5. Keanehan dari Timur

406 37 0
                                    

Sorry guys, sempet terbengkalai karena author ngejar revisian skripsi. Happy reading!

***
***

"Maaf sudah membuat kamu tidak nyaman." Adalah kalimat pertama Pak Timur setelah kami di dalam mobilnya lagi.

Rasanya aneh. Ini kedua kalinya kami bertemu dan kedua kalinya pula aku sudah duduk berdua di mobilnya.

"Boleh saya tahu, apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyaku. Aku tidak mau terlibat lebih jauh jika ini masalah yang rumit.

"Saya tidak bisa menceritakan detailnya, tapi saya mencintai perempuan tadi. Zena." Dia mulai bercerita. Aku tidak menanggapi cerita itu karena merasa dia belum selesai.

"Sejujurnya saya sudah jatuh cinta padanya sejak kami masih kuliah dan takdir mempertemukan kami kembali saat ini. Namun, dia sudah bertunangan."

Mmmm... Cukup rumit. Batinku.

"Akhir-akhir ini ada isu buruk menerpa saya. Saya dianggap main serong dengan pegawai front office yang tadi juga bersamamu. Dan tentu saja itu tidak benar. Zena sedikit mengkhawatirkan isu itu, jadi saya memanfaatkanmu."

"Maaf sudah membuatmu tidak nyaman dan terimakasih sudah tenang menghadapi situasi tadi. Saya anggap ini hutang, jadi kapanpun kamu memerlukan bantuan tolong beri tahu saya."

Wow. Bukankah ini berlebihan?

"Mmm... Tidak, Pak. Saya tidak melakukan apapun. Lagipula saat ini bapak sudah memberikan tumpangan saya ke sekolah. Jadi saya juga diuntungkan."

Ini memang menguntungkan kok, aku jadi tidak perlu keluar uang untuk kembali ke sekolah.

"Timur." Katanya. Aku tak tahu apa maksudnya.

"Hah?"

"Nama saya Timur. Bukan bapak." Katanya lagi.

Lah iya kan. Siapa yang bilang nama dia utara?!

"Iya, Pak. Saya tahu."

"Kalau begitu, panggil saya Timur bukan pak. Saya bukan bapak kamu."

Heh?! Gak gitu konsepnya heeey!

Aku tidak ingin berdebat sehingga memilih untuk mengiyakan saja. Toh belum tentu kami akan bertemu lagi. Sisa perjalanan diisi keheningan. Aku juga tidak merasa perlu membuka obrolan dengannya.

"Terimakasih tumpangannya, Pa-"

Aku belum menyelesaikan kalimatku namun karena mendapatkan tatapan awas darinya aku berhenti.

"Timur... Ya Timur. Terimakasih tumpangannya Timur." Kataku akhirnya.

Kami sudah sampai di sekolah. Aku segera turun begitu dia membuka kuncinya mobilnya. Tak ingin berlama-lama bersamanya.

Sejak awal, aku sudah merasa bahwa dia aneh. Dan dugaanku ternyata tidak meleset. Lain kali aku akan mengingatkan diriku sendiri untuk menjauh darinya.

Aku langsung melangkah menjauh, tidak memperdulikan asas kesopanan yang selalu ku jaga.

"Mengapa kamu berjalan begitu cepat?"

Aku terperanjat begitu mendapati dia sudah menyejajarkan langkah.

"Oh, itu. Saya takut terlambat masuk rapat. Hari ini saya harus ikut meeting untuk orientasi sekaligus detail job description di sini." Entah mengapa, aku lagi-lagi menjawab pertanyaannya dengan detail. Padahal tidak seharusnya aku seperti itu.

Aku mengurangi kecepatan langkahku. Untuk apa berjalan cepat jika orang yang akan aku hindari tepat di sebelah. Aku bahkan merasa sia-sia sudah menghabiskan energi di awal dengan setengah berlari.

Bunda untuk GalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang