Akhirnya perbincangan itupun berakhir. Natha kembali pada kelas sedangkan Talica masih dengan posisi sama menunggu Maya yang belum kembali juga.
Rasanya Talica dan Natha tak ingin menghentikan perbincangan itu. Ingin rasanya terus menerus melakukan hal yang sudah jarang mereka perbuat.
"Ica, suratnya?" Maya datang dengan perhatian di dalam tong sampah terdapat surat yang tadinya Talica tunjukkan padanya. Itu kan surat untuk Natha, mengapa ada di tong sampah?
"Kata Natha, gak penting."
"Ha?" Maya sempat terheran mendengarkan ucapan itu. Ia mendudukkan tubuhnya seketika pada bangku kosong di sebelah Talica. "Kamu serius? Kenapa?" tanyanya lagi dengan wajah agak heran.
"Aku kan udah ada di sini, jadi surat itu gak penting lagi."
"Jadi kamu sama Natha udah baikan atau balikan?"
"Baikan, lagian aku gak pernah tuh marahan sama dia. Cuman tadi auranya beda banget sama Natha yang kemarin-kemarin."
"Mungkin dia bakalan lebih fokus lagi belajar dan gak bolos karena kamu."
"Tapi itu masih mustahil bisa kembali."
Mereka mengakhiri perbincangan itu. Talica dan Maya kembali pada dasar kelas, mengikuti pembelajaran dengan Talica yang terus saja membayangkan melodi lagu Natha kemarin hingga saat ini.
"Entahlah mau menanggapi bagaimana lagi kejadian ini kala rasa sesak dan bahagia datang bersamaan," batin Talica sambil tangan masih setia menorehkan tinta.
"Mungkin cukup sampai di sini materi kita, minggu depan kita bahas kembali."
Guru yang tadinya mengajar di kelas mereka tiba-tiba saja menghentikan penjelasan padahal belum waktunya.
"Kenapa, Bu?" tanya ketua kelas yang tengah serius mencatat materi yang terpampang pada bagian depan papan tulis.
"Kebetulan anak sepupu saya, kakaknya Alexandria Minatha kelas XI MIPA 3 akan menikah di gereja hari ini," jawab guru bahasa Indonesia itu sembari membereskan segala jenis buku pelajaran di atas mejanya.
Sontak saja mata tertuju ke satu hal, Talica menjadi bahan perbincangan satu kelas lagi.
Bagi Talica itu sangat sesak, harusnya ia ikut datang menghadiri pernikahan sebagai tamu terhormat tapi naas.
"Talica, kamu gak datang?" bisik Maya yang tak bisa menahan bibirnya untuk berdecak.
"Sudah ku bilang, aku dengan Natha itu beda. Kita dipisahkan sama orang tuanya, gak enak lah kalau pergi tapi gak diundang."
Jam kosong itu kembali lagi. Semua berserakan pada depan kelas. Keributan dari kelas XI MIPA 1 sampai pada kelas XI MIPA 5 semuanya jam kosong.
Natha memiliki keluarga dekat dengan guru-guru terutama ibunya yang menjabat sebagai guru di salah satu sekolah mejengah pertama.
"Mending kita bahas tentang pembuatan film aja. Tinggal tiga hari kita bakalan pentas."
"Kenapa bahas itu terus, kan kita udah tentuin."
"Diperlancar lagi!"
Jiwa ketua kelas memang sangat berbeda. Di saat yang lain memikirkan kantin, tempat nongkrong, gosip, ketua malah lebih aktif lagi membimbing anggotanya.
"Kalian bahas duluan ya, aku mau ke kantin beli minum."
Talica bangkit dari kursinya tapi tidak ke meja diskusi.
"Bohong itu Talica, dia mau ketemu Natha!"
"Eh, kucing garong! Mau aku ketemu Natha, mau ketemu Hito, mbak kunti, syaiton itu urusan aku!" Tampak Talica tak tahan dengan Arin yang selalu saja mencari tahu tentangnya. Ia menunjuk tepat di depan muka Arin.
5 menit, sampai pada kantin. Kerumunan anak kelas XI MIPA 3 ternyata lebih dahulu berada pada tempat itu. Talica terheran, mendapati seisi kantin semuanya XI MIPA 3.
"Eh, Nina! Satu kelas kamu ngapain di sini?"
"Mereka di traktir Natha. Katanya buat perayaan pernikahan kakaknya."
"What? Really?!"
"I'm not lying!"
"Ok." Dengan info itu Talica tak sampai pada gerbang kantin. Ia hanya mencari-cari di mana keberadaan Natha sebenarnya.
"Ya udah lah, mending aku balik. Minum air toilet aja." Talica membalikkan langkahnya meninggalkan kantin terburu-buru.
Awalnya semua berjala lancar, tapi setelah satu teguran berhasil ia dapat kakinya terhenti dan melirik pada seisi kantin yang dibatasi oleh pagar bergaris.
"Talica, sok amat gak mau masuk. Cemburu ya?" Erika lagi, Erika lagi! Talica malas berhadapan dengan orang itu.
"Natha? Ngapain Natha gabung sama Erika, mana makannya berhadapan! Baru aja ketemu tadi malah nyari masalah lagi!" batin Talica geram.
"Gak, aku lupa ambil uang."
"Lupa ambil apa emang gak punya uang?" Kembali anak geng Erika ikut mencari masalah.
"Ya udah!" Talica terpaksa memasuki kantin tersebut dan berjalan menuju kulkas tempat air mineral tanpa ada salah satu mata melirik sana sini.
"Ups, maaf!"
Awalnya Talica meraih botol mineral yang berada berjejer pada kulkas transparan. Botol yang ingin di raih Talica malah lebih dahulu di raih Erika.
Tingkah Erika membuat Talica dipermalukan. Tapi entah kenapa Natha hanya menatap tanpa salah. Dirinya sama sekali tak melakukan pembelaan terhadap Talica.
Tak ingin membuat masalah, Talica melirik pada botol mineral lainnya di dalam kulkas yang masih banyak. Tangan mencoba meraih.
"Ups, maaf lagi."
Memang Erika mencari Masalah! Benar-benar mempermalukan Talica di depan anak XI MIPA 3.
"Mau minum seberapa botol kamu, Erika? Kan itu banyak kenapa harus yang aku ambil kamu ambil?" Nada suara Talica masih bisa ia kontrol hingga waktunya.
"Yang salah kamu, ini botol yang mau aku minum!"
Masalah ini tak bisa berangsur-angsur. Terlebih lagi di sampingnya masih ada Natha yang memerhatikan. Talica kembali angkat tangan, meraih botol dalam kulkas.
"Maaf, aku haus banget!"
Plakk!
"Kamu kalau nyari gara-gara bilang! Nih ambil semua botolnya sama kulkasnya!"
Talica mendaratkan tamparan pada wajah Erika dengan cukup keras. Kantin yang tadinya ribut kini mulai hening tertuju pada dua gadis di depan kulkas itu.
Tak ingin malu di hadapan Natha, Erika membalas tamparan Talica. Tangannya membentang tinggi hingga emosinya mulai membeludak.
"Eits, gak kena!"
Erika ikut malu. Tamparannya meleset. Talica mampu menghindar dari tamparan itu.
"Kalau gak bisa nampar itu gak usah, kasian teman kamu berharap bisa ngalahin aku."
Merasa ia cukup, Talica kembali mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas kali ini Erika sudah tak kurang ajar.
"Pergi begitu saja? Gak mungkin!"
Erika meraih pundak Talica dengan menariknya ke belakang. Yang meminta pertengkaran ini adalah Erika.
"Ya sudah sini!" ajak Talica berperan. Lagi pula ia adalah alumni tapak suci dua tahun yang lalu. Ini akan ia pergunakan lagi. Mungkin saja akan mematahkan tulang belakang Erika begitu saja.
"Gens!" panggil Erika yang mulai gugup. Ia memanggil kawannnya setelah merasa tak mampu menghadapi Talica sendiri.
"Suhu kok manggil teman. Lawan sendiri lah!"
"Mau-mau aku! Biar kamu makin kapok!"
Rok yang tadinya menutupi bagian dalam Talica, kini ia angkat memperlihatkan stoking hitam yang ia kenakan. Ancang-ancangnya mulai keluar, berlagak tengah silat.
Satu hitungan saja, Erika maju mencoba menerobos Talica.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Beda Tuhan
Novela JuvenilSorai bercerita~ "Di kota Bali. Terluka untuk ke 1.674 kalinya, terdeteksi kehancuran sekitar dua kali perhari mengakibatkan keretakan mendalam. Aku harus mengadu pada Tuhan-ku." ~Talica_ Berdiam menatap kosong dengan pikiran yang kusut. Seolah lupa...