1 • Pelataran Masjid

22 3 1
                                    

Natha terdiam sambil menatap genggaman ponsel yang sedari tadi berada di dekapan jari-jemarinya. Badannya yang mengenakan jaket berwarna hitam itu hanya terduduk pada pelataran masjid tepat di baris kedua dari anak tangga bagian depan masjid itu.

"Tha, aku udah selesai." Terdengar suara sapaan dari belakang, membuat Natha berbalik sambil memposisikan tubuhnya berdiri.

"Udah?"

"Udah dong, kalau belum ngapain aku keluar masjid!" Terlihat Talica tengah memperbaiki posisi tubuhnya sebelum beranjak menghampiri Natha yang sedikit lebih jauh di depannya.

"Pantas aja aura kamu beda. Makin adem aja!"

"Bisa aja kamu. Ya udah, kamu gak ke gereja?" tanya Talica sembari mengenakan sepatunya. Setelah selesai, ia kini mengimbangi langkah Natha yang telah berada di sampingnya agak dekat.

"Cha-cha, kan aku ke gereja hari minggu, ini masih hari sabtu. Kamu kayak gak tau aja!" Raut wajah Natha seketika berubah, kali ini ia sedikit kurang mengerti omongan Talica yang sering kali ia panggil Cha-cha.

"Oh iya. Ya udah kita jalan ke mana lagi ini?"

Berhubung hari ini adalah hari weekend, Talica ingin menghabiskan waktu bersama Natha sepulang sekolah ini. Lagian di rumah tak ada siapa-siapa.

"Hmm ... Kamu mau gak temenin aku ke entertaniment?"

Walaupun Natha tahu jika tempat itu adalah tempat yang tak disukai oleh Talica, tetapi tak ada pilihan lain lagi selain mengajak Talica ikut. Tak lama lagi pentas akan dimulai, tentunya Natha yang memiliki hobi bernyanyi harus latihan.

Sedangkan Talica, ia menghentikan langkahnya dengan Natha yang ikut berhenti. Kini perasaan bersalah itu datang. Seharusnya ia tak bertanya semacam itu dengan Talica.

"Di sana ada, Erika?" tanya Talica dengan nada agak tersendak-sendak. Ia hanya ingin memastikan.

Bagi Talica, Erika adalah saingan terbesarnya. Bagaimana tidak, Erika merupakan wanita yang seringkali diajak duet bernyanyi oleh Natha, sedangkan dirinya? Ia tak pandai dalam bidang musik!

"Kayaknya ada." Jujur saja, bibir Natha terdengar begitu berat mengatakan itu. "Kamu gak usah cemburu, walaupun kita itu sering duet bareng, tapi kita itu cuman teman," sambungnya kembali.

Tak ingin membuat Talica mengerutkan dahi, Natha membalikkan badan sambil memegangi kedua belah pipi Talica. Ia mendonggakan hingga menatap penuh wajahnya.

"Udah ya Mochi, ikut aku."

Tangan Natha berusaha menggandeng penuh jari-jemari Talica hingga menyeretnya menuju tempat entertainment yang tak jauh dari sana.

Hingga akhir perjalanan. Terdengar dari arah pagar, dentungan musik keras menyambut kedatangan mereka. Natha langsung saja bergegas menuju ruang musik sambil tetap mengikutkan Talica di gandengannya.

"Shalom ... Maaf aku telat," ucap Natha setelah memasuki ruangan musik, menghentikan suara gamelang yang tadinya tersenandungkan. Ia sedikit membungkukkan badannya.

"Eh, Natha, kamu baru datang, ya?" Terdengar suara sambutan itu berasal dari Erika.

"Ish!"

"Kenapa? Gak usah marah, dia orangnya emang gitu. Aku gak bakalan macam-macam. Kalau aku berani buat hal yang bikin kamu sakit, kamu boleh aduin aku ke Tuhan kamu."

Natha tahu jelas bagaimana Talica ketika sedang kesal.

"Oh, Really?"

"Yes, Whatever it!"

Hanya tawa kecil yang bisa digemakan oleh gadis anggun tersebut. Ia kini beralih mencari tempat duduk kosong sambil menatap dari kejauhan Natha yang tengah latihan.

Segala dentungan musik kini mulai tercipta, sedangkan Talica hanya bisa menggeser layar ponsel milik Natha yang sempat dititipkan padanya.

"Teryata Natha juga punya foto yang bikin meleleh. Kenapa coba dia gak kirim ke aku aja! Dasar emang."

"Talica?"

Lamunan Talica terhenti setelah satu suara berasal dari samping gedung membuatnya menoleh.

"Sanum? Kamu ngapain di sini?" Sontak Talica ikut terheran, mengapa Sanum yang bisa dikatakan sebagai sahabat beda kelasnya itu ada di dalam kelas musik.

"Mau nyanyi lah!"

"Kamu bisa nyanyi emang? Suara kamu pecicilan gini, kok bisa nyanyi. Ngelawak kamu." Bagi Talica, Sanum adalah tempat segala ruh gilanya keluar.

"Kayak belum tau aja kamu. Sekarang aku yang nanya balik, kamu ngapain di sini?"

"Nemenin ayang aku dong!"

"Si Natha? Tapi Erika pernah bilang kalau kamu sama Natha udah putus." Perbincangan mereka akhirnya di mulai dengan suara yang agak samar-samar.

"Memang pernah putus, baru-baru ini balikan lagi. Aku sama Natha putus karena paksaan pendeta. Pendeta yang di gerejanya Natha gak terima kalau Natha pacaran sama Anak Hawa."

"Tapi kamu sama dia bisa balikan lagi, kenapa?"

"Kamu tau kan, kalau udah cinta susah buat pisah. Nanti juga bakalan pisah lagi, gak tau ah! Nanti hubungan aku sama dia mau ke mana lagi." terlihat wajah Talica begitu tertekan menceritakan hal tersebut. Ia sengaja mematikan ponsel Natha agar bisa fokus pada pembicaraan.

Sedangkan Sanum yang sedari tadi mendengarkan itu tentu ikut simpati. Ia belum pernah mendapatkan kisah semacam itu terlebih lagi mereka berpacaran sudah lebih 4 tahunan.

"Natha sayang banget, ya sama kamu sampai dia rela buat lawan pendetanya."

"Dia gak lawan. Hanya saja Natha pindah rumah, otomatis tempat ibadahnya bukan di sana lagi. Pendetanya juga beda."

Lama perbincangan itu, kini berakhir diiringi Natha yang selesai pada latihannya.

Talica menyodorkan botol air mineral setelah memerhatikan keringat Natha bercucuran.

"Cape, ya?" tanyanya.

"Gak! Kan kamu ada di depan aku, gimana caranya capek!"

"Dih gombal dia!"

Seiring itu, Natha meneguk air mineral tersebut hingga menyisahkan setengahnya saja. Air itu memenuhi rongga. Bibirnya hingga membentuk bulatan pada pipi. Itu merupakan satu hal yang membuat Talica gemas.

"Oh iya, Cha-cha, ini udah sore, kamu shalat ashar dulu sana."

"Bentar, ini lagi ngobrol sama Sanum, jarang-jarang aku ketemu lagi."

Bagi Natha itu hal yang sangat dibenci. Ia menggeleng dengan pelan. Tanpa aba-aba, tangannya menarik paksa lengan tangan Talica hingga menjatuhkan ponsel yang sedari tadi berada di atas pangkuannnya.

"Maksudnya?" tanya Talica heran. Ia belum juga memunguti dua ponsel yang terjatuh itu. Dirinya terfokus pada tingkah Natha.

"Shalat gak sekarang? Kalau gak, aku bakalan cuekin kamu seminggu, gak bantuin kerja tugas kimia, bolos pelajaran penjas, lari ngos-ngosan keliling lapangan, sampai-sampai ngaduk sampah di tong sampah! Kan kamu pernah bilang sama aku, shalat itu gak boleh ditunda!"

"Kenapa gak ada romantisnya banget Tha. I-iya udah, ini mau siap-siap," gugup Talica. Nada suara yang lantang membuat Talica ketakutan dan memilih melakukan apa yang diperintahkan itu secepatnya.

"Aku antar atau gak?"

"Gak usah, emang aku paket apa di antar-antar!"

Tanpa mengubris pada ponsel yang masih tergeletak di lantai, Talica melangkahkan kaki menuju arah masjid belakang gedung entertainment.

Namun, satu keganjalan membuatnya terhenti. Wanita yang memiliki wajah sinis menghalagi tepat di depan langkah kaki Talica.

"Erika? Kenapa?" Wajahnya seketika datar, mengapa Erika muncul tiba-tiba dengan wajah yang sangat tak ramah.

"Natha itu gak sealiran sama kamu, mendingan putus aja lagi!"

"Oh, oh, kamu nyuruh aku putus sama Natha karena kamu mau kan sama dia?!" Kini Talica berani melawan.

Kita Beda TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang