Berlalu

18 11 0
                                    

Aku tidak tahu bagaimana ayah datang, tapi aku bersyukur sebab Tuhan memanggilnya ke tempat itu. Semua kejadian pagi tadi membuatku banyak belajar tentang apa yang bisa ku dapatkan dari sebuah pembalasan dendam?

Lihat, Om Darus membenci pembunuh istrinya, dan ia melampiaskan kebencian itu pada putra si pembunuh yang hanya ingin hidup normal. Gagan membenciku karena ayahnya pergi sebab kehadiran flashdisk dan sialnya adikku yang harus menaggung kebenciannya.

Sebenarnya apa yang bisa didapat dari sebuah pembalasan dendam? Penderitaan yang tiada putus kah? Atau kepuasan fana yang tampak bagai berlian padahal hanya sebuah kerikil?

Aku menghela napas berat, menggenggam tangan Naya yang saat ini sedang tertidur. Pikiranku berkelana pada masa ketika aku menghajar para perundung di sekolah. Mungkinkah ribuan dendam mereka simpan untukku? Mungkinkah ada penderitaan-penderitaan lain yang datang padaku karena perilaku yang ku anggap benar?

Selama ini, aku tidak bisa menerima diriku yang lemah di masa-masa SMP. Aku begitu takut jika semua penderitaan itu terulang kembali. Tapi lihat? Apa yang ku dapat dari ketakutan itu? Aku membentuk diriku menjadi seorang preman. Menyesal? Tidak.

Aku bisa lepas dari ketakutanku ketika aku mampu menghajar para perundung itu. Tapi ada yang kosong di hati, laiknya perasaan bersalah atas tiap pukulan yang aku hempaskan.

"Lantas apa bedanya aku dan mereka?!" batinku kelu. Aku membenamkan wajahnya di atas punggung tangan Naya, mencari sebuah ketenangan dalam diri adikku yang menderita sebab kelalaianku.

"Kak Alif..."

Suara lirih Naya mmebuatku mendongakkan kepala. Dia tersenyum padaku, "Kok wajah kakak makin jelek sih?" ujarnya merengut, tatapannya fokus pada lebam yang menghiasi wajahku. Aku tersenyum, bahkan di saat seperti ini pun, dia memilih bercanda.

"Udah enakan, Nay?" Aku mengelus kepalanya lembut.

Naya mengangguk, "Naya mau pulang aja deh, Kak. Lagian udah gak sakit.."

"Harus sembuh total dulu. Baru kita pulang."

Naya cemberut mendengar kalimatku. Mata indahnya tampak seperti anak kecil yang tak dituruti ketika menginginkan sesuatu.

"Nay.."

Dia masih menatapku cemberut. Mataku mulai terasa panas, perasaan sesal di dada itu mencuat begitu saja.

"Kakak gagal jaga Naya. Maafin kakak ya, Nay?"

Aku menatap netranya sendu, "Kalau aja kakak..."

"Kakak gak boleh berandai-andai atas segala hal yang terjadi..." Naya memotong ucapanku.

"Naya senang karena bukan kakak yang terluka. Kalau kakak terluka, siapa yang bakal ngurus anak-anak nakal di sekolah?"

Lagi-lagi dia cemberut, bibirnya manyun sekian senti. Pertanyaan itu membuatku terdiam. Aku mengurus anak nakal di sekolah? Apa aku benar mengurus mereka? Atau aku hanya sedang melampiaskan kebencianku atas trauma itu pada mereka? Aku menatap Naya nanar. Apa yang sebenarnya aku inginkan?

***

Suara pintu terbuka membuat lamunanku buyar. Itu Gagan. Lebam di wajahnya lebih banyak dari pada aku. Dia jelas terlihat lebih menderita hari ini. Meski sebenarnya aku masih kesal karena dia berani menyakiti adikku. Aku tahu dia punya latar belakang yang begitu rumit, tapi kesalahan ya tetap kesalahan.

"Sorry ganggu, aku boleh ngobrol?"

Naya menatap Gagan dengan penuh selidik. Pikirnya, kehadiran Gagan ke ruangan ini sangat aneh. Dia bahkan mendeklarasikan kebencian pada Naya dan Alif, kenapa sekarang malah menjenguk Naya?

"Ngobrol aja, Gan!" Ujarku kembali menatap ke arah Naya.

Gagan menghela napas berat, "Nay, sorry. Gua salah," ia menjeda ucapannya.

"Silakan benci gua. Dan jangan maafin gua. Gua emang terlalu brengsek."

Naya melihatku dengan tatapan penuh tanya. Aku menghela napas pelan, berbalik menatap Gagan, "Mending lo pergi, Gan.."

Gagan menatapku nanar, ia mengangguk pelan atas titahku barusan.

"Tapi sebelum itu, aku boleh tahu enggak alasan kamu nolongin aku tadi, Lif?"

Aku diam, tatapan Gagan kini begitu sendu, ia seakan mengemban ribuan penyesalan di sana.

"Aku udah jahat sama kamu dan..."

"Karena gua merasa, Om Darus menyakiti anak yang tidak tahu banyak hal. Gue melihat diri gua di masa lalu dalam diri lo, dan gua ingin menyelamatkan diri gua sendiri."

Gagan terdiam, ia menelan salivanya kasar. Diusapnya wajahnya dengan kasar. Sedetik kemudian, dia mengucap terimakasih, lalu berbalik pergi. Naya yang melihatnya merasa tak tega, bahkan meski ia tidak tahu apa permasalahannya.

"Kenapa sih kak? Dia kok jadi mellow gitu?"

Aku mengelus kepalanya lembut, "Sembuh dulu! Baru kakak ceritain.."

Kalian pasti tahu bagaimana wajah Naya sekarang. Bibirnya manyun sekian senti, aku selalu berhasil mengusili hingga membuatnya cemberut kesal. Aku tertawa melihat ekspresi Naya. Entah kenapa, hatiku lebih lega malam ini.

***

Alif Baswara [[TAMAT]]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang