Operasi #13

923 23 0
                                    

"Lia, bangun!" Kecemasan Zivo semakin menjadi.

"Lia kenapa, Vo?" tanya Ari.

"Gue juga nggak tahu. Barusan dia cuma mengeluh sakit perut, terus pingsan gini," jelas Zivo.

Dengan sigap Zivo membopong Lia dan melarikan Lia ke ruang UKS untuk diperiksa dokter jaga disana. Sedangkan Ari bertugas memanggil Arga.

Tak lama setelah ditangani dokter jaga, Lia siuman namun masih mengerang kesakitan. Arga datang tergopoh-gopoh dengan air muka yang sarat kekhawatiran menghampiri Lia yang terbaring di atas ranjang yang tertutupi sprei rapi.

"Lia kenapa?" tanya Arga membelai lembut rambut Lia berusaha agar dapat mengurangi rasa sakit Lia yang membuat Lia merintih kesakitan.

"Perut Lia sakit banget, kak," suara Lia gemetar menahan sakit.

"Sebaiknya Lia segera dibawa ke rumah sakit, karena sakit di perutnya cukup serius," dokter jaga memberi penjelasan.

"Baik, dok,"

"Zivo, gue titip tas gue. Ari thanks lo udah manggil gue tadi. Gue ke rumah sakit dulu,"

"Oke," jawab Zivo mewakili Ari juga.

Arga segera menggendong Lia dan berlari menyusuri koridor-koridor dan memasuki mobil setelah sudah berada di parkiran sekolah.

Mobil yang ditumpangi Lia dan Arga melaju dengan kecepatan cukup kencang menyusuri jalanan ibukota yang cukup lengang. Maklum, karena masih jam sibuk kerja udara jalanan tidak dipadati dengan asap-asap beracun berasal dari kendaraan-kendaraan bermotor.

Sesampainya di rumah sakit yang terdekat dari sekolah, Arga langsung menuju IGD agar Lia dapat segera ditangani oleh dokter dan suster yang bertugas.

Arga mondar-mandir seorang diri di depan pintu IGD menanti kabar dari dokter yang menangani sang adik yang sedang terbaring lemah di dalam sana.

Pintu IGD pun akhirnya terbuka.

"Bagaimana keadaan adik saya, dok?" tanya Arga menodong dokter yang baru saja keluar dari pintu ruang IGD.

"Pasien mengalami peradangan di usus buntunya dan harus segera dioperasi," penjelasan dokter.

"Lakukan yang terbaik untuk adik saya, dok," Arga tanpa berpikir panjang lagi.

"Kalau begitu silahkan anda ikut dengan suster untuk mengurus administrasi dan persetujuan anda,"

Arga menganggukan kepalanya mantap, lalu mengikuti ke mana suster rumah sakit melangkah untuk mengurus segala persyaratan yang diperlukan untuk keperluan operasi usus buntu Lia.

"Apa saya boleh melihat keadaan adik saya sekarang, sus?" tanya Arga sekembalinya ia di ruang IGD.

"Boleh. Silahkan," suster membukakan pintu ruang IGD dan mempersilahkan Arga masuk ke dalamnya.

Arga mencari sosok adiknya Lia yang berada di paling pojok sisi kanan dari ruang IGD. Arga menghampiri dan memandangi keadaan Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki.  Wajah Lia yang pucat pasi, bibirnya yang kering, badannya yang demam membuat Arga menitihkan setitik air matanya diujung matanya.

"Lia nggak apa-apa kok, kak," Lia membuyarkan lamunan Arga.

Arga mengusap air matanya.  "Lia harus dioperasi, karena usus buntu Lia terjadi peradangan,"

Dari ekspresi mata Lia terlihat keterkejutan disana. Mimik muka Lia berubah seketika menjadi ketakutan. Air mata yang spontan mengalir menyertai keterkejutan dan ketakutan Lia.

"Lia nggak mau dioperasi. Lia takut," tolak Lia dengan suara yang gemetar dan air matanya semakin deras mengalir.

"Lia nggak akan kenapa-kenapa. Kakak ada disini. Lia harus percaya sama kakak," Arga berusaha menenangkan ketakutan Lia yang amat ketara dipandangan matanya.

LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang