21 • Pertemuan Kita Berakhir

1 0 0
                                    

Setelah sampai pada rumah bukannya Talica melanjutkan memberi kabar pada Michael, ia membaringkan tubuhnya pada sofa panjang depan TV, berhubung tak ada keluarganya di dalam sana sehingga Talica bisa berteriak hingga unek-uneknya keluar.

"Arrgghh! Pengen ngilang aja sekalian kalau kayak gini!" Talica menyeka seluruh wajahnya dengan tas yang masih berada di sampingnya.

Merasa diri semakin gerah, kipas angin saja tak mampu membuatnya hangat apalagi dengan suasana hati panas, Talica mencoba bangkit menuju kamar mandi belakang dengan seragam yang masih lengkap tanpa membawa handuk.

Mungkin saja siraman beberapa air bisa membuatnya sedikit tenang.

[Ica! Aku ada info buat kamu!]

Belum sempat memakai baju harian keseluruhan, Talica mendapatkan satu pesan dari circlenya.

[Apa?] Harusnya Talica tak mendengarkan gosip itu. Baru saja di sekolah tadi ia bertobat menghentikan gosip, tapi Maya kembali membuat kambuh. Talica lupa akan tobat.

[Natha mau pindah rumah! Jauh dari sini!]

[What? Are you serious?!] Siapa yang percaya dengan omongan itu. Talica hanya terkejut sedikit. Merasa bodo amat padahal hati bertanya-tanya.

"Mana mungkin Natha mau pindah rumah! Aku kan tadi udah janji sama orang tuanya gak bakalan muncul lagi! Ini gimana, padahal baru tadi kakaknya nikah. Secepat itu?"

Usut demi usut, Talica bahkan melantunkan beberapa pesan ke kelas XI MIPA 3 bertanya mengenai isu Natha itu, tapi tidak untuk Arin. Talica masih dendam.

Beberapa pesan yang ia dapat membalas dengan kata, iya!

[Maya, kamu serius? Tolong kamu kirim pesan ke Natha, aku mau ketemu.] Mungkin hanya Maya yang bisa.

[Tapi kan kamu lagi bermasalah sama orang tuanya Natha, mau nyari masalah lagi?]

[I don't care! Mau orang tuanya marah, yang jelas aku mau ketemu dia walau untuk terakhir kalinya! Suruh dia ke taman dekat ruko!]

Baru saja Talica tenang dari pikiran traumanya, kembali ada pengusik. Dirinya berharap ucapan dari beberapa orang itu tak nyata.

Tangan sesekali menyeka mata, sambil berjalan menuju taman, tak lupa tangan menggenggam ponsel menunggu kabar lanjutan dari Maya.

Sekitar 15 menit Talica menunggu, seorang berpakaian hitam dengan topi kesayangan pemberian Talica dulu datang, membuat Talica harus menghentikan tangisnya.

"Kenapa?" tanya Natha langsung saja pada Talica. Wajahnya terlihat kusam.

"Kamu ...." Talica menarik napas dalam sambil tersenyum. "Kamu mau pindah?" tanyanya pelan-pelan.

"Cha, maaf, tugas aku jagain kamu kayaknya udah selesai. Saatnya kita fokus ke masa depan masing-masing. Kita bakalan pisah, tapi ingat bayangan kamu masih aku bawa."

"Tha," rintih sudah Talica mendengar kabar itu. Natha yang ia pandang di hadapan mengatakan kata yang sangat di benci oleh Talica.

Tangis itu masih ia keluarkan tanpa kata-kata. Terpuruk? Itu jauh lebih dari kata terpuruk! Seakan meninggal dalam keadaan hidup. Di saat orang tua meninggalkan, orang yang Talica harap mampu membuatnya ada malah menghilang.

"Cha-cha cantik, mochinya Tha-tha." Natha menaikkan dagu Talica yang tertunduk. Ia menatapnya dalam. Air mata yang juga berusaha ia jaga, kini turun begitu saja di hadapan Talica. "Ini bukan karena aku yang mau, tapi orang tua aku."

"Lantas, bagaimana dengan aku yang di tinggal orang tua di rumah sendirian, sedangkan kamu mau ninggalin aku? Lemahh!!"

"Aku tau, tapi kamu tau sendiri, kan." Natha masih memerhatikan kedua bola mata Talica yang terpejam. Seluruh wajahnya memerah akibat tangis. Natha hanya berusaha menghapus air mata tersebut.

"Menjadi berani adalah mencitai tanpa syarat. Meninggalkan cinta tanpa syarat adalah kebodohan."

"Iya Cha, aku bodoh! Tampar aku! Sampai sekarang aku masih nunggu karma hukuman dari Tuhan-mu. Sekalipun itu di derai hidup-hidup!"

Bukti terpendam itu keluar. Keberadaan ini membuat Talica tak tahu bagaimana cara menanggapi. Mungkin saja inilah yang dikatakan masalah doble skill.

"Mungkin inilah hukumannya, kita di pisahkan oleh Tuhan namun mencoba mengenggam yang mustahil."

"Maaf Cha, maaf! Waktu aku di sini udah selesai. Orang tua aku udah berkemas pergi ke kota tetangga. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi walau bertemu, mungkin sudah umur 60 tahun."

Dari Natha, Talica mengerti arti melepas. Ia tahu ini sudah di atur. Tangannya perlahan melepaskan genggaman Natha. Terakhir kali ia akan memerhatikan wajah sosok yang selalu ia temani kemanapun.

"Tha, siapa yang bakalan jagain aku di sekolah kalau di sakitin? Aku takut!"

"Jangan khawatir. Jangan last contact ya, kalau ada yang sakitin nanti aku marah."

"Susah, rasanya hambar mengenggam seseorang yang tak seharusnya di genggam."

"Yang jauh hanya pijakan bukan perasaan. Yang berjarak hanyalah raga bukan rasa, ketahui itu Cha."

Pertemuan terakhir ini, Natha hanya berharap Talica mempunyai kenangan yang bisa ia ingat sewaktu-waktu bahwa terdapat sesosok pria yang rela melawan hukum demi satu wanita anggun.

"Kamu jaga diri."

"Aku titip pesan pada langit yang engkau tatap. Jika ada hembusan angin, dengarkan seksama, akan ada suara pesanku di sana."

Perpisahan itupun berakhir dengan pelukan dalam yang begitu lama. Mereka melepas rindu sebelum menghadapi LDR dengan hubungan yang telah berpisah.

Talica masih menjadi pertanyaan, akan mampu atau tidak. Keduanya menghentikan pelukan itu setelah mengingat waktu.

Banyak gambar yang di ambil dengan mata bengkak yang menyertai tapi itu bukan halangan. Anggap saja ini hari kenangan.

Setelah selesai, Talica dan Natha kembali pada aktivitasnya masing-masing. Hingga malam tiba, Talica masih terduduk pada kamar dengan TV menyala begitu saja. Perut yang berdemo tak pernah ia hiraukan. Media sosialpun ia nonaktifkan.

"Gantung diri aja kali ya? Tapi takut mati. Tuhan, kenapa engkau memberikan orang salah dan membiarkanku cinta padanya?"

Sudah jam 22.50, mata yang sayu belum sempat tertutup bahkan Talica sadar, esok adalah hari pentas film yang sudah lama di rancang, sedangkan dirinya masih bodo amat.

Semangatnya membuat film pudar. Mungkin saja proyek ini akan gagal.

[Talica, baju kebaya kamu ada, kan? Besok datang pagi-pagi ya!]

[Talica, jangan lupa besok dandan rapi!]

[Ica, kata ketua kelas kamu jangan sampai plimpang dan lupa stepnya!]

[Besok jangan malu-maluin! Kita ini kelas XI MIPA 1! Tampil paling awal!]

Banyak pesan spam dari beberapa orang, namun tak sempat talica buka. Ia tahu, semua mengandalkan dirinya, tapi dengan wajah kusam seperti itu? Mana bisa tampil.

Latihan yang telah ia buat lika liku malah menjadi sia-sia. Talica tahu itu, dan mungkin saja esok tak akan ada yang namanya Talica di lingkungan sekolah sekalipun namanya terpanggil untuk pemain pemeran utama.

"Semua akan kecewa. Mereka mengandalkan tapi yang di andalkan saja tak bisa di andalkan. Kacau semua. Satu masalah menumbuhkan beribu kekacauan, entah itu pribadi atau sekolah."

Kita Beda TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang