JEDA.
Mereka bilang, aku harus mengambil jeda. Mereka bilang, aku harus menyisihkan waktu untuk duduk diam, termenung, merenung sembari menggaungkan nasib sendiri di bawah temaram lampu ruang tamu. Melihat sekeliling, menyentuh, merasakan, menghirup, berbaur. Barangkali pula, mengapresiasi hal-hal yang terletak di dekatkuーmeski itu berarti hal kecil seperti pembatas buku Pride and Prejudice pemberian Mama atau correction tape bergambar Pororo milik adikku. Meski agaknya hal itu tak mungkin, sebab melihat alat tulis mengingatkanku akan kumpulan tugas yang sengaja kuabaikan sedari minggu lalu. Mereka bilang, aku masih muda, aku bisa melakukan semua yang kuinginkan. Tak perlu ada yang kukhawatirkan, semua akan baik-baik saja.
Tapi bukan itu yang pikiranku katakan.
"Mereka itu bohong, Cindy", "Mereka tidak benar-benar peduli", "Persetan apa kata mereka, memang mereka mau menanggung risiko bila kamu gagal?"
Aku menghabiskan waktu-waktuku untuk menangis, terisak, bungkam membekap mulut di tengah malam menahan kantuk. Sementara buku-bukuku masih tergeletak di atas meja. Masih ada banyak yang harus kuhafal. Masih ada banyak hal yang harus kujejalkan dalam kepala. Endositosis, pinositosis, fagositosis, eksositosis. Belajar sampai matahari terbenam, menghafal sampai mulut berbusa.
Aku masih belum puas.
Ada satu titik dahaga dalam diriku, jenis haus yang tidak akan pernah bisa dipuaskan oleh liquid apapun. Tidak akan bisa ditumpas hanya dengan menenggak puluhan liter H2O. Haus yang ini datang musiman, tidak bisa disangka-sangka kapan datang dan perginya. Saat ia datang, ia akan menempel erat pada tulang dan dagingku, menghisap setiap cairan dalam tubuhku dan menyisakan kekeringan yang luar biasa. Kekeringan yang membuatku selalu gelisah, kekeringan yang membuatku terbangun pukul 3 subuh dengan jantung berdetak keras dan peluh menetesi wajah.
"Kamu mah mending, bio bisa, matematika ciamik, fisika pinter, kimia mantab. Lah, kurangnya apa coba?" Itu yang selalu dikatakan Jinny, teman dekatku sejak SMA. Aku tidak tahu apa sering ke kantin bersama dikategorikan sebagai 'dekat', tapi aku juga tidak mau menjalani hidup sendirian layaknya golongan anak antisosial. "Nggak usah banyak mikir, orang pinter kayak kamu pasti banyak yang suka. Dodo, Jeffry, Jun rela ngantri lho demi nge-date sama kamu."
Jinny selalu mengatakan hal itu dengan ekspresi lucunya, pipi menggembung dan dua gigi kelinci bertengger di atas bibir. Dia imut, menurutku. Tipe gadis yang bukan cantik atau seksi, tapi membuatmu terpikat hanya dengan seulas senyum. Sayangnya, tidak banyak lelaki kelasku yang cukup pintar untuk melihat itu.
"Mama bilang nggak boleh pacaran," balasku ringan. Itu bukan satu-satunya alasan mengapa aku ogah menjalani hubungan serius dengan lawan jenis. Tapi untuk Jinny, aku rasa itu jawaban umum yang cukup. Aku memasukkan beberapa buku paket ke dalam tas sambil mengambil dompet. Makan siang dalam dua menit, ada yang harus kubeli di koperasi.
Jinny menatapku tak percaya, seolah aku baru saja mendeklarasikan sebuah kebohongan besar. "Kayaknya emang selera anak ambis beda," cibirnya pelan. "Maksudku tuh, Cin, hidup jangan terlalu dibawa serius. Kita masih muda, jalan kita masih panjang. Jalani aja apa yang ada. Gak usah mikir aneh-aneh, itu yang bikin kamu sulit tidur."
Aku mengernyit setengah tak setuju. "Kemarin aku tidur pagi, tuh?"
"Iya, pagi." Ia mendengkus. "Jam 3 juga termasuk pagi. Aku lihat last seen WhatsApp kamu jam 3 subuh. Ngapain aja sih sampai tidur subuh begitu?"
Ah, last seen. Seharusnya fitur itu sudah kunonaktifkan sejak aku ganti nomor dulu.
Jinny membenarkan poninya, gerakan yang selalu ia lakukan setiap ia hendak menceramahiku. Isinya tidak jauh-jauh dari relax, hidup hanya sekali bla bla yang semakin membuat kepalaku pening. Untung tak lama setelahnya, bel istirahat berbunyi. Aku jadi punya alasan untuk pergi dari kelas, melepaskan diri dari celotehannya. Aku tidak membenci Jinny―aku bersungguh-sungguh soal itu. Namun, aku tidak benar-benar bisa menerima sarannya soal kehidupan.

KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA [Jeon Wonwoo]
Teen FictionCindy Priscilla memandang kehidupan 17 tahunnya bagai sebuah eksperimen anti-gagal: ia punya reputasi untuk dipertahankan, nilai dan peringkat untuk dijaga, dan masa depan untuk dikejar. Eksperimen ini sudah terencana matang dan akan berjalan sempur...