11. Kembali ke Timur

171 19 0
                                    

Sejuk berdiri di pinggir jalan, tangan kanannya menenteng tas besar yang berisi beberapa keperluannya. Dia terdiam mematung. Masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Tak berselang lama, sebuah SUV hitam berhenti di sebelahnya.

Melihat Sejuk yang tetap diam, pengemudi mobil segera turun dan menghampirinya.

"Sejuk..." panggil pengemudi SUV yang kini sudah ada di hadapan Sejuk.

"Eh iya. Loh, Pak Timur?!" Sejuk terkejut melihat Timur ada di hadapannya.

"Iya, saya."

"Kok bapak di sini?" Tanyanya terheran. Jelas sekali tadi dia dan Timur sudah berpisah saat sampai di rumahnya.

"Kamu tidak ingat tadi kita baru saja bebicara di telpon?"

Sejuk menggeleng. Benar-benar lupa apa yang tadi terjadi.

"Lebih baik, kita masuk dahulu." Saran Timur yang langsung diikuti Sejuk. Timur mengambil alih tas Sejuk dan meletakkannya di kursi penumpang belakang. Kemudia dia menuju ke tempatnya, di balik kemudi.

"Kenapa kamu ada di daerah sini?" Tanya Timur yang kebingungan. Jelas-jelas dia sudah mengantarkan Sejuk dan memastikan dia pulang dengan aman dan selamat. Namun, kini dia malah mendapati Sejuk ada di area sekitar kantornya. Ya kantor Timur.

Padahal dari rumah Sejuk ke area ini tidaklah dekat dan tentunya berlawanan arah. Namun untungnya, rumahnya cukup dekat dari area kantor. Sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk segera menjemput Sejuk.

"Saya.. mmm, tadi..." Sejuk terbata. Kebingungan sendiri dengan alur cerita yang akan dia ceritakan.

Melihat kondisi Sejuk yang seperti itu, Timur menyela "Kita bicarakan nanti setelah sampai di rumah."

****

****

****

Alarm pagi berbunyi dengan lantang mengusik tidur Sejuk. Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, tangan Sejuk berusaha mencari letak ponselnya. Tangannya meraih di bawah bantalnya, namun nihil. Padahal biasanya dia meletakkan di situ.

"Oh iya semalam Timur melarangnya meletakkan di situ. Katanya radiasi ponsel tidak baik." Batin Sejuk.

"Tu-tunggu... Timur?!"

Sejuk yang terkejut segera terbangun. Dia langsung sadar seketika. Dia terbangun bukan di kamarnya, bukan di rumahnya. Satu hal yang dia syukuri, dia tidur sendirian di ranjang ini dengan pakaian yang legkap. Dia terdiam, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.

****

****

****

[Sejuk POV]

Aku berjalan menenteng tas besar di tangan kananku. Pikiranku tidak sedang jernih, jadi udara segar mungkin mengembalikan kewarasanku. Aku tahu, ini harusnya masalah sepele. Terlambat pulang setelah bekerja dan lupa memberi kabar kepada ibu. Harusnya itu masalah kami hari ini.

Akupun merenungin betapa kasarnya aku pada ibuku. Harusnya aku tidak turut tersulut emosi. Bukankah sudah biasa ibu membahas Mbak Sekar?

Tapi tetap saja, menamparku bukanlah hal yang bisa aku tolerir.

Aku berhenti sejenak, tak terasa sudah ada di depan gang rumah. Sekarang aku baru menyadari aku tidak punya tujuan.

Aku tidak memiliki teman dekat yang bisa aku tumpangi. Satu satunya nama orang yang terpikirkan olehku adalah Mbak Sekar. Tapi bukankah memalukan jika aku harus menumpang di sana disaat Mbak Sekarlah yang membuat aku dan ibu saling meninggikan nada bicara?

Bunda untuk GalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang