Balasan Lebih dari Setimpal

114 62 15
                                    

Alif kira, hari pertama masuk sekolah di semester dua ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Main bareng teman-teman, cerita dan ketawa usil atas banyak hal konyol yang Mereka lakukan selama masa liburan. Tapi ternyata, semua itu hanya jadi harapan belaka. Faktanya saat ini Alif sedang berurusan dengan guru BP usai memberi pelajaran pada seniornya yang sok berkuasa dan merasa berhak menindas para siswa yang baru masuk sekolah.

"Alif! Ini sudah kali ke berapa kamu memukuli siswa di sekolah ini?" tanya Pak Anton, guru BP yang paling ditakuti di seantero sekolah, kecuali Alif tentunya.

"Saya rasa baru tiga kali, Pak."

Alif menjawab santai. Sama sekali tak ada rasa bersalah karena ia merasa sedang melakukan sesuatu yang benar. Pemuda berwajah dingin itu hanya memberi mereka pelajaran atas perilaku buruk mereka. Mereka mengganggu orang tak berdaya dengan cara memukuli, atau mempermalukan. Alif hanya ingin mereka merasakan penderitaan yang lebih parah agar tidak lagi mengulangi sikap itu.

"Bukankah tidak ada yang dirugikan dengan semua itu?" batinnya.

"Kau bilang baru tiga kali?!"

Seperti biasa, setelah mengulang apa yang Alif katakan, Pak Anton bakal menggebrak meja. Memaki Alif sebagai anak tak berperasaan, lalu meminta orang tua Alif datang ke sekolah. Alif sudah hafal itu semua.

"Ck, ayolah, kali ini gue ingin skenario berbeda," ungkap hatinya sembari menatap tajam sang guru.

Alif mengangguk yakin ketika Pak Anton mengulang banyak kali ia memukul siswa di sekolah. Wajah guru BP itu tampak sangat marah.

"Cih, emang preman gak punya hati!" kilah senior Alif dengan begitu ringan. Wajahnya cukup babak belur dibanding Alif. Itu selalu terjadi, Alif tidak pernah membalas perlakuan para perundung itu dengan kadar setimpal. Sykur-syukur jika si perundung itu tidak sampai pingsan.

Alif melirik pada kakak tingkatnya dengan tatapan mengejek, "Lah? Kalau gue gak punya hati, terus lo apa? Orang mati tapi hidup, gitu ya? Gak punya otak, gak punya hati. Cocok buat lo!"

Senior itu terpancing amarahnya. Ia mengumpat Alif sembari mencengkram kerah baju adik tingkatnya itu. Pemandangan itu jelas membuat Pak Anton makin kesal.

"Berhenti kalian!!!" tegas Pak Anton dengan saura baritonnya. Alif dan si senior bersungut kesal. Mereka terpaksa menuruti kemauan Pak Anton.

"Lagian kamu! Kamu itu sama premannya kayak dia. Bagaimana bisa kamu memukuli anak baru di SMA ini? Mau jadi apa kamu ini?!" Pak Anton geram sembari menunjuk si senior.

"Saya hanya mendorongnya saja kok, Pak. Anak baru itu tampak sombong sih. Jadi saya mau kasih pelajaran. Eh si brengsek ini malah sok jadi pahlawan."

Alif terbahak mendengar kalimat itu, "Bodoh! Lo aja yang sok berkuasa, merasa paling benar untuk menghukum 'kesombongan' berdasar fantasi lo sendiri!" ujar Alif sembari mengangkat alis.

Si senior jelas tidak terima dengan apa yang Alif katakan. Lihat saja, tangannya bahkan sudah mengepal hendak memukul. Sayangnya, Pak Anton lebih dulu meneriaki mereka agar diam.

"Kalian berdua, besok, panggil orang tua...."

"Kenapa sih pak harus pakai cara yang sama untuk menghadapi kami?" Alif protes, sengaja memotong pembicaraan Pak Anton.

"Apa maksudmu?!" Pak Anton makin geram.

"Bapak selalu hanya memandang kami anak nakal yang bertengkar saling pukul. Memandang kami tak beradab. Bapak gak pernah peduli alasan kami melakukan itu. Bapak hanya akan meminta kami memanggil orang tua, lalu bapak sampaikan perbuatan 'nakal' kami yang ujungnya mendesak mereka agar lebih bisa mendidik kami." Alif mengeluarkan seluruh ketidaksetujuannya dengan hati penuh kobaran emosi. Ia muak dengan cara sekolah mengatasi perundungan.

Alif Baswara [[TAMAT]]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang