9. Kisses

37 6 3
                                    

P E R F E C T

P E R F E C T

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

9.

"Kisses"


Rencana setelah bersih-bersih dan langsung tidur tidak terlaksana lagi. Kali ini aku duduk di sofa panjang di ruang tengah apartemenku bersama Shun. Kedua mata kami sibuk memandangi layar televisi yang menampilkan film kartun Ratatouille. Shun sendiri yang minta untuk disetel film ini karena rekomendasi Raul dan tidak mau lampunya dinyalakan, "Supaya rasanya seperti nonton di bioskop." Ujarnya saat itu sambil tersenyum lebar. Aku hanya mengangguk dengan senyum tipis.

Aku menghembuskan napas. Sisa-sisa sesak dan rasa takut di kerumunan tadi masih membekas, membuatku tidak bisa fokus untuk menonton, malah memaksaku untuk mencari cara agar Shun tidak menyadari kondisiku ditengah kegelapan ruangan ini yang hanya diterangi cahaya dari televisi. Aku menoleh kearah Shun dengan kaget saat merasakan tangannya melingkar di belakang pundakku. Samar bisa kulihat senyum lembut di wajahnya. Aku tidak tahan lagi, mendekat kearahnya dan melingkarkan tanganku di lehernya. Shun balas memelukku. Aku mencoba tidak meneteskan satupun air mata di pundaknya tapi tetap saja gagal. Bayang-bayang menakutkan akibat insiden 6 tahun lalu masih sangat membekas dan membawa luka trauma yang menghantui.

"Gapapa loh kalo mau nangis, aku udah siapin tisu buat ngelap ingus kamu." Aku memukul pundak Shun pelan, menggerutu. "Bercandaaa~" Aku mengeratkan pelukanku pada leher Shun. Namun, tidak memprediksi kalau Shun sampai mengangkatku dan begitu aku sadar aku sudah duduk tepat dipangkuannya. "Shun!" Pekikku kaget dengan suara serak, secara refleks aku menepuk bahu Shun, merasakan pipiku memanas.

Shun tersenyum. "Berlebihan ya?" Aku ragu ingin menjawab tidak atau iya. Tapi, untuk saat ini memang ini yang kubutuhkan. Kepalaku menggeleng dan aku kembali memeluk Shun, menenggelamkan wajahku dibalik lehernya. Tanpa disadari sudah menangis sembari mencengkram kerah piyamanya. Dia melonggarkan pelukanku, menyunggingkan senyum tipisnya yang lembut dan mendekatkan wajahnya kearahku, begitu kusadari dia sudah mencium kelopak mataku dengan lembut, bergantian. Lalu, turun ke bawah mataku, perlahan bergeser ke hidung dan berbisik.

"Breath, Kei... Breath..." Setelah dia berkata begitu, aku sadar bahwa sedari tadi menahan napasku. Shun terkekeh. Tangannya yang sedari tadi memeluk pinggangku, kini sebelahnya naik dan menyusup dibalik helaian rambutku. Setelahnya mendekatkan kembali wajahnya dan menciumi kening dan pipiku yang basah oleh air mata. "Aku tahu kamu punya kenangan buruk soal kembang api..." Aku terpaku. Tubuhku menegang.

Ciuman Shun kali ini semakin melembut, sebelah tangannya yang lain mengusap punggungku dan beralih ke leher, berusaha menenangkan. "Take your time. Kamu bisa cerita kapanpun," bisiknya di sela-sela ciuman lembutnya. "kita punya banyak waktu." Lanjutnya, kali ini berhenti dan menatapku lurus ke dalam sepasang mataku yang masih terasa berair. Aku tidak bisa berkata-kata, terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya menghembuskan napas pelan.

"Shun..."

"Ya?"

Sudah siapkah aku menceritakannya pada Shun...?

?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✓] • P e r f e c t •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang