Bagian Sebelas|Open End (Telah Direvisi)

1K 40 1
                                    

Hari-hari Leon mengingat kata-kata papanya yang nyelekit, dia tidak pernah mau makan, tidak pernah fokus pada pelajaran, tidak mendengarkan Drian, jarang keluar kamar, menunda tugasnya. Dan setiap malam, Leon selalu mengambil silet dan langsung membuat bekas pada lengannya. Jika saja Berlin tidak disana, Leon tidak akan berhenti.

Drian mengistirahatkan wajahnya ke telapak tangan sambil menghadap ke arah Leon, Leon tampak acuh tak acuh dan melanjutkan lamunannya.

"Yoyon, sering banget make perban? Kamu kenapa?" Drian memulai percakapan, Leon tidak menanggapi. Pandangannya kosong.

"Yon?" Drian melambai-lambaikan tangannya ke arah wajah Leon. Leon langsung tersentak dari lamunannya, lalu menoleh.

Drian menatap sahabatnya khawatir,"Yon, kalo ada apa-apa plis jangan dipendem. Aku di sini, kamu punya aku."

"Iya, Leon gapapa kok." balas Leon, tersenyum. Senyuman yang menyedihkan, seolah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja padahal lubuk hatinya pecah berkeping-keping.

Drian menghela napas, lalu mengelus kepala Leon,"Awas aja kalo kamu tiba-tiba berinisiatif bunuh diri. Kamu mati aku juga mati."

Leon tertawa kecil,"Ngapain?"
"Biar kamu tau kalo kamu ada aku."
"Iya deh, iya."

•••••

Leon membuka pintu kamarnya,"Berlin, aku pulang." Leon tersenyum, tapi tidak ada tanggapan.

"Berlin?" Leon memanggil namanya, ia langsung panik.

Huft, gapapa. Berlin mungkin nggak kedengeran. Leon menutup pintu dari belakang punggungnya.

"Berlin?" Leon memanggil sekali lagi, ia mulai memerika kemana-mana.
"Berlin!" Lagi-lagi tidak ada sahutan, jantungnya berdetak kencang. Keringat dingin dan rasa takut kehilangan kucing yang sangat ia sayangi.

"Berlin. Berlin! Berlin?" Leon terus memanggil nama kucingnya, tapi nihil.

Saat ia hendak menangis, pintu kamarnya dibuka tanpa diketuk.

"Mbak Neno lupa terus, kalo masuk kamar Leon kan-" kata-kata Leon terpotong, ia melihat Aron dengan kresek putih di tangan kirinya. Tapi disitu Leon bisa melihat samar-samar bahwa warna itu mirip dengan bulu Berlin.

"Pah?" suara Leon gemetar, entah rasa takut melihat Aron berada di depan pintu kamarnya atau rasa sedih kresek putih yang samar terlihat warna mirip milik bulu Berlin.

Aron tidak mengatakan apa-apa, dan mengangkat kresek putih di tangan,"di dalam kresek ini kucingmu?"

Leon terbelalak, ternyata di dalam kresek itu benar-benar Berlin. Ia langsung berlari ke arah Aron dan berusaha meraih kresek itu, tapi Leon kalah tinggi dengan papanya sendiri. Leon tidak bisa menangkap kresek itu.

"Kamu ngapain rawat kucing, hah? Adanya bikin bersin, tau!?" Aron berteriak, ia mendorong Leon keras. Membuat Leon terhantam ke lantai, Leon melirih.

"Kucing nggak guna kayak gini lebih baik dibuang aja, seharusnya dulu kamu juga saya buang." tekan Aron, seluruh pelayan yang melihat kejadian hanya bisa menutup mata seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak ada yang berani macam-macam dengan Aron.

"Pah, jangan!" Leon berusaha menghentikan Aron, ia menghampiri Aron sekali lagi. Menarik-narik bajunya.

"Anak bajingan!" Aron mendorong Leon, kali ini lebih keras. Lalu menghantam pintu dan meninggalkan Leon.

Leon terdiam, ia meratap buram tangannya yang ia kalungkan dengan perban. Air-air jernih mengalir dari matanya, dan mendarat ke lantai. Dia mulai nangis sesenggukan.

"Kenapa Papa membenci Leon tanpa alasan? Apa yang udah Leon lakuin sampai Papa benci banget sama keberadaannya Leon? Ngerampas semua yang Leon sayangi. Kalau Papa selalu ngerampas apa yang Leon sayangi, kenapa Papa nggak sekalian rampas hidup Leon juga? Sebenci itukah Papa sama Leon? Leon cuma mau disayang aja."

•••••

Leon terbangun dari tidurnya, jam menunjukkan pukul satu pagi. Leon menoleh menatap keluar jendela, di luar sedang hujan deras. Dan petir tak kalah kerasnya. Hal ini membuat Leon takut, Leon sangat membenci suara petir. Suara keras yang memekikkan telinga membuat Leon sangat takut. Biasanya, Leon akan membangunkan Mama untuk menemaninya tidur.

"Tapi Mama udah nggak ada, Mama udah bahagia tanpa Leon."

Leon membangunkan tubuhnya, punggungnya terasa sakit. Mungkin punggungnya telah membiru, Leon tidak tahu. Ia tidak peduli lagi dengan kesehatannya yang semakin memburuk, tubuhnya yang tak ia rawat seperti dulu, hatinya yang tidak pernah merasakan kehangatan dari Mamanya lagi.

Leon pergi duduk di atas kursi belajarnya, ia mengambil sembarang buku yang berada di dekatnya dan merobek secarik kertas. Lalu menulis sesuatu di kertas itu, melipatnya, menulis lagi, dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Leon keluar kamar diam-diam, dan berlari ke arah balkon. Dia ingat betul jalan menuju ke arah atap. Saat kecil ketika di rumah hanya ada Leon-dan pelayannya, Leon selalu naik genteng dan duduk. Menikmati keindahan langit jingga, dihias oleh awan-awan dan matahari yang menerpa lembut wajah Leon. Leon selalu menaiki genteng untuk melihat matahari terbit dan tenggelam.

Dan sekarang, Leon berada di genteng bukan untuk menikmati indahnya langit, toh, jam 1 tidak mungkin langit terlihat indah. Apalagi saat petir menyambar bergantian. Lagian, Leon tidak berniat untuk menatap langit seperti dulu lagi.

"Leon mau bunuh diri, dadah semuanya."

Leon menatap ke bawah-yang terlihat sangat jauh-dan menutup matanya, menghela napas. Ia tersenyum, kali ini senyumnya terlihat tulus. Seolah sudah memasrahkan semuanya. Menerima semuanya, termasuk perbuatan-perbuatan Aron dan hilangnya Avier. Ia menerima semuanya hanya dengan sekejap mata. Ia merentangkan tangannya, bersiap terjun.

"Makasih semuanya. Maafin Leon, Pa."

END.

•••••

Wahhh, halo semuanya. Udah lama banget ya nggak ku update (⁠・▽⁠・⁠;⁠) maaf ya kalau endingnya terburu-buru atau kecepetan.

Karna aku sendiri emang bukan penulis yang jago, dan nulis juga buat have fun. Aku juga nggak nge expect Leon Sayang Papa bakal banyak lihat.

Makasih ya, udah baca Leon Sayang Papa. Aslinya endingnya mau ku buat open ending, tapi aku bakal buat chapter selanjutnya yang isinya adalah apa yang benar-benar terjadi setelah ini. Cuman kalo kalian punya alur sendiri ya nggak papa, karena cerita ini emang niatnya aku buat jadi open ending.

Sekali lagi, untuk chapter selanjutnya itu ending yang asli atau peristiwa yang bener bener terjadi setelah Leon bilang kayak gini, dan merupakan close ending. Kalau kalian nggak suka sad ending jangan dilanjut ya^^

Kalian bebas kok mau ubah alurnya kayak gimana, karna aku sendiri niatnya sampe sini. Dan sisa ceritanya kalian yang imajinasiin sendiri wwww (⁠ ̄▽⁠ ̄⁠;;)
Buat kalian yg penasaran sama ending aslinya, bentar lagi aku upload kok(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Dadah semuanyaa

CahyaArindi
<⁠(⁠ ̄⁠︶⁠ ̄⁠)⁠>

Leon Sayang Papa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang