Tak ingin berlama-lama lagi banyak bicara, Michael menatap Natha dengan tatapan kosong berharap ada ide yang muncul dalam benaknya agar bisa menjadi alasan dirinya memintai uang Natha.
"Why?" Pertanyaan itu dahulu menghampiri Michael dan Talica.
Siapa yang tidak percaya, perasaan permasalahan ini tak ada yang mengetahui selain mereka berdua, mengapa Natha tiba-tiba saja?
"Kita rindu sama kamu," ungkap Michael yang memalingkan pembicaraan. Talica yang mendengarkan itu sedikit mengedikan bahunya.
"Bilang aja yang sebenarnya, aku tau kenapa kamu pulang ke sini."
Rasa tegang itu datang, jangan sampai Natha mengecap mereka sebagai orang yang matre.
"Karena apa?" tanya Talica yang berjalan mendekati pria itu di atas kasur baringnya sambil menatap ke arahnya.
"Karena...."
Natha menghentikan ucapannya dengan tangan yang sibuk meraih tas miliknya dengan dompet yang ia rogoh di dalam.
"Kayaknya Natha bakalan ngasih kita uang. Kita bakalan selamat," bisik Michael.
"Kenapa dia bisa tau kalau kita mau minta uang coba? Kamu cerita ke dia?" Pandangan masih mengarah pada Natha yang tanpa sadar.
"Harusnya kamu senang, nasib kita selamat dan tas kamu semoga ikut selamat juga. Jangan sampai udah ada yang ambil."
"Kalau di ambil tinggal minta lagi ke Natha."
Di balik itu, pria yang sedari tadi merogoh dompet kini selesai dengan pandangan menatap pada kedua gender yang masih sibuk dengan percakapan.
"Kalian mau ini kan?" Tampak di tangannya ada banyak uang, mood dua gender itu kembali dengan tatapan berbinar penuh pengharapan.
"Nggak," tolak Talica iseng.
"Eh, mau! Orang bodoh kalau nolak uang rezeki segepok lagi!"
Michael mendahului Talica, berjalan menyusul Natha, menghampiri dan segera meraih uang yang sedari tadi dikipaskan oleh Natha.
Michael mendekatkan uang itu pada lubang hidungnya, merasakan aroma yang di keluarkan oleh uang tersebut. "Bau kebahagian."
Tak berlama-lama lagi, Michael memasukkan dalam saku setelahnya berjalan dengan enjoy.
"Dasar kambing. Udah dikasih nggak berterima kasih!"
"Kamu kan nggak butuh terima kasih, Sultan!"
"Udah yok, keburu tas aku di ambil orang. Banyak barang berharga di sana!"
"Eh aku antar aja. Aku juga udah sehat!" Tadinya Natha berbaring kini bangkit meninggalkan kasur tersebut walau selang infus dan perban masih melekat di kening.
"Tha! Kamu itu sakit!" Kepanikan Talica terlihat ketika Natha berniat meraih selang infus miliknya, menarik dengan penuh tenaga.
Sssttt!
Lepas sudah selang itu. Darahnya terpercik hingga meninggalkan bekas pada kasur di sebelahnya.
Natha masih sempat tersenyum tanpa beban yang ia rasakan. Sedangkan Talica? Langsung saja memanggil dokter dengan teriakan pecah penuh khawatir.
"Aku nggak apa-apa. Ini nggak sakit, serius. Kita ke mobil aku sekarang."
"Ish, bego! Itu sakit, aku nggak bakalan ngikut sama kamu kalau kayak gitu! Pakai lagi perbannya!"
"Percuma aku pakai, kalau obat sakit aku cuman kamu."
Walau ucapannya seperti itu, Talica tetap tak akan percaya. Kesenangannya mendapatkan uang tak ada artinya dibandingkan tangan Natha yang bermandikan darah.
"Nggak!"
Dirinya berbalik badan, dengan cepat keluar ruangan berlari mencari keberadaan dokter. Wajah panik itu seketika pucat, air matanya tak tertahankan.
"Kalau terjadi apa-apa sama Natha, ini kesalahanku! Keluarganya bisa saja marah kalau sampai dia tau ini!"
"Cha, aku nggak apa-apa!" Natha mengikut di belakangnya, dengan sigap menghampiri Talica agar tak nekat memberitahukan dokter.
"Kita tinggalin rumah sakit ini sekarang! Aku muak di sini!" ucap Natha menghentikan Talica. Ia memegangi kedua belah bahunya, menatap penuh tajam.
Setelahnya berpindah pada pergelangan Talica, menariknya pergi secepat mungkin sebelum suster ataupun dokter berhasil melihatnya hingga tak berhasil lolos.
Sekarang bagaimana? Mungkin saja Natha, Talica dan Michael akan berjalan dengan menggunakan kaki. Natha baru saja tersadar bahwa kendarannya tidak ada di sana.
"Kita naik angkot ke rumah aku!" ajak Natha secepat mungkin, dengan tarikan tangannya tak henti-henti memaksa Talica.
"Tapi ...." tantang Michael membuat Natha berbalik badan.
Ia menatap Michael dengan penuh tatapan heran sedangkan Talica masih menunduk. Michael tahu apa yang tengah dipikirkan oleh Talica sekarang.
"Kamu yakin mau ngajak Talica ke rumah kamu dengan keadaan Ibu kamu ada di rumah?" sambung Michael dengan pertanyaan.
"Itu nggak masalah. Aku bisa bicara sama dia."
"Kamu bego Tha? Alasan keluarga kamu pindah ke kota Bali kan mau jauh dari Talica, kamu mau bikin Talica terjebak lagi? Semua itu harus disetarakan!"
"Terus mau kamu gimana? Tega liat Talica nunggu di rumah sakit ini?"
"Lebih tega liat Talica di sini apa di rumah kamu?" pekik Michael ulang.
"Arghh!! Up to you!"
Natha meninggalkan keduanya dengan tangan Talica yang ia hempas begitu saja. Ia berjalan pada jalan poros sembari punggung tangan masih meninggalkan bercak merah di sekitar.
Di sisi lain, Talica dan Michael menatap satu sama lain dengan tatapan polosnya seakan bertanya ke mana sekarang ini.
Namun, tanpa mengeluarkan ucapan, Michael menarik Talica pada sebuah warung kecil di bagian pinggiran jalan tepat di depan rumah sakit.
Tanpa bertanya Talica mengikut saja. Ia tak tahu ke mana Michael akan membawanya, yang pasti mereka harus menunggu Natha di sana.
"Bang, bakso dua bungkus makan di planet mars."
"Eh? Mau makan?"
"Iya lah. Lapar dari tadi acting mulu!"
"Mic! Tha-tha lagi penuh perjuangan buat sampai di rumahnya, masa kamu seenaknya makan uang dia?"
"Makan aja dulu, nanti kalau dia datang kita selesai makan!"
Bagi Michael, drama memang harus tetap berjalan tapi perut nomor satu. Bagaimanapun keadaanya selagi kantong celana berisi, mengapa tidak dipergunakan dengan semestinya.
Talica hanya bisa menggeleng pasrah. Wajahnya masih saja pucat memikirkan bagaimana keadaan Natha di luar sana sedangkan kondisinya masih drop.
"Michael. Aku mau nyusul Tha-tha aja ya. Nanti dia kenapa-kenapa." Badannya bangkit dengan ponsel yang ia genggam kembali bersiap keluar dari warung itu.
"Hadeh! Kayak kamu nggak tau aja. Natha itu purna bakti bela diri pencak silat nomor satu! Nggak usah di raguin lagi kalau sama dia! Belum pernah liat ya, badan Natha tanpa baju?"
"Dih, nggak!"
"Kamu bakalan liat enam kotak berjajar!"
"Sixpack?"
"Itulah namanya! Kalau kamu macam-macam sama dia, siap-siap aja badan kamu di gotong!"
Sengaja Michael mengucapkan itu, ia hanya berharap agar Talica berhenti khawatir mengenai keberadaan Natha.
Bagaimanapun, Talica masih harus ia jaga walau kembali ke pelukan Natha nanti setidaknya janji untuk menjaga itu masih ia harumkan.
Hingga akhirnya Talica berhasil terjun dalam percakapan ricuh Michael. Mulai dari hal yang tak pasti sampai hal yang tak pasti-pasti sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Beda Tuhan
Ficção AdolescenteSorai bercerita~ "Di kota Bali. Terluka untuk ke 1.674 kalinya, terdeteksi kehancuran sekitar dua kali perhari mengakibatkan keretakan mendalam. Aku harus mengadu pada Tuhan-ku." ~Talica_ Berdiam menatap kosong dengan pikiran yang kusut. Seolah lupa...