P E R F E C T
11.
"Obrolan"
Masa promosi dan rilis album Anniversary Naniwa Danshi sudah berakhir dan grup itu berhasil meraih posisi pertama di oricon dengan penjualan satu juta kopi dalam minggu pertama. Pencapaian yang luar biasa. Malam itu, manajer, member dan beberapa staf yang berurusan dengan perilisan album Naniwa Danshi itu mengadakan pesta kecil-kecilan di salah satu ruangan serba guna di gedung Johnnys. Di meja besar itu sudah tersedia banyak kudapan yang menggugah selera. Aku melirik kearah sosok tiang yaang berdiri santai di sebelahku dengan senyuman lebarnya. Sebelah tangannya yang berada dibelakang tubuhnya menggenggam tanganku. Kalau dilihat-lihat posisi kami cukup dekat dan ini tidak baik. Aku mencoba menggoyang-goyangkan tangan kami yang terpaut tapi dia semakin mengeraskan posisinya. Keras kepala.
"Shun... Kita di gedung Johnnys! Jangan bikin orang lain curiga!" Bisikku tertahan kearahnya. "Memangnya kenapa? Aku 'kan Cuma berdiri disebelahmu." Balasnya santai. Aku berdecak, kuhembuskan napas perlahan. Dia semakin merapatkan tubuhnya padaku dan menggenggam tanganku erat. "Shun, ini peringatan terakhir. Lepaskan!"
Shun menoleh kearahku, sedikit menunduk dan tersenyum manis. "Enggak!" balasnya. "Wah, Keiko dan Micchi serasi sekali yaa!" Aku terkesiap saat mendengar ucapan seseorang yang cukup kukenal baik. Ohkura-san terlihat tersenyum kearahku dan Shun. Aku tertawa pelan. "Ah tidak sama sekali." Kataku cepat. Aku melotot kearah Shun, mendorongnya dan membuat tautan tangan kami terlepas. Dia yang jangkung diantara keramaian di ruang serba guna itu terhuyung bagai tiang yang hendak roboh, tentunya membuat perhatian teralihkan kepadanya. "Michieda-san? Anda baik-baik saja?" Salah seorang staf yang ada di dekat kami bertanya pada Shun yang terhuyung. Lelaki berusai 21 tahun itu menggeleng sembari terkekeh. "Sangat baik! Mungkin aku sudah agak mabuk. Hahaha!" Katanya. Aku menatapnya tidak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu dengan lancarnya. Kulirik kearah teman-temannya dan sudah kuduga mendapati tatapan melongo dari mereka. "Dasar bodoh...." gumamku, menepuk keningku. Benar-benar suatu hal yang langka melihat bocah baru beranjak dewasa ini mabuk yang tentu saja itu tidak benar. Toh yang diminumnya adalah wine dengan kadar alkohol yang sangat sedikit.
"Suka-suka lo deh, Michieda..." Gumamku malas, meletakan gelas wineku di atas meja terdekat dan beranjak dari sana. Belakangan ini tingkahnya agak mengarah ingin go public di sekitar kantor Johnnys. Padahal sebelumnya dia setuju untuk melakukan ini semua secara diam-diam. Bukannya tidak ingin, hanya saja tidak bisa. Dia seorang publik figur, seorang idol yang citranya tidak boleh ternodai sedikitpun. Paling tidak aku harus menjaganya baik-baik.
"Keiko-san!" Aku berjengit saat mendengar namaku dipanggil seseorang. Kutolehkan kepalaku dan menemukan sosok member dengan warna merah dan member dengan warna biru dari Naniwa Danshi berlari pelan kearahku. "Otsukaresama, Nishihata-san, Fujiwara-san." Sapaku sembari merunduk. Keduanya balas merunduk. "Ada apa?" tanyaku bingung. Daigo tersenyum. "Uhm... Ada yang ingin kami bicarakan, bisa kita ke atap?" Perasaanku tidak enak.
"Tentu."
***
Kalau di Jepang, ternyata orang-orang suka bicara di atap gedung tinggi ya. Ah, mungkin itu hanya berlaku di kalangan anak sekolahan saja. Kami duduk di salah satu kursi piknik yang ada di atap gedung Johnnys yang sudah disulap menjadi tempat bersantai ini. Aku menunggu kedua pria yang ku kenal sebagai member tertua di Naniwa Danshi, untuk berbicara. "Apakah ini soal Michieda-san?" Akhirnya kubuka suaraku karena terlalu penasaran dengan apa yang hendak dibicarakan Daigo-san dan juga Joichiro-san. Pasti ini berhubungan dengan Shun. Jelas terbaca di ekspresi keduanya.
Daigo mengangguk perlahan. "Keiko-san pacaran dengan Micchi kan, ya?" Tanyanya terdengar memastikan. Aku mengangguk. "Sudah kuduga. Ekspresi anak itu tidak bisa bohong kalau dia sedang jatuh cinta. Terima kasih, ya." kata Joichiro-san sembari tersenyum. Aku membalas senyumannya dan menggeleng. Saat kulihat kearah Daigo-san, pria itu nampak ragu untuk mengatakan sesuatu.
"Kalian ingin aku putus dengannya?" Entah suara dan keberanian darimana yang bisa kudapatkan untuk mengucapkan satu kalimat yang sebenarnya membuat hatiku tercubit. Suaraku agak tercekat saat mengatakannya, bahkan Joichiro-san dan Daigo-san jelas terkejut akan ucapanku. Joichiro-san dan Daigo-san bertukar pandang. "Yah, kurasa aku bukan orang yang pantas mengatakannya. Bisa dibilang aku hanya cemas pada Micchi," Daigo-san mulai mengutarakan apa yang dipikirkannya. "dia juga tidak biasanya tidak cerita soal ini. Aku takut dia mengambil langkah yang salah." Lanjutnya. Ah, aku paham kekhawatiran Daigo-san. "Apalagi tadi kalian bergandengan tangan kan disana? Jantungku nyaris berhenti saat staf hampir saja memergoki kalian." Betul apa yang dikatakan Joichiro-san. Akupun serasa sedang naik rollercoaster tadi.
"Karena sudah melihat tanda itu, kurasa aku tidak bisa untuk tidak menyapa dan mengobrol denganmu, Keiko-san." Kata Daigo-san. Aku tersenyum. Agak bingung untuk merespon seperti apa karena jujur ini pertama kalinya aku berpacaran dengan publik figur. "Awalnya aku ingin memintamu untuk putus dari Micchi, sesuai apa yang kamu duga," lanjutnya, bukan suatu hal yang membuatku terkejut. "tapi, lagi-lagi aku bukan di posisi orang yang tepat untuk mengatakan itu dan aku yakin sekali Micchi juga tidak akan menyukainya."
"Toh, selama itu membuatnya bahagia itu sudah lebih dari cukup." Tambah Joichiro-san. "Tapi, apakah kamu sanggup menjalani kerasnya kisah romantis dengan seorang idol seperti kami?" satu pertanyaan itu sudah cukup membuatku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku terdiam seribu bahasa dan tenggelam dalam pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] • P e r f e c t •
FanfictionKisah cinta di dunia hiburan memang tidak selalu berjalan mulus. Dia mungkin bukan lelaki yang bisa kukenalkan pada ibu dan ayahku. Bukan lelaki yang bisa leluasa membuat janji temu dengan kesayangannya tanpa takut dilihat orang-orang. Michieda Shu...