Dua Puluh Satu

85 13 6
                                    

"NIH."

Sebungkus roti sobek cokelat dan sekotak susu. Aku mendongak, hendak mengadukan protes saat tahu-tahu Dion sudah berpindah ke sampingku, tanpa bertanya atau apapun langsung membuka bungkusan roti sobek itu sebelum menyodorkannya padaku. "Hobi banget bikin orang khawatir. Udah tahu punya maagh, kenapa malah telat makan?"

Aku ingin melawan, tapi terlalu malas untuk debat panjang yang menguras tenaga. Kuambil satu gigitan roti, merasakan bagaimana lumer cokelat mengisi lidahku sebelum disambut rasa lega dalam perut. Baru kuingat, selain segelas kopi tadi pagi, aku belum menenggak apapun seharian ini.

"Jinny lihat kamu muntah-muntah di toilet tadi." Dion menghela napas. Aku dapat merasakan tatapannya melekat padaku, tetapi tak mengatakan apapun. Kusuap roti itu dalam diam sembari sesekali menyeruput susu.

Baru beberapa suapan, bisa kurasakan perutku kembali bergejolak mual, seolah menolak mencerna apapun. Kutenggak susuku, berusaha menelan paksa potongan roti yang sudah kukunyah. Mogok makan hanya akan menambah kuriositas Dion, sementara selama tiga puluh menit terakhir pelipisku sudah berkedut tak karuan, mulutku pahit dan perutku tidak enak. Hal terakhir yang kuinginkan ialah mendengar omelannya.

Kudengar Dion kembali menghela napas, tapi tak kunjung mengatakan apapun.

Kami duduk diam dalam hening sampai akhirnya ia jera.

"Ada apa lagi?" tanyanya, jauh lebih lembut dari yang tadi.

Aku hanya mengendikkan bahu. "Cuman telat makan."

Sesuai dugaanku, ia mendengkus sinis. Tidak repot-repot percaya omong kosongku dan malah bertanya, "Masalah ujian?"

Ah, dia memang mengenalku dengan sangat baik.

"Biologi? Mat minat? Mat wajib?"

"Nggak, nggak apa-apa."

Ia mendesak, "Apa ini soal klub sains? Ada yang nyindir-nyindir kamu lagi?"

"Nggak," tukasku, segera berdiri untuk menyudahi konversasi ini.

"Jangan-jangan, soal lomba?"

DEG.

Kata itu menusuk tepat di ulu hati. Tubuhku kaku, langkahku terhenti. Bungkusan roti dan susu kosong di tanganku kuremas hingga tak berbentuk. Tahu tebakannya benar, Dion mendesah pelan. "Cin, masih ada beberapa hari sebelum pengumuman lomba. Lagian, menang atau nggak, kamu tetap jadi penulis blog terbaik seangkatan kita. Nggak perlu dipikirin segitunya."

Seangkatan, katanya. Berarti ada adik kelas atau kakak kelas yang lebih baik.

"Lagian kamu percaya sama tulisanmu, 'kan? Kamu udah lakuin yang terbaik. Kamu penulis terbaik yang pernah aku kenal. You will be fine, Cin. Percaya, deh."

"Thanks untuk roti dan susunya." Di luar dugaanku, lidahku masih bisa menyahut serak. Kutolehkan kepala, kutatap wajahnya dengan segores senyuman. Ia tidak akan mengerti, 'kan? Kudengar suara dalam benakku berkata. Sedekat apapun, sedalam apapun, tidak ada yang bisa mengerti monster sepertimu. "Aku harus kembali ke kelas, perutku udah enakan."

Tanpa menunggu responnya, aku langsung berbalik dan melangkah keluar kantin. Dalam hati terbayang niat untuk membolos di UKS—aku bisa menggunakan alasan sakit dan guru-guru akan percaya—atau sekalian mengurus surat izin dan pulang. Tapi ketika kuingat setelah ini ada pelajaran Matematika Peminatan dan Bu Lia berjanji akan melempar kuis untuk tambahan nilai UAS, semua niat itu buyar dalam sekejap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KOMA [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang