12 • Ruang BK

2 1 0
                                    

Michael memasuki kelas yang ia tuju itu, berjalan tanpa ragu menerobos masuk. Ia sudah terbiasa memasuki kelas XI MIPA 3 dengan santai.

Dirinya berjalan menuju bangku sudut paling depan, didapati seseorang tengah duduk sambil mengenakan jaket. Michael tau itu Natha.

"Natha, kamu tau gak, perbuatan kamu bikin orang sakit hati," ucap Michael langsung saja.

"Aku Erika! Sengaja duduk di bangku Natha!"

"Kamu kenapa pakai jaket milik dia?"

"Kan aku sama dia pacaran! Jadi terserah aku mau pakai milik dia!"

Ternyata Michael tertipu membuat pipinya merah merona karena malu.

"Natha sekarang di mana?" Ia mengalihkan perbincangan.

"Ada di ruang BK," jawab Erika sambil masih setia menatap pada layar ponselnya.

Terpaksa Michael harus menuruni anak tangga menuju lantai bawah, menemui Natha di sana walau hanya memerhatikan dari tembok jendela ruang BK.

Kakinya dengan cukup gercep menerobos para anak XI IPS yang tengah berkumpul di bagian pinggiran anak tangga.

Namun, seketika langkahnya terhenti di saat satu wanita yang ia ketahui memakai baju bebas memasuki pekarangan sekolah dan berjalan ke ruang BK.

Itu Maryam, mungkin saja mendapatkan panggilan dari guru pengawas ruang BK. Tentu saja Maryam malu. Ini pertama kalinya ia mendapat panggilan.

Rasa penasaran Michael semakin bertambah. Ia mengikut di bagian belakang Maryam menuju ruang BK, tapi setelah sampai Michael tak memiliki bayak keberanian hingga ia terpaksa mengintip lewat jendela saja.

Didapati Natha yang terduduk di kelilingi para guru di sampingnya. Ia di tanya bermacam-macam.

Dari situ saja Michael dapat menebak permasalah dari Natha.

"Ini gimana caranya buat bisa dengar, ruangan BK kedap suara!"

Tiba-tiba saja, pintu yang bersebalahan dengan jendela itu terbuka, menampakkan salah satu guru yang hendak keluar dari dalam sana. Michael seketika berpura-pura tak melakukan apa-apa.

"Michael!" panggil guru itu. Michael berbalik bertindak layaknya tak mengetahui apa-apa. Tapi memang dirinya tak mengetahui apa-apa.

"Kamu kelas XI MIPA 1? tolong panggil yang namanya Talica Zabira Ballqis ke ruang BK."

"Talica ada masalah apa, Pak?"

"Panggil saja!"

Ini waktu yang tepat agar Michael bisa ikut masuk ke dalam. Jujur ini membuatnya sedikit penasaran tentang apa masalahnya hingga melibatkan orang tua.

"Cha-cha, kamu di panggil ke ruang BK sekarang!" teriak Michael setelah sampai pada ruang kelasnya dan berlari ngos-ngosan ke bangku bagian tengah.

"Hustt!! Tolong jangan panggil nama itu! Panggilan itu cuman Natha manthan yang boleh manggil walau sekarang udan di diskualifikasi."

Walau Talica amat bodoh amat dengan panggilan sekarang dari Michael, tapi ia tentu tak bisa membiarkan orang lain memanggilnya dengan panggilan sama. Ia menempelkan satu telunjuk jarinya pada belah bibir Michael.

"Ya sudah. Kamu di panggil ke ruang BK. Di sana ada ibunya Natha juga."

"Oke! Kamu jangan ikut!" Talica bergegas pergi, menuruni anak tangga, tapi setelah ada satu pikiran di benaknya ia mulai berlama-lama untuk berjalan.

Bukannya langsung ke ruang panggilan, Talica malah ke kantin untuk membeli sebotol air mineral.

"Biarin aja mereka nyariin. Aku masih mau siapin mental dulu biar gak kena amuk sama Ibu Maryam. Aku udah bisa tebak permasalahannya!"

Tak peduli panggilan? Ya! Talica terbiasa dengan hal yang membuatnya tak suka.

Hingga satu kakak kelas berhasil menemuinya dan itu adalah panggilan kedua bagi Talica.

"Perasaan aku udah sembunyi tapi masih ada aja yang bisa dapat!" batinnya. Tak ada cara lain selain mengikut karena kakak kelas itu juga menunggu hingga kaki Talica tergerak berangkat ke ruang BK.

Keringat panas dingin mulai bercucuran di saat kakinya berhasil menginjak pembatas ruang BK. Botol air mineral yang tersisa setengah masih ia genggam untuk berjaga-jaga agar ia tak kaku.

"Permisi," ucap Talica yang di sambut oleh guru dan segera menduduki bangku bersebelahan dengan Natha yang sedari tadi berada di sana.

Posisi Natha berada di bagian tengah, antara Maryam dan Talica. Seketika saja Talica kembali salah tingkah. Itu mengingatkan dirinya seminggu yang lalu.

"Ada apa, ya?" tanya Talica penuh dingin. Ia hanya ingin terlihat anggun dan bersikap biasa saja.

"Tidak usah panjang lebar. Kamu pasti sudah bisa tebak apa masalah dari isu ini, Talica!" ungkap guru langsung saja.

"Aku serius gak tau, Pak."

"Kamu masih mau sama Natha anak saya?" Tiba-tiba saja Maryam bertanya tentang hal itu membuat Talica ketar-ketir. Matanya membulat.

"Gak!! Lagian kami berdua juga sudah tidak punya perasaan. Kita sadari hubungan kita akan berakhir juga."

"Tapi, bapak perhatikan selama bersekolah di tempat ini, tidak ada hal yang bisa menjadi masalah, Bu. Natha dan Talica memang sudah dikenal berpacaran. Berpacarannya juga wajar-wajar saja. Mereka saling menghormati agama."

Terlihat bapak guru itu mendukung hubungan mereka sedangkan Talica dan Natha yang mendengar itu sontak bertatapan.

"Iya Bu. Dari Talica aku banyak tau ternyata agamanya juga ketat."

"Natha! Bela terus Talica! Bela!" Tampak kesabaran Maryam mulai menipis. Ia bangkit dengan membentak Natha. Walau ungkapan guru tadi membuatnya sedikit luluh, tapi setelah ia kembali teringat mengenai ungkapan pendeta, sikapnya datang lagi. Larangan keras itu harus dilaksanakan.

"Ibu gak usah bentak-bentak Natha lagi. Aku juga udah gak mau sama Natha. Dan Pak Ridwan, ucapan bapak memang benar, kami pacaran layaknya berteman. Tapi maaf Pak, Talica gak mau lagi walau bapak berusaha luluhin hati ibunya Natha."

"Why, Talica?!" Natha ikut bangkit. Ia punya segudang perasaan dengan Talica. Ia juga terheran dengan ungkapan Talica itu.

"Percuma bertahan, semua khayalan. Aku kapok membuang-buang waktu selama 4 tahun lalu."

"Talica, kenapa gitu?" mata Natha mulai berbinar ingin merintih.

"Itu fakta. Orang tua kita juga tidak sudi melihat kita bersama. Jadi untuk apalagi?"

"Maaf, Talica." Baru kali ini Natha sangat mendalami permohonannya. Talica sebenarnya ikut kasihan tapi mau bagaimana lagi.

"Maaf untuk apa?"

"Maaf karena aku menjadi jodoh salahmu. Maaf karena aku bertahan selama 4 tahun dan 4 tahun itu kamu tersiksa."

"No problem! Oh ya, buka ATM kamu, nanti aku bakalan kembaliin apapun yang udah kamu kasih ke aku."

"Tapi itu gak perlu. Aku hanya butuh hukuman. Mungkin hukuman dari Tuhan-mu."

"Natha!"

Perbincangan antara Natha dan Talica terhenti setelah Maryam masuk dalam perbincangan. Hal yang tak pernah didengarkan sebelumnya akhirnya dapat sampai pada telinganya. Natha mengucapkan hal yang tak sepatutnya dikeluarkan.

"Bu, udah, jangan marahin Natha lagi. Aku pamit," ucap Talica yang mulai bangkit setelah masalahnya ia anggap selesai.

"Cha, jangan lupa shalat lima waktunya. Malam ini malam jumat, jangan lupa baca surah sama kitab suci kamu."

Serius! Itu membuat Maryam tak habis pikit. Dari mana Natha bisa mengetahui banyak hal mengenai agama Talica sedangkan ia saja gak mengetahui itu. Tingkah Natha layaknya anak Nabi Adam.

Kita Beda TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang