku, tertawa kecil hanya sebagai kesopanan, "optimis dulu aja. Masih dua nomor yang salah, siapa tahu sisanya benar."
"Amin amin!"
Bel istirahat kemudian berbunyi. Nayla pamit dan langsung mengikuti gerombolannya ke kantin. Sama seperti mayoritas siswa lain di kelas, Nayla hanya datang padaku untuk menanyakan hal-hal seputar sekolah: mencocokkan jawaban paska ujian, menanyakan tentang tugas, dan kadang mengobrol panjang lebar soal kerja kelompok (itupun kalau kita sekelompok walau jumlahnya bisa dihitung jari). Hubungan khas "teman" sekelasーkalau memang itu bisa disebut teman.
Tapi, aku sama sekali tidak masalah. Suasana hatiku cukup bagus hari ini. Sudah hari terakhir penilaian harian, ujian Biologi kuselesaikan dengan sempurna. Well, tidak sempurna-sempurna juga karena masih ada satu dua nomor yang kujawab asal, tapi sisanya amanーplek denga napa yang kuhafalkan semalam. Tak sia-sia aku tidur pukul tiga subuh sembari mencari contoh soal pilihan ganda lewat Google, bank soal guru ternyata tidak seluas itu.
"Hei. Gimana bio? Sukses?" Aku beralih pada Jinny yang tengah sibuk dengan ponselnya.
Ia mendongak. "Bio kok tanya aku, ya jelas enggaklah."
Kami kemudian berhambur dalam tawa. Terkadang, aku iri dengan siswa seperti Jinny, yang di hari ujian, tak perlu repot-repot memikirkan hasilnya. Ia bahkan bisa menertawakan nilai yang (sudah diduga pasti) akan remidiーmendapat KKM saja hoginya bukan main.
Terkadang aku iri pada mereka yang bisa bahagia lewat hal-hal kecil seperti itu.
"Terus kenapa malah santai scroll HP?" Aku menarik kursi dan duduk di hadapannya, mencomot sepotong brownies cokelat dari tempat makannya. "Lagi chatting sama Papa?"
"Enggaklah." Jinny memberiku ekspresi 'serius-kamu?!' dengan dua alis dinaikkan, tapi kemudian senyumnya mengembang lebar. Aku baru sadar, hari ini Jinny berdandan. Tampak sangat natural, tapi kalau kamu sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan temanmu, kamu pasti tahu ada yang berubah dengan wajahnya saat ia memoles wajah. Alisnya lebih rapi, bibirnya tampak moist dan bewarna merah ranum, pipinya diberi cream blush sedikit. Ah, plus wangi parfum manis yang samar-samar menguar dari tubuhnya.
Ia kemudian memajukan tubuhnya beberapa senti. "Aku lagi chatting sama Dodo," lanjutnya setengah berbisik.
Mataku refleks melebar. Sekarang, semua jadi masuk akal. Alasan Jinny berdandan ke sekolah, alasan mengapa ia tidak mengeluh walau ujian biloginya tidak mulus, alasan mengapa sekarang saat jam makan siang, alih-alih rewel mengajakku ke kantin, Jinny malah duduk anteng di bangkunya sendiri.
"Kalian ... jadian?"
"Enggak!" Jinny menjawab dengan wajah memerah, matanya mengerjap malu-malu. "Belum," ralatnya, "masih pendekatan."
"Hah?"
"PDKT, Cin. Tahap sebelum jadian itu namanyaー"
"Iya, aku tahu PDKT," selaku, "maksudku, gimana kamu tahu kalau kalian PDKT?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Teen FictionCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...