5 • Nekat ke Rumah

3 1 0
                                    

Sedikit Natha terkekeh mendengarkan omongan Talica amat polos.

"Kamu siap lari?"

"Di ajak nikah aja aku siap, apalagi lari, kecil itu!" Talica menjentikkan ujung telunjuknya.

Dengan melihat ke arah mobil, Natha mulai menyatukan jari jemarinya pada sela jari Talica, mereka bergandengan untuk bersiap berlari.

Namun sebelum itu, Natha yang telah merelakan jaket miliknya dikenakan oleh Talica menurutnya itu belum lengkap. Ia yakin Talica akan kedinginan kembali.

"Bentar," ucapnya sambil membuka baju luar miliknya setelah itu ia payungkan tepat di atas ubun-ubun Talica.

"Kamu baik banget," ucap haru Talica. Karena itu yang membuatnya tak bisa berpaling pergi dari Natha.

"Kamu gak dingin, Kan? Harusnya aku siapin payung sepanjang satu meter aja tadi, biar kamu gak kehujanan sampai di mobil." Natha seakan khawatir melihat Talica yang terdapat beberapa rintik hujan yang tertera pada bagian bahunya.

"Gak kok. Emang ada gitu payung sepanjang satu meter?"

"Harus ada!"

Di dalam mobil itu, pedal mobil milik Natha mulai ia lajukan dengan kecepatan di atas rata-rata. Ditengah hujan deras membuat matanya susah melihat ke arah depan walau kaca jendela di lap seribu kali.

"Tha, kamu tau gak."

"Gak tau dan gak mau tau." Natha masih terfokus ke arah depan. Ia tak ingin berpaling menatap Talica dan mengabaikan kendaraan di depannya.

"Ih!"

"Ya udah, kenapa cantiknya aku?"

"Aku itu gak suka banget sama Erika, tau gak!"

"Dia kenapa?"

"Dia sering banget urus urusan aku, terus nyuruh kita putus karena beda aliran."

Mata yang tadinya terfokus pada jalanan seketika membeku menatap Talica. Kecepatan mobil yang dijalankan oleh Natha terhenti pada pinggiran trotoar, sedangkan hujan masih mengusik jenjang telinga.

"Terus, kamu kepikiran karena itu? Karena Erika ngomong kita beda aliran?"

"Bukan itu, aku cuman cemburu, dia suka sama kamu."

"Terserah dia mau suka apa gak, yang jelas aku suka sama kamu aja!"

"Tha, kamu gak pernah tau ya, aku gak suka cowok yang friendly ke semua cewek. Jujur itu bikin nyesek."

Natha menarik napas, memerhatikan Talica yang menatap kosong ke arah depan. Ia tampak murung. Ucapannya benar dari dalam hati.

"Kita gak usah bahas itu. Aku gak mau ada pertengkaran lagi." Natha langsung saja menaikkan laju mobilnya yang sempat terhenti tadi.

Kini dalam mobil tersebut tak ada lagi suara decakan dari Talica ataupun Natha. Mereka hanya diam, tak ada yang memulai perbincangan yang tak penting.

Hingga hujan mulai turun rintik, beriringan dengan itu Talica sampai di samping rumahnya. Mereka tak sempat menuju toko undangan, melihat kondisi Talica yang kedinginan, Natha memilih untuk pulang saja.

Ini permintaan Talica agar Natha tak mengantarnya hingga tepat di depan rumahnya.

"Makasih, ya." Natha membalas dengan anggukan lewat kaca jendela mobil yang ia buka sebelah kiri agar ia bisa menatap Talica berpamitan.

[Cha, jangan banyak pikiran ya, jangan pikirin Erika lagi. Dia itu cuman temam biasa.]

Talica masih berjalan menuju pintu rumahnya tetapi pesan bertuliskan nama kontak Tha-tha yang berhasil memasuki notifikasi ponselnya.

Sebelum membuka itu, ia melirik ke arah depan, di posisi mana Natha berhenti hingga bisa mengirimkan pesan padanya.

Di balik itu, Natha yang tengah menunggu pesan terus saja meninggalkan tanda online di sebelah kiri ponselnya. Ia tentu menunggu balasan pesan dari Talica.

Naasnya, Talica hanya mengabaikan, ia berjalan dengan hentakan kaki santai tanpa menghiraukan pesan dari Natha. Ada maksud tertentu dari itu.

Sekitar 10 menit lalu, Talica usai mandi, membereskan pakaian dan duduk bersantai di pinggiran kasur miliknya. Ia menggenggam ponsel kemudian mengirimkan pesan balasan pada Natha.

[Menurut kamu, mencintai satu pria yang disukai banyak cewek itu gimana?] Itu hanya pancingan Talica.

[Gak berat. Lebih berat mencintai satu wanita yang tak seiman denganku.]

Apa ini? Mengapa Natha seakan mengetahui maksud dari pertanyaan Talica. Ia langsung saja menjawab tanpa basa-basi, bertanya maksud dan tujuan Talica bertanya semacam itu.

[Terus, kamu gak mampu?]

[Mampu. Semua bakalan sia-sia kalau aku mundur. Entahlah, ke mana hubungan kita akan pergi, yang jelas saat ini nikmati kebersamaan!]

Bukannya Talica malah marah karena cemburu akibat perbincangan dalam mobil tadi, ia malah mendapatkan ketikan yang bisa saja membuatnya kaku.

Tak tahu harus berkata apa, akhirnya Talica mengalah dengan membiarkan ponselnya bergetar akibat pesan dari Natha. Ia ingin menyegarkan pikirannya sendiri.

[Aku tau kamu marah. Kalau gitu, kita janjian ketemu di luar ya, aku mau malam mingguan sama kamu.]

[Gak mau! Kalau serius jemput aku di depan rumah!]

Kali ini Talica benar-benar keras kepala. Natha yang memiliki feeling buruk terhadap tindakan Talica membuatnya berpikir keras. Ingin mengetikkan pesan tolakan, tapi ia takut Talica marah besar.

[Ya udah! Aku siap!]

Natha menyetujui permintaan Talica secepat itu. Ia hanya tak ingin Talica bersedih kembali, apalagi jika Talica sampai mengadukannya kepada tuhannya.

***

"Permisi."

Tepat pada jam yang dijanjikan. Natha datang berdiri di hadapan pintu teras rumah Talica. Ia dengan sangat gugup melakukan itu. Jujur saja, Natha trauma setelah mendapatkan amukan massal dari ibu Talica waktu itu.

"Kayaknya itu Natha!" Dari arah kamar Talica berlari dengan pakaian sudah sangat siap, ia ingin menemui Natha secepatnya. "Eh, tapi sebelumnya aku udah pakai parfum gak, ya? ... Ah sudahlah, aku tetap harum!" Talica mulai menuruni anak tangga, berlari.

Namun, hal yang tak pernah dibayangkan, Talica yang tadinya bermaksud membuka pintu untuk Natha malah terhenti. Ketukan kakinya terhenti tepat di pertengahan tangga seraya mata menyorot pada arah pintu yang telah ada Nayla, ibunya membuka pintu mendahului.

"Gawat ini! Kan ibu gak suka sama Natha, mana di rumah ada ayah juga, pasti bakalan diamukin!" perkik Talica yang hanya bisa terdiam di sana.

"Natha, mau ngapain?" Tanpa mempersilahkan masuk, Nayla dengan wajah masam bertanya pada Natha.

"Nah, ini yang aku maksud, pasti bakalan amburadul!" batin Natha selanjutnya berdecak dengan nada lembut, "Ini bu, mau jemput Talica," ucapnya dengan jujur.

Nayla yang telah mengetahui telah ada Talica di sana, perlahan menaikkan sudut tangan dan melambai ke arah Talica hingga Talica berada di dekatnya.

Di samping itu, ayah yang telah mengetahui persis suara dari Natha kini ikut turun.

"Ucapan Natha benar?"

"B-benar, bu. Biar kalian bisa akrab gitu."

"Natha dan Talica tidak akan bersatu!"

Sontak omongan itu membuat semua membalikkan badan menatap ke arah suara. Ada ayah yang berjalan menuju arahnya. Natha mendapatkan masalah besar malam ini. Nekat sekali dia.

"Tapi, yah. Kali ini aja."

"Siapa yang mengajarkan kamu berpacaran berbeda keyakinan, Talica? Apa kamu yakin anak Nabi Isa bisa memegang janjinya?"

"Dia bisa! Karena perbedaan itu kita bisa saling melengkapi. Kita bisa tau arti tolerensi, ayah!"

Kita Beda TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang