31 • Rasa Takut Talica

1 1 0
                                    

"Kembali untuk selamanya?" tanya Talica kembali memastikan. Matanya begitu berbinar menatap ke arah Michael.

Namun, tatapan itu tidak memperoleh jawaban dari Michael. Michael hanya mengangguk dengan senyuman sebelah bibir saja.

Itu membuat Talica bertanya-tanya. Bibir yang tadinya tersenyum tampak seperti bulan sabit menghilang.

Ia menggulum bibirnya ke dalam dan berpindah tatapan, yakin jika itu hanya ucapan saja. Yang Talica tahu, Natha tidak akan kembali bagaimana pun itu.

Tingg

[Cha, kamu berangkat ke Jakarta kapan?] Satu pesan terlantunkan pada ponsel Talica yang membuatnya ke lain pikiran.

Pesan itu dari Natha, Talica hanya membaca tanpa ingin membalas pesan itu. Ada satu kejadian yang masih terlintas di benaknya.

[Cha, balas! Aku mau titip pesan buat kamu sebelum kamu pergi. Kita mungkin akan bertemu, namun dengan karir yang sudah kita dapatkan masing-masing.]

[Ya!]

Sesingkat itu? Apa arti pesan berhurufkan dua itu, walau Natha kurang puas, tapi bagaimanapun pesan yang ia maksud harus sampai pada Talica sebelum terbang ke Jakarta.

[Pesan itu bakalan aku titip ke orang lain. Dan satu lagi, jangan pernah lupa secarik kertas dengan memory card yang pernah aku berikan.]

Dari sana Talica kembali mengingat mengenai pesan yang dimaksud Natha, surat apa itu?

Tak memakan banyak waktu, pikirannya terambil. Yang ia ingat hanyalah prakata, 'Natha akan kembali entah itu jiwa, raga atau hanya jiwa tanpa raga.'

Ketakutan Talica datang lagi. Ia takut, ucapan Natha itu benar.

[Aku tidak mengingat apa-apa. Yang terlintas di benakku hanyalah kamu tidak akan kembali.]

[Siapa bilang? Janji aku ini bakalan jadi nyata. Kalau tubuh aku nggak bisa kembali padamu, setidaknya arwah aku masih bisa.]

[Emang kamu udah mati?]

[Kita nggak tau dimana ajal kita.]

Menolak untuk menangis, Talica terpaksa berpindah tempat dengan mata yang ia usap sedikit berharap Michael tak menyadari itu.

Entah ke mana akan berjalan. Talica menghentakkan kakinya penuh amarah. Siapa yang tidak heran, Michael saja ketakutan dengan tingkah Talica semacam itu.

"Why?"

Namun Talica tak menjawab. Bibirnya memanyun, alisnya mengerut, tangan yang sedari tadi menggenggam ponsel begitu kuat seakan ingin memecahkannya.

"T-talica, aku takut kalau kamu kayak gini. Segalak-galaknya Ibu aku, lebih galak Natha kalau dia tau kamu kayak gini."

Talica malah semakin menjadi-jadi tanpa membalas ucapan itu.

Hingga sore ini berganti senja. Begitu indah di pandang di balik sudut rumah Bali yang menjulang. Ini waktu untuk mengambil spot foto.

"Talica. Coba duduk di sini. Suasananya enak banget. Langitnya juga mendukung." Itu pancingan agar Talica bisa membaik. Michael tahu foto adalah hal yang sangat membuat Talica bahagia.

"Nggak! Nggak ada waktu buat foto!"

"Bingung tau nggak! Di tanya juga nggak jawab!"

"Oh, kamu berani bentak aku? Ok! Cari rute pesawat sendiri!"

"B-bukan gitu, makanya kamu jawab biar nggak ngeselin!"

Bukannya membaik Talica semakin beramarah. Kakinya semakin membentak keras sedangkan Michael hanya mengikut di belakangnya saja, menunggu sampai Talica benar-benar mood dan ingin berbicara dengannya.

"Talica, di situ ada mochi."

Tidak dihiraukan juga. Mungkin saja apapun sudah tidak bisa membuat Talica selesai dengan amarah.

"Kita mau ke mana?"

"Nggak usah ikut! Ini jalan aku sendiri, aku mau sendiri! Sana kamu cari jalan lain juga!"

"Nggak ada. Aku takut hilang kalau aku bikin jalan baru. Biar aku ikut di belakang kamu aja, ya."

Perjalan mereka tetap berlanjut, hingga malam ini datang. Kaki yang sudah sangat lelah akhirnya terhenti tepat di bagian tangga masjid yang Talica dapati.

Dirinya berdiam diri, sedangkan Michael ikut mendudukkan badannya bersebelahan dengan Talica. Ia sudah lelah membujuk hingga Talica berbicara.

"Huffh!"

Ia bangkit dari duduknya, membuka alas kaki dan mencoba mencari satu barang dalam saku tasnya.

Setelah itu, kakinya melangkah menuju bagian belakang, mengambil air wudhu sebelum shalat magrib.

Dalam masjid itu sepi, waktu shalat masjid sudah selesai beberapa menit lalu. Talica akan shalat tapi tidak berjamaah.

"Mau ngapain kamu?"

Ada hal aneh yang membuat Talica berhenti. Mengapa Michael masih mengikut padahal Talica ingin shalat. Itu bertolak belakang dengan keyakinannya.

"Ikutin kamu."

"Mau shalat juga? Sana ke gereja, nggak mungkin kan kamu mau pindah agama."

"Aku boleh perhatiin kamu dari luar? Aku mau tau tata cara shalat."

"Ih! Nggak boleh! Pokoknya ke gereja sekarang, cari gereja terus nantu aku temuin ke sana kalau ritual aku udah selesai!"

Bukan apanya Talica takut Michael juga berkata sama seperti apa yang pernah dikatakan Natha.

Lagian diperhatikan oleh orang lain saat shalat juga tidak baik. Apalagi beda keyakinan dan beda gender.

Tak berlama-lama, Talica meletakkan tasbih yang tadinya ia ambil dalam saku sedangkan Michael masih sama.

Entah cara apalagi yang bisa dilakukan agar Michael bisa pergi, terpaksa Talica pasrah.

"Ini kalung, ya?"

Namun pertanyaan itu malah membuat Talica terhenti mengambil air.

"Ini tasbih, ini punya agama aku sedangkan kamu salib, itu baru punya agama kamu. Paham?"

Michael mengangguk. Ia pergi dari sana, Talica tersenyum sebelah bibir, masih dengan ingatan mengenai pertanyaan polos Michael.

Langkah Michael begitu pelan, tapi ada satu hal yang membuat alisnya mengkerut. Ia memegangi bagian lehernya merinding sembari melirik ke segala arah. "Kenapa dari tadi aku kayak diikutin ya?" batinnya.

"Kayaknya cuman perasaan aku," decaknya. Beberapa langkah ke depan, "Perasaan tadi aku nggak sengaja liat orang di belakang pagar masjid? Kok kayak style Natha."

Karena penasaran, Michael mencoba mendekati pagar yang ia maksud. Memang benar, ada satu sosok berbaju hitam pekat mengintai.

"Eh siapa lo?! Berhenti nggak!"

Sosok itu sedikit didapati oleh Michael dengan kakinya yang berlari menjauh.

"Oh, kamu mau main sama aku?" teriak Michael yang masih sempat mengikut ke mana sosok itu berlari.

Keinginannya untuk memasuki gereja tadi malah terlupakan akibat isu yang satu ini. Ia bahkan lumayan jauh meninggalkan Talica.

Sedangkan sosok di balik baju hitam itu siapa lagi kalau bukan Natha. Sejauh ia mengikut kali ini mulai amburadul.

"Mau ke mana lagi coba, aku juga belum pengalaman sama tempat ini. Andai bukan karena Cha-cha, aku juga nggak sudi ngikut kayak psikopat!" batinnya dengan rasa was-was. Keringat langsung saja membahasi pelipisnya.

"Kalau jadi intelegen itu yang jelas! Di kejar malah kabur!"

Rasa ingin menjawab tapi Natha masih mengingat mengenai tujuannya.

"Berhenti nggak? Atau aku teriak maling!"

Gawat? Ya, Natha harus bisa berlari lebih cepat sebelum Michael melakukan hal itu. Bisa saja ia babak belur jika ketahuan walau itu hanya fitnah saja. Siapa yang percaya?

Kita Beda TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang