POV Author
Satu Bulan Berlalu
Semburat jingga menerpa wajah empat pemuda yang sedang menikmati senja di bawah pepohonan rindang. Suasana nyaman dekat pantai membuat mereka tersenyum lepas.
"Rekor nih, sebulan penuh muka Alif kagak ada yang bonyok!" Tara membuka pembicaraan.
Dirga tertawa, "Tobat dia tuh! Kemarin aja si adik tingkat dibully sama geng senior sok jagoan, Alif cuma gertak doang. Lah ya kok mereka langsung kabur!"
"Ya jelas kabur. Tampilan preman sih, pada takut semua!" celetuk Naya sembari menatap kakaknya.
Alif hanya tersenyum, "Aku kira.. Selalu ada tempat dan masa untuk setiap hal," ujarnya sembari menatap senja di antara desir ombak.
"Dan yah, mungkin udah masanya aku mengubah caraku mengatasi masalah itu.. "
Dirga dan Tara saling menatap, sementara Naya menghela napas lega. Kakaknya berubah sejak kejadian sebulan lalu. Dia tidak pernah lagi memukuli seniornya yang merundung siswa lain.
"Btw, Lif. Si Hendrik gimana kemarin? Dia nerima tawaran kamu?" Dirga bertanya.
"Pastinya. Foto-foto dari Naya udah cukup bikin dia berhenti."
"Ck, lagian bejat banget tuh anak. Hobi main club, padahal keluarganya kelihatan paham agama semua!"
"Dia pasti punya alasan, Ga.. Meski ya aku belum tahu sih alasannya apa."
"Aduh bosen banget ngobrol sekolah mulu! Udah ah, kita foto bareng kali ya?"
Naya berdiri, menarik tangan Alif untuk berpose di depan kamera. Dirga dan Tara tak mau ketinggalan. Cekrek. Senyum merekah begitu indah membersamai pertemanan mereka.
***
Sepulang dari pantai, empat pemuda itu hendak lebih dulu mampir ke kafe Aksara. Malam ini, mereka sudah memiliki janji untuk bertemu dengan sang pemilik kafe.
Ketika sudah sampai di sana, mereka memesan minuman lalu mencari tempat duduk, kecuali Alif. Pemuda itu malah terus mengajak Ruhi ngobrol. Melihat itu, Tara, Dirga, dan Naya hanya bisa tersenyum melihat seorang Alif yang selalu terlihat salah tingkah tiap mengajak Ruhi ngobrol.
"Kalau mereka jadian, aku yang pertama minta teraktiran!" Tara bersemangat.
"Emang si Alif berani confess?! Dia ngobrol sama Ruhi aja masih kelihatan gemeteran gitu." Timpal Dirga.
"Hft, gimana ga gemeteran? Baru kali ini ada cewe yang bisa buat hati dia luluh," Naya ikut berkomentar, "Tapi kalau ceweknya Ruhi, aku bakal langsung setuju," lanjutnya.
"Ekhem.. Kayaknya bukan cuma Om doang nih yang setuju mereka jadian?" Darus tiba-tiba muncul mendekati tempat duduk mereka. Ia tersenyum ramah.
Kehadiran Darus tentu disambut hangat oleh Dirga, Tara, dan Naya. Mereka menyaliminya dan menarik kursi untuk tempatnya duduk.
"Saya senang sekali kalau melihat kalian. Putri saya juga jadi banyak ngobrol tiap kalian datang ke sini.. " Ujar Darus sumringah.
Tiga remaja itu tersenyum, mereka juga mengatakan bahwa pertemuan dengan Ruhi adalah anugerah luar biasa. Terlebih untuk teman mereka, si Alif.
"Kalau buat Alif mah, kehadiran Ruhi seperti bintang yang menyinari hati!" Celetuk Tara yang disambut tawa renyah dari yang lainnya.
Sementara di bar pemesanan, Ruhi mengajak Alif menghampiri teman-temannya yang sedang ngobrol dengan Darus. Awalnya, Ruhi membaww nampan berisi pesanan teman-temannya. Namun Alif langsung merebut nampan itu dengan alasan, "Aku ingin tahu aja gitu rasanya bawa nampan isi minuman!". Ruhi tertawa dengan kalimat itu.
Setelah Alif dan Ruhi duduk di antara teman-temannya, Darus mulai menyampaikan tujuan dia mengumpulkan Alif, Dirga, Tara, dan Naya.
"Saya harus melakukan perjalanan bisnis ke LN. Yah, akan cukup lama. Saya dan Ruhi akan pergi dari sini untuk sementara waktu. Sekaligus mengobati hati kami."
"Sampai kapan, Om?" Tanya Alif.
"Yah, sampai kami ingin kembali ke sini, Lif. Mungkin setelah Ruhi selesai kuliah, atau bisa lebih lama dari itu."
Ekspresi Alif langsung berubah. Baru saja dia merasakan gemercik bunga yang membuat hatinya tak karuan. Sekarang, ia harus merasakan duri yang bunga-bunga itu percikkan.
"Jadi saya meminta kalian berkumpul di sini, tidak lebih karena saya merasa perlu berpamitan pada kalian.. Esok, saya harap, kita masih bisa berkumpul seperti ini lagi.. "
Dirga dan Tara tertawa, berusaha mencairkan suasana. Naya juga berusaha memaksakan senyumnya. Hanya Alif yang terus diam usai berita itu disampaikan. Ada ngilu yang tiba-tiba bertamu di hatinya.
"Berangkat kapan, Om?" Tanya Alif.
"Lusa, Lif.. " Ujar Darus.
Alif mengangguk. Kemudian ia menatap Ruhi begitu dalam, "Aku harap, kita bisa saling mengikat rasa di hari esok, Ruhi.." Batinnya pilu.
Harapan itu melayang di antara nyanyian para dedaunan. Perasaan kasih dan sayang yang baru saja mekar terpaksa harus dikubur untuk sementara waktu.
Alif menghela napas dalam-dalam.
"Tuhan, pertemukan kami lagi ya? Aku ingin membersamai dia dalam ikatan indah hingga tua nanti.." Batin Alif sendu.
Alif tidak tahu, bahwa saat ini, Ruhi juga merasakan kehilangan yang sama. Dua insan itu melangitkan doa yang sama, tanpa mereka sadari.
Terkadang, perpisahan bukanlah bermakna akhir. Melainkan, sebuah awal cerita.
Sementara di pojok ruangan, sekelompok anak SMA memandangi Alif dan teman-temannya dengan tatapan tajam.
"Gimana? Jadi?" Tanya salah satu anak dengan kaus hitam.
"Ofc. Dia selalu mengganggu kesenangan kita, berasa jadi pahlawan kesiangan.. Dia gak berharap kita bakal diam aja kan?"
Sekumpulan orang itu tersenyum. Mereka menatap Alif dan teman-temannya dengan tatapan penantangan. Mereka tidak sabar menjalankan seluruh rencana indah tentang sebuah pembalasan dendam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Alif Baswara [[TAMAT]]
Roman pour AdolescentsIni kisah tentang seorang anak SMA yang berani maju menindas para perundung. Tatapannya tajam, auranya penuh misteri, bahkan semua orang di sekolahnya mengakui tentang betapa dinginnya seorang Alif Baswara. Bagi Alif, tidak ada yang bisa dilakukan...