Bagian Sembilan. (Telah Direvisi)

1K 55 4
                                    

Leon mencium bau tidak enak, membuat tidur nyenyaknya terganggu. Leon mengibaskan tangan ke hidung untuk menyingkirkan bau busuk.

"Bau banget. Aduh , siapa sih yang habis ke toilet nggak disiram?" Leon mengucek matanya lalu melihat sekitar, mencari dari mana asal bau itu. Ia terhenti dan melihat sesuatu di sebelah kucing itu.

"TAI KUCING!!" jerit Leon, ia langsung mundur ke belakang.

Mendengar suara Leon, seluruh pelayan rumah langsung lari dan membuka pintu Leon tanpa mengetuk.

"Ada apa Leon?!" tanya salah satu pelayan, Mbak Neno. Wajahnya terlihat sangat panik. Leon mendongak, lalu menangis.

"Berlin eek di kasur Leon.." lirihnya, menunjuk ke arah kucingnya yang sedang tertidur pulas. Tak peduli dengan jeritan Leon tadi.

^^^^

Setelah masalah Berlin buang air besar di kasur selesai, para pelayan kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Leon duduk menghirup inhaler berkali-kali karena masalah kecil ini membuatnya sesak napas. Setelah itu ia menaruh inhaler ke dalam laci dan diam menatap Berlin, mau marah tapi Berlin terlalu imut.

Leon menghela napas,"Awas kamu berak lagi di atas kasur Leon." ancamnya, kucing itu masih mendengkur. Tidurnya sama sekali tidak terganggu.

"Leon," panggil seseorang, pintu kamar Leon diketuk.
"Iya, sebentar Mbak Neno." sahut Leon, ia segera pergi membuka pintu kamar.
"Kenapa Mbak?" tanya Leon.
"Mau tau cara rawat kucing? Biar nggak buang kotoran terus kucingnya." Mbak Neno tersenyum.

Leon menoleh ke arah Berlin dan kembali menatap Mbak Neno, lalu mengangguk setuju. Setelah itu, Leon dan Mbak Neno pergi ke mall dan membeli barang untuk Berlin. Mereka baru pulang malam hari.

"Leon, barang-barangnya kan sudah diurus, Mbak Neno mau kerja lagi, ya." ucap Mbak Neno, lalu tersenyum. Leon mengangguk dan masuk ke kamar.

Kamarnya yang tidak ada menariknya sekarang telah terdapat mainan kucing, stok makanan kucing, sampo kucing, sisir kucing, handuk kecil, tempat tidur kucing dan tempat makan untuk kucing. Hal ini membuat kamarnya menjadi lumayan ramai.

Berlin yang telah bangun setelah barang-barang telah di urus mencakar cat condo. Leon hanya menghela napas dan mulai mengisi tempat makan kucing yang canggih. Cukup menuangkan makanan kering ke container yang sudah disediakan dan mengatur waktu kapan akan keluar melalui lubang dibawahnya.

"Karena seharian Berlin belum makan, makan sekarang yuk! Leon temenin," Leon mengatur waktu agar makanannya keluar saat itu juga dan mengangkat Berlin.

"Nah, makan." Leon meletakkan Berlin di depan tempat makanannya, dengan lahap Berlin memakannya. Leon menatap Berlin dan tersenyum gemas. Aduh, kucing ini imut sekali.

Tak lama, Leon teringat sesuatu. Ia segera keluar kamar dan menghampiri tempat kerja Aron—Papanya. Belum melihat Papanya saja hatinya sudah menciut, apalagi menghadapinya. Dengan gemetar Leon mengetuk pintu kerja.

"Papa.." panggil Leon pelan. Tak ada jawaban. Leon mengetuk lagi.
"Pah," panggilan kedua, pintu dibuka. Muncullah Aron, Leon menelan ludah.
"Apa?" tanya Aron dengan tatapan benci, rambutnya berantakan, bajunya kusut. Jantung Leon berdebar ketakutan.
"Mama-" kalimat Leon terpotong.

"Wanita bajingan itu sudah tak disini lagi, sekarang pergi dari hadapan saya." jawab Aron datar. Ia hendak menutup pintu, tetapi dicegah Leon.

"Maksudnya apa, Pa? Mama Papa pisah?" Aron menatap Leon lagi, kali ini raut wajahnya bertambah seram. Membuat jantung Leon sempat berhenti berdetak.

"Iya." jawab Aron, lalu ia menghantam pintu dengan keras.

Leon terdiam. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenak Leon, ia sudah tahu jawabannya. Jawaban Papanya cukup untuk bisa menyimpulkan semuanya.

Tanpa Leon sadari, ia mengeluarkan setetes air mata satu persatu. Lama-kelamaan, air matanya mengalir deras.

"Papa kenapa pisah sama Mama?" tanya Leon, tak ada jawaban dari ruang kerja Aron.
"Emang Mama salah apa?"
"Papa tega banget."

Leon lari ke kamarnya, mengunci, dan menangis sambil terisak. Aron yang masih berdiri di depan pintu kantornya diam, mendengar ucapan Leon tadi. Pikirannya mulai dipenuhi hal itu, Aron langsung membuang jauh-jauh pikiran itu.

"Menyebalkan." ketus Aron. Meski Aron berusaha tidak peduli, namun di lubuk hatinya ia merasa kasihan dengan Leon.

^^^^
Hai, author disini!
Terimakasih telah membaca "Leon Sayang Papa" bagian sembilan♡! Kritsar silahkan komen^^

Oh iya, kalau butuh refreshing setelah baca Leon Sayang Papa. Author ada cerita nih di sec acc, sekalian promosi hehe.

 Author ada cerita nih di sec acc, sekalian promosi hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CahyaArindi
<⁠(⁠ ̄⁠︶⁠ ̄⁠)⁠>

Leon Sayang Papa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang