15 • Dear Talica

1 0 0
                                    

Perbincangan lama itu berakhir, pelajaran kembali di mulai dengan Talica yang mulai fokus tapi setelah tangannya mencoba meraba tas, mencari benda lancip untuk menorehkan catatan saat pembelajaran matematika, tak sengaja tangannya kembali menyentuh bungkus tadi.

Talica meraih itu, meletakkan di atas meja sambil guru masih tak memerhatikannya.

Entah kenapa bibir Talica tiba-tiba saja tertarik untuk tersenyum memerhatikan. Seakan ia kenal.

"Apa aku buka aja, ya?" Terlihat tangan Talica tak bisa diam. Ia mulai membuka bungkus itu dengan perlahan, tapi satu kertas yang di remas berbentuk bulat datang melemparinya.

Tanpa menyahut Talica berbalik, di lihatnya Michael mengode dari arah belakang.

"Buka!" bisiknya pada Talica menggunakan bahasa isyarat, menunjuk kertas yang dilemparnya tadi kini berada di bawah kaki Talica.

"Ini?" tanya Talica balik dengan berbisik setelah kertas itu berhasil ia raih.

Talica mulai membuka kertas remasan Michael itu terdapat pesan,

"Sabar kenapa Talica? Jangan buka sekarang, nanti guru ambil dungu!"

Walau Talica tak bisa menahan tapi ia harus mengikuti petunjuk dari Michael itu. Ia tahu Michael tengah emosi padanya.

Setelah banyak pelajaran berlalu, akhirnya jam yang di tunggu-tunggu Tiba. Talica berdiri pada samping pagar menunggu gojek penjemputnya datang.

"Perasaan aku gak liat motor atau mobil Natha lewat. Apa dia bolos lagi?" Bagaimana pun Talica membenci dan berangan-angan tak menginginkan Natha lagi, tapi matanya tetap saja mencari tahu.

Bahkan sekolah mulai tampak sepi, parkiran juga mulai kosong Talica belum melihat penampakan Natha.

"Mbak Talica?"

"Iya."

"Mbak, ada pesan dari anak sekolah sini tadi." Gojek yang tadinya Talica pesan datang tapi membawa sebuah surat berisi,

'Cha, kamu gak usah nyari aku ya.'

Isi dari pesan itu berasal dari Natha, dari mana Natha tahu jika Talica sedari tadi mencarinya?

"Aneh banget!" batin Talica setelah itu menaiki motor gojek tersebut.

Perjalan berakhir dengan Talica yang memasuki rumah yang masih tampak sepi.

"Seperti biasa. Rumah sepi tanpa orang. Bagai hidup sebatang kara." Ia meraih pot yang di bawahnya telah ada kunci rumahnya di sana. Talica mulai membuka pintu rumahnya yang masih terkunci.

Talica menghempas tas miliknya setelah sampai pada kamar. Dengan badan yang kusut mencoba mengganti pakaian sebelum terjun ke kasur nyamannya.

"Oh ya. Aku kan tadi dapat bungkus obat."

Keinginan Talica bersantai terhenti. Ia bangkit dan mencari bungkus pemberian Michael tadi.

Perlahan Talica membuka, mendapati sebuah memori card di dalamnya. Tampak aneh tapi menarik.

Namun, sebelum Talica menelusuri memori card itu lebih lanjut, tangannya tak sengaja memegangi kertas berisi tulisan rapi milik orang yang tak ia kenal.

"Dari siapa? Ngirim surat gak sopan banget. Gak langsung ke orangnya! Tapi tak mengapa." Talica membaca tulisan itu dengan pelan. Kira-kira isinya,

Dear Talica

Maaf sudah membuatmu sakit ke 1.660 kalinya. Mungkin aku akan mendapat hukuman dari Tuhan-ku atau Tuhan-mu.

"Aku akan datang lagi, entah itu jiwa, raga atau hanya jiwa tanpa raga."

Alexandria Minatha_
(Tha-Tha Manthan)

Sontak air mata Talica menetes begitu saja, prakata yang di rakit oleh Natha membuatnya tak habis pikir. Dari ide mana Natha bisa melakukan itu.

"Tha! I also want to say sorry," Suara kecil milik Talica dibarengi oleh isakan tangis hingga kertas yang ia genggam itu basah.

Tak ingin berlama-lama, Talica berpindah ke memori card yang masih membuatnya penasaran. Mata yang sembap masih ada pada pipinya.

Ia memasukkan memori card itu pada layar laptop, setelahnya mencari tahu apa isi dari itu.

Setelah beberapa lama, Talica mendapati video. Hanya dari sampul saja Talica melihat ia kembali merintih. Perlahan tangan menekan tombol play.

Seorang mengenakan hoodie hitam dengan topi putih sambil memegangi gitar yang ia jentikkan menggunakan jari mengeluarkan suara merdu diiringi dentungan gitar.

"Mungkin Tuhan dan semesta
Tak izinkan kita tuk bersama
Dalam satu cinta

Sayang ini takkan mudah
Runtuhkan segala angan indah
Yang berakhir luka

Keliru aku tentang kita
Tak mampu paksakan
Meski telah mencoba berjuta upaya
Tetap sia-sia....

Aku cinta sungguh-sungguh aku cinta
Sedalam-dalamnya rasa
Apa daya tak mungkin kita bersama

Oh sayang ini takkan mudah
Runtuhkan segala angan indah
Yang berakhir luka

Keliru aku tentang kita
Tak mampu paksakan
Meski telah mencoba berjuta upaya
Tetap sia-sia...."

"Sehancur itu aku pernah, but no prablem."

Video berdurasi 3 menit itu di tutup oleh Natha dengan Senyuman khusus hanya untuk Talica.

Tanpa mematikan layar laptop, Talica menghempas badannya di atas kasur kembali. Di tangan kanan masih ada kertas dari Natha.

Terus saja air mata mengalir, mendengarkan lagu dengan suara merdu Natha. Segala kenangan kembali ia ingat. Membaca pesan Natha tadi membuatnya takut jika sampai terjadi apa-apa padanya.

"Bagaimana aku harus menanggapi isu ini? Kita saling menginginkan, tapi Tuhan tak mengiyakan."

Talica membiarkan air matanya meresap pada bantal yang ia baringi dengan badan yang menghadap ke jendela, memancar cahaya menerpa wajah.

"Kita akan bersama, tapi kecil kemingkinan," ungkap Talica lagi. Untung saja rumah tengah sepi jadi Talica bebas untuk merintih sekuat-kuatnya.

Ada sekitar satu jam lebih Talica tengkurap sambil merintih, sekarang suasana bisa ia kontrol kembali dengan mata yang pekat ingin tertidur....

Tingg

Hingga jelang sore hari, Talica terbangun setelah mendengarkan suara ponselnya bergetar. Terlihat panggilan itu berasa dari Michael. Talica tahu apa maksud dari Michael menelpon.

[Assalamualaikum,] ucap Talica. Suaranya masih belum terkumpul.

[Shalom, Talica. Maaf ganggu. Kamu tau apa maksud aku?]

[Itu bukan apa-apa. Besok aku mau titip ke kamu kertas kecil juga dari bungkus obat. Tolong kasih ke orang yang kirim memori card buat aku.]

[Sekarang udah balas-balasan surat?]

[Terpaksa. Kasian, dia bertepuk sebelah tangan.]

[Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Kamu yang sabar.]

Michael menutup teleponnya walau masih dikelabui rasa penasaran. Ia akan meminta penjelasan pada Natha esok pagi.

Sedangkan Talica, badannya yang masih berbaring, perlahan menarik laptop di sampingnya. Hal pertama yang ia buka adalah video milik Natha tadi.

Talica menyukai mendengarkan lagu itu, apalagi sudah lama Natha tak bernyanyi untuknya. Memori itu akan ia simpan.

Setelah puas, kembali Talica beranjak meraih tas yang masih berada di atas kasur setelahnya membentuk sebuah jurnal dengan kata-kata yang akan ia kirimkan pula pada Natha. Seakan ponsel yang di ciptakan untuk berkomunikasi tak berguna baginya. Bermain surat-suratan lebih seru.

"Semoga Natha bisa rasa apa yang aku rasakan juga."

Ia melipat surat potongan kertas itu setelahnya memasukkan pada bungkus obat yang digunakan Natha tadi.

Kita Beda TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang