Indah Pada Waktunya #25

599 21 0
                                    

          "Gue senang banget lo udah siuman, Lia," ekspresi kegembiraan Sya heboh seraya memeluk Lia yang sudah terbebas dari alat-alat dan selang-selang yang menempel selama Lia tidak sadarkan diri.
          "Lia juga senang bisa ngelihat wajah ceria Sya lagi," Lia membalas pelukan Sya dan tersenyum simpul penuh arti.
          Arga memasuki ruang rawat Lia dengan langkah gontai berbeda saat mengetahui jika Lia telah sadarkan diri tadi yang langkah kakinya penuh semangat empat lima. Ia menjatuhkan badannya kasar di atas sofa empuk di dalam ruangan, lalu mengacak-acak rambutnya menandakan pikirannya sedang kalut.
          "Kakak kenapa kok kusut gitu mukanya?" tanya Lia mengerutkan keningnya bingung.
          "Kamu belum jawab pertanyaan mama, Arga. Lia kenapa?" tanya Regina dengan nada yang meninggi.
          Arga berdiri tegap, ia mengangkat dagunya tinggi. "Mama mau tau kenapa Lia nggak ingat mama?" Arga menggantungkan kata-katanya dengan nada menantang.
          "Lia terkena lacunar amnesia yang menyerang syaraf otaknya yang membuat Lia lupa sebagian memori ingatan yang membuatnya trauma. Dan satu-satunya orang yang membuat Lia tersakiti akan memori traumatiknya selama ini adalah mama," penjelasan Arga dengan emosi yang meledak-ledak.
          Kata demi kata yang Arga, anaknya ucapkan sangatlah menyayat setiap mili hati Regina. Sedangkan Sya hanya menutup mulutnya yang menganga lebar tak percaya mendengar dan melihat emosi Arga yang tak tertahankan. Zivo menajamkan tatapannya kepada Arga, raut ketidak senangan atas sikap Arga kepada Regina nampak jelas disana. Lia hanya bisa kebingungan melihat adegan demi adegan yang tersaji dihadapannya sekarang.
          "Jaga sikap lo, Arga. Nggak seharusnya lo bersikap seperti itu sama mama lo sendiri," Zivo angkat bicara untuk sekedar mengingatkan Arga.
          "Arga benar, Zivo. Tante yang salah dalam hal ini. Kalau saja Lia tak menggantikan posisi saya saat kejadian waktu itu, mungkin Lia tidak akan terbaring lemah seperti sekarang. Kalau saja dari dulu saya bisa menyayangi Lia seperti anak saya sendiri, mungkin semua kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Mama minta maaf, Zivo," penyesalan Regina meluncur begitu saja dari bibirnya, lelehan air mata pun menyertai pengakuan Regina.
          "Terlambat, ma. Kalau pun mama mau minta maaf bukan ke aku, tapi ke Lia, orang yang selama ini mama sakiti hatinya," dengan nada yang sedikit mereda Arga berusaha menahan emosinya yang membuncah dalam dada, lalu melangkah pergi dari kamar rawat Lia.
          "Kak Arga, tunggu," Sya mengejar Arga.
          Namun Arga mengacuhkan panggilan Sya seakan tak mendengarnya dan terus berjalan mencari tempat yang setidaknya bisa untuk melancarkan gejolak aliran darahnya yang sedang meletup-letup seperti lava panas yang siap membakar siapa saja yang ia lewati dan sekedar dapat menghirup udara segar di luar ruang rawat Lia.
          Arga duduk di kursi besi panjang yang terdapat di taman rumah sakit di dekat air mancur yang setiap menitnya menyemburkan air ke udara secara variatif.
          "Boleh gue temani?" pinta Sya menghampiri Arga yang sedari tadi mengikuti langkah Arga kemana ia pergi.
          Tanpa sepatah kata yang berarti, Arga menggeser posisi duduknya membagi untuk Sya duduk.
          "Tadi nggak seharusnya kakak..." kalimat Sya yang sudah ia susun dengan rapi dan mengatakannya secara hati-hati terpotong begitu saja.
          "Lo nggak usah sok nasehatin gue," Arga memotong kalimat Sya karena jengah.
          Sya menggaruk rambutnya yang tak sedikit pun gatal dan tersenyum pahit mendengar kata-kata Arga yang seenaknya saja memotong perkataannya dan membuat hatinya sedikit tergores karena cowok yang sekarang sedang duduk disampingnya menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong.
          "Gue cuma berusaha mau..." lagi-lagi kalimat Sya terpotong.
          "Lo tahu apa sih tentang keluarga gue, hah? Mending lo diem deh," Arga menatap Sya jengah dan memotong kata-kata Sya lagi.
          Sya menghembuskan nafasnya kasar dan menyeringai sinis, lalu beranjak berdiri.
          "Gue mungkin nggak tahu apa-apa tentang keluarga kakak. Tapi setidaknya gue punya maksud baik mau nenangin kakak. Tapi kalau lo merasa terganggu dengan kehadiran gue, gue pergi!" kesabaran Sya habis.
          Namun Belum sempat selangkah pun kaki Sya meninggalkan Arga. Cekalan Arga yang menggenggam pergelangan tangan Sya sukses menghentikan langkah Sya yang belum sempat dimulai.
          Sya menoleh dan memutar badannya ke belakang, lalu menatap Arga tajam ysng sekarang juga menatapnya tak kalah tajamnya.
          "Gue minta maaf, gue lagi suntuk banget. Please, lo duduk lagi," pinta Arga kali ini dengan nada sendu.
          "Terus kalau kakak suntuk, gue yang jadi pelampiasan gitu? Ogah!" Sya jutek karena masih gondok seraya menepis genggaman Arga di pergelangan tangannya.
          Arga segera berdiri dan dengan satu sentakan Sya telah berada di pelukan Arga. Sya terkesima terkejut, beberapa detik Sya berhenti bernafas karena perlakuan Arga yang tiba-tiba dan tanpa izin terhadapnya.
          "Sekali lagi gue minta maaf. Biarin suasana seperti ini sebentar lagi," ucapan Arga lembut tepat di daun telinga Sya.
          Entah kenapa tubuh Sya tanpa perlawanan seperti sudah direkatkan oleh lem paling kuat menerima begitu saja dekapan lelaki yang membuat pupil matanya membulat sempurna.  Dan Sya menikmati rengkuhan Arga. Ada getaran seperti listrik yang berkekuatan rendah yang tak tahu dari mana asalnya yang menggerayangi seluruh tubuhnya.

                         ^________^

          Lia memasuki rumahnya yang cukup megah ditemani oleh kakaknya, Arga yang sangat sabar menungguinya selama dia dirawat di rumah sakit.
          "Ehh.. anak mama sudah pulang," sapa Regina seraya menghampiri Lia dan Arga di ujung pintu.
          Saat Regina ingin mengecup kening Lia tanda sayangnya pada anak yang selama ini sudah ia abaikan keberadaannya, Lia mencegahnya. Regina tercekat atas penolakan Lia. Arga pun hanya mengalihkan pandangan jengah, tak dapat berbuat apa-apa.
          "Saya tidak kenal dengan anda. Jadi jangan sok dekat sama saya," ucap penolakan Lia tanpa ada perasaan bersalah.
          Regina tak dapat menyalahkan Lia, karena Lia sedang mengalami amnesia dan itu karena dia pula. Dan seandainya mengingat perilaku Regina terhadap Lia di masa yang telah lalu, tidak kaget kalau sikap Lia jadi dingin dan acuh terhadap Regina.
          Lia menaiki tangga, namun saat baru menaiki beberapa anak tangga tiba-tiba kaki Lia tergelincir dan alhasil Lia tidak sadarkan diri dengan tetesan darah menodai pelipisnya karena teratuk ujung kayu pada pegangan tangga.
          "Lia!!" seruan kecemasan Arga.
          Tanpa pikir panjang, Arga membopong tubuh Lia ke dalam kamar Lia, mencoba menyadarkan adiknya, namun nihil, Lia tetap tidak segera membuka matanya.
          Regina yang tak kalah khawatirnya, segera menelpon dokter untuk memeriksa Lia.
          Kepala Lia terbalut kain kasa putih yang telah diberi obat merah sebelumnya. Perlahan ia membuka matanya dan memulihkan kesadarannya.
          "Mama," gumaman Lia saat retina matanya menangkap bayangan yang tampak nyata.
          Regina tersenyum sumringah mendengar satu kata yang tercetus di bibir Lia. Regina bergegas menarik tubuh anaknya yang sejak beberapa waktu yang lalu ingin Regina berikan pada Lia saat ia menyadari bahwa seorang ibu haruslah menyayangi anaknya.
          "Kamu sudah ingat sama mama, nak?" tanya Regina tidak menyangka dengan mata yang berbinar.
           "Memang kapan Lia pernah tidak mengingat mama?" tanya Lia kebingungan dengan kening yang berkerut.
          "Terima kasih, Tuhan. Kau telah mengembalikan ingatan anakku," Regina kembali memeluk erat tubuh mungil Lia.
          Lia sangat tidak mengerti apa yang telah lalui beberapa hari ini. Ia masih saja bingung saat mamanya, Regina merubah sikapnya 180°.
          Seakan tahu kebingungan anaknya yang sarat tampak dimimik mukanya, Regina segera menjelaskan apa yang terjadi saat ia mengalami amnesia. Ia juga meminta maaf atas perilaku buruknya selama ini terhadap Lia. Ia amat sangat menyesali semua kebodohan itu.
          "Mama tidak perlu minta maaf. Semua manusia pasti melakukan khilaf. Asal mama selalu mau memeluk dan menyayangi Lia seperti sekarang," Lia tenggelam dalam dekapan seorang ibu yang selama ini ia idam-idamkan.
          Keyakinan Lia pada akhir yang bahagia sekarang waktunya menuai itu semua, setelah rintangan dan cobaan yang menghadang Lia ini saatnya Lia menuai hasil yang menggembirakan. Indah pada waktunya itu nyata adanya.

                        ^________^

LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang