Bagian Sepuluh. (Telah Direvisi)

1.7K 66 5
                                    

Leon menutup pintu kamarnya dan menguncinya, air matanya sudah tak bisa ia tahan. Mereka telah mengalir bebas.

"Meong," Berlin yang tidur meringkuk di meja terbangun mendengar isakan Leon, ia segera menghampirinya.

Leon tidak peduli dengan kehadiran Berlin. Ia memeluk lutut dan tetap menangis, membiarkan kesedihan menyelimutinya.

"Meong," Berlin duduk di sebelah Leon, tatapannya terlihat sedang bingung.

"Jangan dekat-dekat." Leon menyembunyikan kepala. Dadanya sesak, tapi ia acuh tak acuh dengan itu. Toh, siapa juga yang akan peduli jika orang yang selalu berusaha ada disisinya sudah tidak ada.

"Kenapa Papa tega cerai sama Mama? Kenapa Papa nggak mau mikirin perasaan Leon?" Leon bertanya sendiri.

Berlin pergi dan menggigit sesuatu di atas meja, lalu turun dan mendekati Leon lagi. Ia meletakkan inhaler milik Leon, lalu duduk.

"Meong," Berlin menggaruk halus kaki Leon, berusaha mendapat perhatiannya. Leon mendongakkan kepalanya, matanya bengkak.

"Meong," Berlin menggarul halus kaki Leon lagi. Leon menatap inhaler lalu kembali menatap Berlin. Ia mengelus kepala Berlin sambil mengambil inhaler.

"Makasih Berlin," Leon tersenyum tipis dan mulai menekan inhaler. Ia menghirup pelan-pelan karena masih mengisak, meskipun ia berusaha

Selesai menghirup, Leon menghapus air matanya dan beranjak mengambil salah satu mainan yang ada di dalam laci.

"Berlin udah makan, kan?" Leon menggoyangkan mainan tikus yang telah diikat di pancingan tali. Berlin yang melihat mainan itu langsung bersiap menangkap.

Leon menggerakkan mainan ke arah kanan, dengan lincah Berlin berlari untuk menangkap mangsanya.

30 menit Leon bermain dengan Berlin, akhirnya Leon meletakkan mainannya. Membiarkan Berlin menggigitnya. Leon menghempaskan dirinya ke atas kasur, melihat ke atas dan perlahan menutup mata.

^^^^

Leon terbangun tengah malam, Berlin sudah tidur nyaman di kasur barunya. Jam menunjukkan pukul dua.

Leon turun dari kasur dan beranjak ke dapur, hendak mengambil air putih. Selesai meneguk air putih, ia mendengar suara.

Prang!

Leon lari ke lantai dua dimana suara itu berasal,"Mungkin ada pelayan yang nggak sengaja jatuhin barang." gumam Leon.

Ia berhenti saat mendengar suara samar dari ruang kerja Aron. Pintu ruang kerja sedikit terbuka, terdapat Aron yang sedang bertengkar dengan seorang wanita dengan paras cantik, wanita itu hampir mirip dengan Mamanya. Leon mendekatkan wajahnya ke pintu, menguping pembicaraan.

"KAMU KALAU MAU JADI ISTRI BARU SAYA DAN PENERUS PERUSAHAAN INI, MASA DATANG JAM SEGINI HANYA INGIN MEMBUAT ONAR!? TIDAK GUNA!" teriak Aron.

"DIAM KAMU, KAMU YANG TIDAK BECUS MENJADI SEORANG SUAMI! KAU MENGANCAM KAKAKKU UNTUK MENIKAHIMU AGAR NAFSU BRENGSEK MILIKMU TERPENUHI, LALU KAMU BERCERAI DENGAN KAKAKKU SEENAKNYA? KAMU BINATANG YA?! LAKI-LAKI ANJING!" balas wanita itu tak kalah keras, ia menangis marah.

Aron menampar keras wajah wanita itu, membuatnya terjatuh. Wanita tersebut mengangkat kepalanya, ia terlihat sangat kesal dan sedih.

"KALAU HANYA INGIN MENGANGGU, KELUAR SANA!" Aron menendang wanita tersebut, lalu kembali duduk di kursinya. Melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

Wanita itu menatap Aron penuh benci dan berkata,"KUHARAP SEMUA YANG KAU MILIKI HILANG, BAHKAN ANAKMU LEON YANG BERHARGA SEKALIPUN!"

Ia berlari keluar ruangan, tidak peduli dengan Leon yang menyimak pembicaraan. Leon menatap wanita tersebut, lalu ke arah Aron.

"Sejak kapan Leon berharga? Anak itu tidak becus, tidak pantas disebut anak sendiri." gumam Aron. Kata-kata itu menohok hati Leon sekali lagi dan tanpa ia sadari, air matanya langsung mengalir bebas. Leon menunduk, lalu berjalan pelan ke kamarnya.

Mungkin kalo Leon mati, Papa jadi seneng.

^^^^
Hai, Author disini!
Terimakasih telah membaca "Leon Sayang Papa" bagian 10(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡!

Kritik dan saran bisa ditaruh di komen yaa, see you!

CahyaArindi
<⁠(⁠ ̄⁠︶⁠ ̄⁠)⁠>

Leon Sayang Papa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang