Prolog

221 68 23
                                    

Semburat jingga masih malu-malu menyapa gelap yang hendak membiru. Semilir angin di antara dedaunan menambah sejuk suasana sunrise pagi ini. Hampir tak sedetik pun Alif mengerjapkan mata kala Aditya mulai mengintip pagi.

"Ini sudah ke sekian kalinya gue takjub pada ciptaanNya. Gue harap, akan selalu begini." Ia berujar pelan sembari menatap mentari.

"Seperti lo ya, Kak."

Suara lembut yang selalu menjadi kebahagiaan bagi Alif muncul begitu saja di telinga yang awalnya hanya mendengar desir udara. Dia kini duduk mapan di atas pasir, tepat di samping Alif, menikmati ombak yang saling berlarian kecil. Nayanika Baswara, adik lucu yang selalu manja tiap di samping kakaknya.

Pernyataan Naya itu membuat Alif tersenyum, padahal nama Baswara tidak hanya ada dalam diri kakaknya, tapi juga menjadi miliknya. Ayah dan Bunda mereka selalu mengatakan bahwa nama yang kini menjadi identitas mereka adalah harapan keduanya untuk dunia. Sejak kecil, Alif dan Naya selalu dididik untuk mengenali dan memahami sendiri tentang makna dari nama mereka.

Kenapa harus Alif yang merupakan huruf pertama hijaiyah? Atau kenapa berawalan alfabet A yang merupakan huruf pertama dalam alfabet? Juga kenapa Baswara? Apakah nama itu hanya nama yang diturunkan sebagai marga keluarga?

Ayah dan Bunda mereka pernah memberi tahu, semua hal yang diberikan untuk kedua buah hatinya tidak pernah tanpa alasan. Dan alasan penamaan Baswara yang awalnya Alif anggap hanya sebagai marga keluarga itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Ada alasan yang lebih penting dari itu.

"Naya, lo ingat enggak? Setiap lo nangis dulu, Bunda selalu bilang, 'Hei, si pemilik mata indah, putri Ayah dan Bunda, kenapa sayang? Nayanikamu sekarang terlihat sendu,' Ingat gak?" tanya Alif sembari memperagakan gaya Bundanya ketika mengucapkan itu.

Naya tertawa, "Terus Bunda peluk gue dan Ayah ngasih gue es krim rasa cokelat!"

Alif terkekeh, "Makanan mulu yang diingat!" Ia menjitak pelan kepala sang adik.

"Ih kakak! Hobi banget sih?!" Naya bersungut kesala. Ia kemudian memercikkan air dari desir ombak pada Alif. Kakaknya terkejut, tawa sumringah menggelegar di antara dersik udara pantai. Mereka kemudian saling berlarian bahagia.

"Kak, gue tau kok! Bunda dan Ayah selalu menghibur gue dengan menyebutkan nama gue agar gue memahami makna penting dalam nama gue. Gue selalu ingat itu!"

Alif menghentikan langkahnya ketika Naya mengucapkan kalimat itu. Ia mendekatinya. "Yah, jadilah mata yang seindah kesejatian makna indah itu sendiri. Dan sang Aditya itu, jadilah baswara yang memberi banyak manfaat sepertinya." Alif mengelus rambut adiknya lembut.

Ia tersenyum usai melirik mentari. Menatap Naya yang wajahnya masih kusut sebab kesal. "Sok romantis!" katanya sambil mendengus kesal.

"Hahaha, ngambek mulu sih. Besok dah masuk sekolah, masak ngambek sama gue di waktu liburan terakhir?"

Naya masih mendengus kesal, "Suatu saat nanti, gue pastikan mata ini mampu melindungi orang-orang yang gue cintai."

Alif tertawa, "Mau jadi sok pahlawan lo?" Kali ini Alif mengacak-acak rambutnya. Naya makin sebal. Sementara Alif makin terbahak. Mereka berlarian sepanjang pagi di bibir pantai. Kadang saling melempar pasir, mengejek satu sama lain, lalu tertawa bersama. Mereka sungguh menikmati kedekatan ini. Diam-diam, dalam hati terdalam, Alif sangat bersyukur memiliki Naya sebagai adiknya. Perempuan yang hanya manja di depan keluarganya. Perempuan yang mampu menempatkan posisi. Perempuan yang akan selalu Alif jaga sampai kapanpun.

***

Alif Baswara [[TAMAT]]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang