Bagian Tujuh. (Telah Direvisi)

1K 49 1
                                    

Leon membuka matanya, jam menunjukkan pukul empat. Ia bergegas mandi dan turun untuk ke ruang makan.

Di ruang makan, ia melihat Papanya—Aron sedang sarapan sambil sibuk melihat ponsel. Mungkin pekerjaan. Senyum Leon mengembang, ia mendekati Aron.

"Papa!" sahut Leon menyapa senang. Aron acuh tak acuh mendapati kehadirannya, terus fokus menatap ponsel.

"Papa.. Papa.. Papapapapapa," Leon memanggil Aron berkali-kali sambil menggoyang-goyangkan lengan Aron. Berusaha mendapat perhatiannya.

Aron dengan wajah tidak suka menepis tangan Leon,"Sejak kapan kamu boleh pegang tangan saya!? Kamu lihat tidak saya lagi ngapain?! Buta!" bentak Aron. Leon langsung mematung, kata-kata Aron menohok hatinya.

"Ta.. tapi Papa jadi nganter Leon kan?" tanya Leon sekali lagi. Pertanyaan itu membuat Aron tersedak, ia meminum air di depannya. Ia menoleh ke Leon dengan tatapan tajam.

"SEJAK KAPAN SAYA BILANG SAYA AKAN NGANTER KAMU, HAH?! ANAK TAK GUNA! BAJINGAN!" teriak Aron, ia berdiri dan pergi menjauh dari Leon. Leon menunduk.

Mbak Neno yang melihatnya merasa iba, ia menghampiri dan mengelus-elus Leon. Leon mengangkat kepalanya, menepis halus tangan Mbak Neno. Sambil memaksa tersenyum ia berterimakasih dan pergi.

Jam menunjukkan pukul lima, Leon mengemas buku pelajaran dan mengenakan kaos kaki. Hari ini dia tidak nafsu makan, laparnya hilang.

"Leon sayang, nggak sarapan dulu?" tanya seseorang, dia adalah Avier—Mamanya.
"Nggak usah, Ma." balas Leon, tanpa menoleh.

Melihat Leon yang lesu, Avier menghampirinya. Mengelus kepala Leon.

"Gimana kalo Mama anter?" tanya Avier. Leon sempat diam, lalu mengangguk pelan. Ia ingin diantar Papanya, tapi tidak ingin menolak Mamanya.

Avier tersenyum dan mengecup kepala Leon,"Jangan lesu dong, masa anak Mama nggak semangat pagi-pagi."

"Leon nggak lesu, kok." jawab Leon. Tiba-tiba, Avier mencubit pipinya.
"Adah, adah. Mamah, sakit!" lirih Leon.
"Duhh, anak Mama menggemaskan sekali!" Avier memeluk Leon gemas, lalu mengecup keningnya.

••••

Sampai di gerbang sekolah, Leon membuka pintu mobil dan pergi sambil melambaikan tangan ke Avier.

"Dadah, sayang. Semangat belajarnya!" Avier melambaikan tangannya, Leon hanya tersenyum paksa.

Setelah mobilnya pergi, Leon langsung menunduk. Kembali lesu, tidak semangat sekolah.

"Hai Yoyon." seseorang menepuk bahu Leon, membuatnya tersentak kaget. Siapa lagi kalau bukan Adrian.
"Katanya mau traktir. Mana nih?" tagih Drian. Leon menepis tangan Drian.
"Ga ada, uang Leon tadi meninggal." ucap Leon asal.
"Mana ada uang meninggal, Yon." Drian mengerutkan kening.
"Ada, buktinya uang Leon tadi meninggal." balas Leon.

Ia mempercepat langkah. Tidak ingin basa-basi dengan Drian. Hari ini, Leon tidak ingin bicara dengan siapa-siapa. Ingin sendiri.

Drian yang melihat sahabat yang berteman dengannya dari SMP kelas satu hanya bisa menghela napas dan melipat kedua tangannya. Dia tahu alasan Leon tidak jadi mentraktir. Karena Papanya.

••••
Halo, author disini!(・∀・*)
Terimakasih telah membaca "Leon Sayang Papa" bagian tujuh♡!

Kritik dan saran are welcomed!

CahyaArindi
<⁠(⁠ ̄⁠︶⁠ ̄⁠)⁠>

Leon Sayang Papa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang