Hari Baru, Suasana Baru #1

2.4K 73 2
                                    

"Kak, cepetan dikit dong. Udah telat nih!" seru Lia sambil menggedor-gedor pintu kamar kakaknya.

Pintu pun terbuka, menampakan sesosok cowok tampan berpostur tinggi tegap. Dengan air muka yang cool terpasang di paras wajahnya yang putih bersih. Ia adalah Nugraha Putra Wijaya kakak tersayang Lia Putri Wijaya. Biasa dipanggil Arga. Nama panggilan yang ia karang sendiri, karena ia tak mau semua orang memanggil dirinya dengan 'Nug', seperti masa di mana ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia juga tak mau dipanggil 'Putra' karena menurutnya nama itu sudah amat sangat pasaran.

Kalau Lia tak ada masalah dengan nama yang diberikan orang tuanya terhadapnya. Lupakan permasalahan nama ini yang sebenarnya sama sekali tidak penting. Hhahaa...

"Sabar bentar dong, adikku sayang," Arga segera meraih dan menggandeng tangan Lia untuk bersama menuruni tangga.

Di ruang makan sudah ada Maria, ibu Lia dan Arga yang menunggu anak-anaknya untuk sarapan bersama. Suasana sarapan berjalan dengan hening tanpa ada obrolan santai yang mewarnai suasana sarapan pagi itu. Hanya ada suara sendok, garpu dan piring yang seakan berceloteh memeriahkan sarapan yang hikmat itu.

"Arga sama Lia berangkat dulu ya, ma," Arga berpamitan setelah menyelesaikan sarapannya.

"Hati-hati di jalan ya," dengan mencium kening Arga, Maria melepas Arga pergi ke sekolah.

Melihat ibunya dengan lembut menciumi kakaknya, Lia hanya dapat tersenyum kecil dan ada rasa getir bercampur iri di sana, melihat adegan antara ibu dan anak di hadapannya. Sedangkan di dalam hati Lia hanya dapat bergumam untuk berharap agar suatu saat ia dapat merasakan kelembutan kecupan satu-satunya seorang yang sangat berjasa dalam hidupnya, yang bernama ibu.

Tak ada yang tahu pasti apa alasan Maria selalu bersikap dingin terhadap Lia yang notabene anaknya sendiri. Lia pun selama ini hanya dapat berlapang dada meratapi nasibnya yang bagaikan anak pungut di keluarga kecilnya.

"Lia juga pamit ya, ma," saat Lia meraih tangan ibunya, tapi Maria serta merta menepis tangan Lia.

"Sudah sana berangkat. Kasihan kalau kakakmu terlambat cuma gara-gara kamu,"

Lia hanya bisa mengangguk lemah, lalu melangkahkan kaki keluar dari rumah.

Arga tak dapat melakukan apapun melihat sikap ibunya yang dapat dikatakan berlebihan. Sehari-hari yang dapat Arga lakukan hanya membuat Lia, sang adik selalu berlapang dada dengan sikap ibunya terhadap Lia.

                        ^________^

Tak nyaman dengan suasana hening yang sudah terasa seperti makam jeruk purut, Arga tak sabar memecah kesunyian yang menaungi dirinya dan adik yang berada di sampingnya yang sibuk menatap ke arah luar jendela. Entah sedang menghitung banyaknya mobil-mobil yang mulai memadati jalanan ibukota atau sedang meratapi perlakuan ibunya terhadapnya yang serasa semakin menusuk jantungnya hari demi hari di kehidupannya.

"Cantik, kok diam saja sih," Arga angkat bicara tak tahan melihat kabut di selaput mata adiknya.

Lia hanya menoleh sekilas tanpa suara keluar sedikit pun dari bibir mungilnya.

Melihat sikap adiknya, Arga semakin khawatir. "Maafin sikap mama yang tadi ya, Lia. Lia kan tau..."

"Sudahlah, kak nggak usah diomongin lagi. Memang kakak juru bicara mama sekarang?" Lia memotong pembicaraan Arga.

"Bukan begitu, dari tadi Lia murung sih, kakak kan jadi khawatir,"

"Kakak konsentrasi menyetir aja, nggak usah mikirin Lia,"

Arga hanya membelai pucuk kepala Lia untuk menyikapi sikap adiknya yg ia tahu sedang sangat kesal atas perlakuan ibunya terhadap Lia.

Cukup lama melawan padatnya jalan raya yang mulai disesaki kendaraan bermotor mengantarkan warga ibukota untuk menjalani aktivitas masing-masing. Mobil yang ditumpangi Lia dan Arga masuk ke dalam gerbang SMA Harapan Pertiwi.  Arga memarkirkan mobilnya, membukakan pintu untuk Lia dan memasuki lobby sekolah dengan lengan menggantung di bahu sempit Lia.

"Pagi, guys!" sapa Arga mendapati teman-teman akrabnya sekelas.

"Pagi!" Zivo, Bayu, Ari, Juna serentak menjawab sapaan Arga.

"Vo, hari ini ada pelangi ya?" tanya Juna ngasal ke Zivo.

"Hujan aja nggak, gimana mau ada pelangi. Lo mengigau ya?"

"Tapi kok ada bidadari di sini," Juna yang terkenal sebagai raja gombal mulai menampakan tajinya.

Lia hanya dapat tersipu malu dan menyilakan ujung poninya ke belakang telinganya mendengar Juna meluncurkan gombalan mautnya.

"Berani-beraninya lo flirting sama adik gue. Lo nggak ngelihat ada abangnya disini, hah?" Arga yang angkat bicara dengan nada meninggi, namun hanya becanda tentunya.

"Ampun, bang," Juna mengatupkan kedua tangannya di depan keningnya yang menimbulkan gelak tawa.

Tak berapa lama, bel masuk pun berbunyi. Arga mengantarkan Lia ke kelas barunya, maklum Lia murid baru yang masuk di tahun ajaran baru tahun ini.

Di depan kelas, Lia yang sudah di tinggal Arga memasuki kelasnya dan mencari bangku yang masih kosong untuk bisa ia tempati.

"Lo lagi nyari bangku kosong ya? Duduk di samping gue aja, di sini satu-satunya bangku kosong," seorang siswi tiba-tiba menarik lengan Lia, menyuruh Lia duduk di sampingnya. Lebih terdengar seperti paksaan sebenarnya.

                        ^________^

LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang