3. Dari Timur

525 40 3
                                    

"Pak, tolong turunkan saya di depan itu ya. Yang ada tulisan ayam bakar pak ucok." Kataku begitu kami hampir mendekati warung makan langgananku.

Selain karena enak, tentunya murah juga. Pas untuk kantongku yang pas-pasan.

"Itu rumah kamu?" Tanya lelaki yang mengantarkanku pulang. Aku lupa siapa namanya.

"Bukan, Pak. Saya mau beli makan dulu. Tapi rumah saya sudah dekat kok. Bapak bisa langsung pulang. Terimakasih banyak."

Aku harus membeli makan malam untuk keluargaku jika tidak ingin dapat omelan ibuku dan ayahku, jika dia sudah di rumah.

Sebenarnya ibu akan tetap mengomel jika aku membeli makan di luar. Karena dia ingin anak perempuannya ini masak untuk keluarga. Katanya latihan sebelum menikah.

Selalu seperti itu.

"Kalau kamu lapar, mengapa tadi tidak menerima tawaran makan dari Robi?" Tanyanya yang masih fokus untuk mengikuti instruksi tukang parkir.

"Tidak perlu parkir, Pak. Saya langsung turun aja ya?" Entah mengapa kalimat ini berbentuk kalimat tanya. Harusnya aku memang menegaskan kalau aku ingin turun sekarang.

"Saya juga belum makan." Balasnya sambil mematikan mesin mobil dan membuka pintu.

Lah? Ini maksudnya dia minta kami makan bersama kan? Duh kenapa jadi seperti ini.

Padahal selain karena harus segera pulang untuk menyiapkan makan malam, aku meminta diturunkan di sini karena tidak ingin dia mengantarkanku pulang. Sampai depan rumahku. Tidak mau sampai ibu atau bapak melihatnya.

Bisa gawat.

Tok tok

Aku berjingkat saat seseorang mengetuk jendela. Tersadar bahwa aku masih di posisi yang sama.

Tahu bahwa dia masih menunggu, aku segera melepaskan sabuk pengaman dan keluar. Kami berjalan menuju tempat pemesanan.

Haduh! Bagaimana ini?

Aku tidak enak jika harus menolak menemaninya makan. Paling tidak, aku seharusnya berterimakasih karena sudah diantarkan pulang.

Lidahku terasa asin. Aku tidak sadar sedari tadi menggigiti bibir bagian dalamku. Sial, berdarah.

Sudahlah, masa bodo dengan omelan ibu. Toh jika aku pulang sekarang diapun akan tetap mengomel. Tidak ada bedanya.

"Ditunggu ya, Mas." Sahut Bu Ida, istri Pak Ucok setelah kami menyampaikan pesanan.

Aku tidak berbohong saat mengatakan rumahku sudah dekat. Karena itu aku mengenal Pak Ucok dan Bu Ida, tetanggaku. Tidak terlalu dekat, tetapi karen aku sudah langganan di sini jadi kami cukup sering bertegur sapa.

"Baru?" Tanya Bu Ida tanpa suara.

Aku segera menggeleng. Tidak ingin muncul gosip aneh. Aku berjalan mengikuti dia-yang aku lupa namanya- persis seperti anak ayam yang mengekori induknya.

"Pertanyaan saya tadi belum di jawab." Kata pria di depanku. Kini kami sudah duduk saling berhadapan untuk menunggu pesanan diantarkan.

Aku mengernyitkan kening. Tidak tahu apa yang sedang dia bicarakan. Tiba-tiba dia tersenyum lebar.

"Tadi saya nanya. Mengapa kamu tidak menerima tawaran makan malam dari Robi saja?"

Oh itu.

"Saya gak enak aja, Pak. Pak Robi kan calon atasan saya. Masa belum jadi kerja malah sudah makan malam bersama dulu. Lagipula, saya memang harus segera pulang dan menyiapkan makan malam untuk keluarga saya." Jawabku.

Bunda untuk GalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang