Bukan hanya Talica yang membulatkan mata, Michael pun sama tapi lebih serius.
"Apa hubungannya, Talica butuh Ibunya kenapa malah bahu kamu yang dibutuhin dia!" kekang Michael. Dari sisi sini Natha mulai bisa mengetahui apa maksud dari Michael. Wajar saja Natha orangnya peka perasaan.
"Kamu nggak pernah tahu. Kamu itu cuman orang masuk aja, aku sama Talica kalau ada masalah selalu dibicarakan dengan mesra!"
"Mesra-mesra apanya, Talica ini lagi sedih, malah mau mesra-mesraan!"
Tampak Michael tak ingin mengalah, bagaimanapun ia harus bisa menjadi yang terbaik di hadapan Talica.
Sedangkan gadis itu, dirinya memutuskan untuk mendengarkan saja segala seluk beluk yang dikeluarkan oleh dua pria beda agama itu.
"Talica, peluk aku sekarang!"
Natha membentangkan lengannya dengan cukup lebar berharap Talica masuk dalam dekapannya dan segala masalah terselesaikan.
Tapi tidak secepat itu. Naasnya Talica meraih gulungan tangan yang sedari tadi disembunyikan oleh Michael, menariknya untuk bergandengan.
Suasana ini semakin dipersulit, Natha menurunkan bentangan lengannya, wajah cemburu sudah mulai terlihat di pelupuk matanya.
"Maksud kamu apa?" tanya Natha masih sempat menahan emosinya. Hidung sampai kembang kempis, perlahan tangannya pun ikut menggulung, terlihatlah urat-urat pada sela jemari.
"Aku mau sama Michael," jawab Talica dengan pelan. Tangan Michael masih di genggam erat tanpa membalas genggaman itu.
"Kamu udah kena jin peletnya Michael?"
"Nggak! Michael orang baik, nggak sama kayak kamu. Sekarang pergi dan jangan ganggu aku lagi. Jangan buat sejarah baru pada buku diaryku."
"Tapi Cha, Michael itu orang pendatang aja diantara hubungan kita."
"Hubungan apa yang kamu maksud? Kamu dengan Talica kan udah putus, mana ada hubungan."
Michael mulai bisa menyeimbangkan keinginan Talica dengan menjatuhkan sahabatnya sendiri.
Hanya gelengan pelan tak menyangka yang dikeluarkan oleh Natha. Ingin menampar tapi tangannya terhalang oleh rasa yang masih belum bisa ia lupakan.
"Jangan buat aku dengan Talica semakin menjauh. Ternyata benar, cowok nggak cuman mau dimanfaatin doang, pasti ada maunya juga."
"Siapa bilang? Talica aja yang tiba-tiba gandeng tangan aku. Salah aku di mana?"
"Arrghh!! Bagaimana pun kamu dengan Talica tidak akan satu! Kamu sendiri kan yang ngajarin aku. Kita sama-sama anak Tuhan Yesus, salib, gereja, dan pendeta itu milik kita!"
Kini Natha memilih untuk pergi daripada kesabarannya habis dan membuat semua kacau. Kakinya dengan cepat berbalik, membiarkan rasa cemburu itu ia pendam.
"Natha!" Suara panggilan dari arah belakang membuat Natha terhenti. Michael mendekat dengan ketukan kaki pelannya melangkah ke arah Natha.
Dengan pelan Michael mendekatkan bibirnya pada jenjang telinga Natha, membisikkan satu hal,
"Tenang saja boy, Talica masih milik kamu. Aku hanya pinjam. Dia terlalu imut untuk aku lewatkan padamu."
"Kalau sampai kamu sakitin dia, sampai di ujung dunia pun aku tidak akan melewatkan kamu bersanding dengan Talica!"
"Santai aja boy, sudah kubilang Talica cuman mau aku pinjam." Michael menghentikan bisikan itu, sebelum pergi tangannya tak lupa menghentikan gulungan tangan Natha ia berusaha agar Natha menghilangkan kekaran tangannya.
"Sukses di masa depan," akhir Michael.
Michael kembali pada Talica. Ia bahkan merangkul dengan kuat leher Talica dan mengajaknya pergi berkeliling tanpa ada Natha di sampingnya.
Setelah jaraknya lumayan jauh, Natha masih bisa memerhatikan.
"Wajah Michael kayak orang mabuk. Apa dia memang mabuk? Aku nggak bisa biarin Talica kayak gini, apalagi dia dirundung masalah."
Dengan nekat Natha terpaksa mengikuti kemana Michael akan membawa Talica. Dirinya tak lupa memakai penyamaran dengan style agak berbeda dari biasanya.
"Sekarang kita ke mana, baby?"
"Baby? Mulut! Nggak usah berharap yang nggak-nggak. Aku lapar!"
Talica menghempas lengan Michael yang tadinya melingkar di bahunya. Jujur saja ia tak ingin membuat Natha tersakiti sama seperti tadi. Raut wajahnya memberikan bukti bahwa ia sangat kecewa.
Masalah satu belum selesai, kini Talica mendapat masalah baru. Bagaimana ia bisa mengatakan permintaan maafnya sebelum kembali ke Jakarta. Setelah itu ia tidak akan bertemu dengan yang namanya Alexandria Minatha.
"Ya udah. Malam ini kita ambil rute ya. Berangkat ke Jakarta," ucap Michael langsung saja.
Itu membuat langkah Talica berhenti, memandang penuh pertanyaan tak masuk akal.
"Kenapa? Aku belum puas di kota Bali, masa udah mau pergi aja. Lagian aku mau peluk Ibu sebelum pergi. Kalau nggak berhasil ya aku nggak bakalan pulang!" Ia melipat kedua lengannya pada dada sambil bibir memonyong tanda tak setuju.
"Talica, kita itu anak sekolah, bukan anak yang nyari kerjaan. Nggak baik juga kalau kita tinggal di tempat tinggal sama kayak Natha."
"Kenapa nggak? Siapa yang larang?"
"Kamu mau ketinggalan pelajaran?"
"Nggak. Tapi masa jauh-jauh ke kota Bali, tapi malah nggak dapat apa-apa. Aku cuman butuh pelukan Ibu, bukan pelukan Natha apalagi kamu!"
Cara apalagi yang bisa dikatakan oleh Michael agar Talica bisa menurut. Sebenarnya Michael melakukan itu bukan karena mengingat sekolah, tapi ia tak ingin jika Talica kembali bertemu Natha dan memulai kisah baru dan dirinya dihempaskan.
"Kata kepala sekolah, kita cuman dikasih izin tiga hari," kata Michael kembali.
"Itu bukan masalah. Aku bisa minta kepala sekolah buat ngasih kita izin lebih lama. Siapa yang nggak tau Talica Zahira Bilqis, anak tunggal bapak Herman seorang pengacara terkenal Mancanegara!"
Apa boleh buat. Jika Talica sudah berkata sedemikian, bahkan Michael pun tak mampu menolak. Ia takut berurusan lebih lanjut, maka itu ia pasrah.
"Ya udah. Mau tinggal sampai brewokan di sini juga nggak apa-apa. Asal kamu bahagia dan mungkin aku bisa mulung di sini karena nggak bawa uang."
"Kamu lupa? Aku ini anak orang terkenal, ayah aku transfer uang tiap minggu, kalau telat bakal aku pecat!"
"Anak orang terkenal kok broken home. Rata-rata kayak gitu ya."
"Yang penting cuannya lancar!"
Talica mulai berjalan mendahului Michael. Sedangkan Natha yang masih mengikut berusaha mendengarkan percakapan keduanya tapi sulit. Jaraknya masih lumayan jauh. Ia juga takut untuk mendekat lebih dekat.
Sambil mencari makanan, Talica tak lupa mengambil spot foto dengan Michael yang menjadi fotografernya.
Pemandangan ini justru membuat mata Natha kesakitan. Bagaimana tidak, Michael mengambil posisinya. Dulu yang di sana adalah dirinya.
"Berbahagialah selagi kamu bisa Cha, orang baru memang menarik, tapi nggak mungkin semenarik aku. Jujur ini perih yang tak biasa. Melihat sahabat sendiri dijadikan orang utama."
Hanya di sudut tembok Natha terdiam, dengan dagu yang ia topang mengangumi wajah mantannya dari kejauhan. Sunggung amat menyakitkan.
"Mungkin ini karma dari Tuhan-nya Talica. Kan dulu aku pernah minta hukuman, dan sekarang yang datang azab."
Rasa ingin menghapus kutukan itu, tapi bagaimana caranya, ini yang ia minta dahulu sampai merintih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Beda Tuhan
Fiksi RemajaSorai bercerita~ "Di kota Bali. Terluka untuk ke 1.674 kalinya, terdeteksi kehancuran sekitar dua kali perhari mengakibatkan keretakan mendalam. Aku harus mengadu pada Tuhan-ku." ~Talica_ Berdiam menatap kosong dengan pikiran yang kusut. Seolah lupa...