Bagian Delapan. (Telah Direvisi)

1K 51 3
                                    

Semua murid fokus menulis di buku ketika guru IPS menjelaskan, hanya Leon yang menatap keluar jendela sambil memainkan pensilnya.

"Yon, dipanggil Pak Yanto tuh!" Drian menyikut lengan Leon. Leon menoleh ke arah guru IPS.

"Leon, fokus atau keluar kelas!" Pak Yanto mengancam, lalu kembali menjelaskan. Leon menghela napas, mulai ikut menulis.

^^^^

Bel pulang sekolah berbunyi, semua anak langsung memasukkan buku dan keluar kelas. Satu dua sambil asyik mengobrol. Leon yang selalu paling pertama keluar kelas kali ini menjadi paling terakhir, ia tampak malas memasukkan buku-bukunya.

"Yon, daritadi salfok di lehermu ada perban. Kamu gapapa?" Drian menyantap jajan yang baru saja ia beli.
"

Nggak tahu, Leon rasanya nggak pengen hidup." jawab Leon, menatap Drian kosong.
"Hush, jangan gitu. Kalo kamu nggak ada, trus aku jailin siapa?" Drian hendak mencubit pipi Leon, tapi ditangkis.
"Leon kira udah dapet kasih sayang Papa, nyatanya tadi pagi Papa ga mau anter aku." Leon menunduk. Ia tersenyum kecut.
"Ututututu, cayang cayang." Drian memeluk dan mengelus-elus kepala Leon. Leon tidak menanggapi.
"Ngelusnya yang lembut, punggung Leon sakit." lirih Leon.
"Iya iya. Papa Drian selalu disini buat kamu." ucap Drian. Kata-kata tersebut membuat Leon mengeluarkan air mata. Berandai-andai Papanya mengatakan hal itu padanya.

Isak tangis Leon terdengar, Drian memeluknya lebih erat. Mengelus lembut kepalanya. Drian selalu pura-pura menjadi orangtua Leon saat Leon sedih, karena Leon pernah mengatakan ingin dibelai Papanya saat ia menangis tersedu-sedu.

"Ayo pulang." ucap Drian, melepaskan pelukannya dan mengusap air mata Leon.
"Anaknya Papa Drian jangan nangis. Leon kuat, kok." lanjutnya, sambil tersenyum.
"Papa Drian hamilnya gimana sih?" tanya Leon polos. Membuat Drian menahan tawa.
"Papa Drian kan bertelur," jawab Drian, lalu tertawa terbahak-bahak. Leon juga ikut tertawa, membayangkan Drian menjadi ayam berkepala manusia dan bertelur. Jokes mereka benar-benar aneh.

^^^^

Leon melemparkan tasnya ke sembarang arah dan duduk di atas kasur. Pandangannya kosong. Padahal kejadiannya tadi pagi tapi Leon terus memikirkannya.

"Buta?"
"ANAK TAK GUNA! BAJINGAN!"

Leon menggigit bibir, berusaha untuk tidak menangis. Tapi pada akhirnya setetes air mata lolos juga, membuatnya menangis lagi. Ia menghempaskan wajahnya ke bantal, agar tidak disadari pelayan-pelayannya.

Leon emang se-nggak pantes itu, ya, dapetin kasih sayang Papa?

Tiba-tiba, pintu kamar Leon diketuk seseorang. Membuat Leon terkejut dan langsung mengusap wajahnya.

"Leon, ke ruang tamu dulu yuk." ucap orang tersebut dari luar, tidak lain dan tidak bukan adalah Avier—Mamanya.
"Iya, Ma." jawab Leon dengan suara sedikit gemetar karena baru saja menangis.

Tak lama, Leon keluar dari kamar dan menghampiri Avier. Avier tersenyum. Di atas paha Avier terdapat seekor kucing, di sebelahnya terdapat koper besar.

"Leon, Leon rawat kucing ini ya?" tanya Avier tiba-tiba, menatap kucing yang ia elus.

Leon melihat ke arah kucing itu, lalu kembali melihat Avier. Leon menatap bingung,"Kenapa Ma? Kok tiba-tiba suruh rawat kucing?"

"Soalnya Mama mau pergi, Leon disini nggak ada temen nanti. Mama pergi bentar doang, kok." jawab Avier, lalu mengelus lembut kepala anaknya. Matanya berkaca-kaca.

Leon dibuat tambah bingung melihat Avier sedih sekali, seolah tidak akan pernah melihat Leon lagi.

"Rawat kucing ini baik-baik, ya." lanjut Avier, suaranya gemetar. Matanya memanas, lalu setetes air mata keluar.

Leon diam, tidak bisa berkata-kata. Melihat Avier menangis membuatnya ingin menangis juga, tapi Leon menahannya.

Leon menatap kucing itu yang tertidur pulas, lalu patah-patah mengangguk.

"Kalo Leon ngerawat kucing ini, Mama janji ya nggak nangis lagi." ucap Leon dengan suara pelan, Avier mengangguk. Ia mengusapkan air matanya.

Avier memberikan kucing itu di ke Leon, lantas Leon menerimanya. Avier berdiri dan mengecup kening Leon.

"Mama sayang banget sama Leon. Mama pergi dulu, ya." ucapnya, lalu membawa koper besarnya dan pergi dari sana.

Leon diam menatap kucing itu, ia tidak tahu cara merawat kucing. Tapi, ia akan belajar demi melihat Mamanya tidak menangis lagi.

"Masuk kamar, yuk." ucap Leon kepada kucing itu, sebagai jawaban kucing itu mendengkur. Leon manggut-manggut pura-pura mengerti maksud kucing itu, mungkin dia menjawab iya.

Di kamar, Leon hati-hati meletakkan kucing tersebut di atas kasurnya. Lalu duduk dan menonton kucing tersebut mendengkur.

"Halo kucing, perkenalkan aku Leon. Azriel Leonard. Namamu siapa?" tanya Leon, kucing itu tidak menanggapi.

"Oke, nama kamu Berlin." jawab Leon. Tanya sendiri jawab sendiri, Leon sangat keren.

"Leon ikut tidur, ya." ucap Leon, ia naik ke atas kasur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Berlin. Lalu tidur disebelah Berlin dan menutup mata. Tidur siang dengan seekor kucing.

^^^^
Halo, author disini.
Terimakasih telah membaca Leon Sayang Papa bagian delapan♡!

Kritsar silahkan komenn(⁠◠⁠‿⁠◕⁠)

CahyaArindi
<⁠(⁠ ̄⁠︶⁠ ̄⁠)⁠>

Leon Sayang Papa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang