Pertarungan hari ini cukup sukses besar untuk menjadikan Alif perbincangan di seantero sekolah. Sepanjang perjalanan, hampir seluruh siswa-siswi menatap Alif sambil berbisik pada temannya–memastikan apakah benar dia yang menghajar senior di kantin tadi. Selama hampir setahun berada di sekolahnya, pemuda dengan tatapan setajam elang itu hanya menemukan dua penilaian untuknya. Pertama, dia adalah berandalan yang suka cari sensasi. Kedua, dia adalah preman yang bersikap sok pahlawan.
Alif tidak masalah dengan semua itu. Biarkan saja semua berjalan seperti yang mereka inginkan. Alif pun akan membiarkan semua berjalan seperti yang ia inginkan. Hanya saja, harapnya, mereka yang membiarkan semua berjalan sesuai keinginannya, harus tahu diri menempatkan benar dan salah.
"Oy, Lif! Baru masuk sekolah udah babak belur gini," sapa teman karibnya, Tara.
Alif hanya menghembuskan napas lelah, ia langsung duduk di kursi sembari menopang wajah di antara lipatan tangannya. Staminnya benar-benar terkuras setelah beradu fisik dengan senior tadi. Selain badannya yang kekar, senior itu cukup terlatih beradu tanding.
"Eh, tengkar lagi, Lif? Selain kita siapa lagi yang lo tolong kali ini?" tanya teman karibnya yang lain, Dirga.
"Anak baru. Senior yang pernah bully Tara dulu berulah lagi tadi," singkat Alif.
"Gila! Gak kapok dia?" tanya Tara kaget.
"Padahal kami pernah ngingetin dia biar gak berulah lagi," lanjut Dirga.
Alif sontak menatap kedua temannya, ia mengernyitkan dahi. Dua teman karibnya ini dulu pernah dirundung hanya karena mereka gak mau beliin makan untuk si senior itu. Alif menolong mereka. Sejak saat itu, Dirga dan Tara belajar ilmu bela diri. Sekarang mereka malah menjadi ahli bela diri.
"Kalian pernah mengingatkan si senior itu?" Alif penuh selidik.
"Jangan salah paham, waktu itu gue sama Dirga mergokin dia ngebully temen kita di kelas sebelah. Di luar sekolah sih, tapi kami tetap ngasih pelajaran sewajarnya kok, Lif."
"Ck, gak wajar juga boleh. Gue malah dukung!" Alif kembali membenamkan wajahnya di antara lipatan tangannya. Sementara Dirga dan Tara hanya saling bertatapan. Mereka kenal betul dengan karakter Alif. Bahkan meski berulang kali Tara dan Dirga mencoba mengingatkan dia, tetap saja tidak ada satu pun nasihat mereka yang dipedulikan oleh Alif.
"Emang kalian gak kewalahan ngadepin dia?"
"Yah, setidaknya kami berani meski tidak kewalahan.."
Alif tersenyum simpul mendengar jawaban itu. Ia tidak menyangka jika kedua temannya itu mengalami perubahan yang signifikan. Ia bersyukur untuk itu. Dirga dan Tara menjadi sekuat ini karena sebuah ketidakberdayaan.
"Lif, mau gue beliin air?" Tara menawarkan bantuan.
Alif mengangkat wajahnya, ia menggeleng pelan, "Thanks, Ra. Gue cuma perlu istirahat bentar." Ia menyandarkan tubuhnya di kursi sekolah, tatapannya tertuju pada langit-langit ruang. Sementara kedua temannya memilih untuk membiarkannya. Mereka bergegas menghadap ke depan untuk bersiap menerima pelajaran.
Sebenarnya bangku paling belakang ini cukup aman untuk tidur. Tapi Alif tidak pernah mengizinkan dirinya sendiri untuk mengabaikan guru yang sedang mengajar.
Mata pelajaran pertama hari ini, Matematika. Salah satu pelajaran yang Alif pahami meski tidak ia kuasai seluruhnya. Ia sudah belajar semalam. Bab pertama masih cukup mudah. Tapi dia tidak berminat menjadikannya mudah di sekolah. Bagaimanapun, sejak kejadian di SMP dulu, Alif sudah benar-benar berjanji untuk menjadi siswa biasa saja.
"Sial, kenapa lagi-lagi harus ingat masa SMP sih?" gerutu hatinya. Alif memejamkan mata. Mencoba menenangkan diri, dan melupakan kejadian masa lalu yang tadi bergelayut di kepala. Tapi nihil. Alif malah semakin mengingatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alif Baswara [[TAMAT]]
Teen FictionIni kisah tentang seorang anak SMA yang berani maju menindas para perundung. Tatapannya tajam, auranya penuh misteri, bahkan semua orang di sekolahnya mengakui tentang betapa dinginnya seorang Alif Baswara. Bagi Alif, tidak ada yang bisa dilakukan...