Chapter 01 (START)

26.2K 627 14
                                    

Gadis pirang berlari membabi-buta menaiki anak tangga. Bukan tanpa alasan. Dibawah sana, tepatnya di lantai satu. Seorang pria asing menerobos masuk ke dalam rumahnya. Keadaan rumah yang sepi dikarenakan kedua orangtuanya yang sedang menghadiri sebuah acara di luar kota, juga gelapnya malam membuat rasa takutnya semakin menggebu-gebu.

Nafasnya memburu. Ia berlari menaiki lantai dua, tempat kamarnya berada. Setelah masuk ke dalam, tanpa pikir panjang ia langsung bersembunyi di kolong ranjang. Beruntungnya ia menggenggam ponsel. Buru-buru ia memencet angka 911.

"911 di sini ada yang bisa kami bantu?"

Panggilan telepon tersambung. Terdengar suara wanita diseberang sana.

"Help. To-tolong aku."

"Baiklah atur nafas mu Nona. Ceritakan pelan-pelan."

"Ada pria asing masuk ke rumah ku. Aku sendirian di rumah. Kumohon segera datang kemari. Kirim bantuan. Kumohon. Hic... Hic..." bisik gadis itu menahan tangis. Takut-takut pria di bawah sana mengetahui keberadaannya.

"Atur nafas mu Nona. Dimana alamat mu?"

TUUUT

Panggilan terputus. Gadis itu shock tentunya. Ia kembali memencet nomor yang sama. Tidak lama panggilan kembali tersambung.

"Nona kami sudah melacak keberadaan mu. Jangan matikan telepon nya." ucap suara wanita yang sama.

DUK

DUK

Didepan kamar, ah tidak-tidak. Di tangga, terdengar suara langkah kaki. Sepertinya pria asing itu mengenakan sepatu bot.

"Dia di depan kamar ku. Dia disini. Dia akan membunuh ku. Kumohon cepat lah. Ha... Ha..."

"Nona tenanglah. Siapa nama mu?"

"Sarah, Sarah Lopez."

"Baiklah Nona Lopez. Dengarkan aku baik-baik. Apa dikamar mu ada jendela?"

"Ada..."

"Bagus. Apa kau punya sendal?"

"Ada... Aku sedang mengenakan nya..."

"Bagus, sekarang keluar dari kolong ranjang. Buka jendela perlahan, buka lebar-lebar. Lempar sendal mu ke bawah."

"Ta-tapi..."

"Lakukan saja. Kau pasti bisa. Bantuan sudah kami kirim. Mungkin akan memakan waktu diperjalanan."

"Baik."

Gadis itu menurut. Ia melakukan semua yang disuruh.

"Aku sudah melakukannya. Sekarang apa?"

"Kembali bersembunyi."

Sarah menurut. Ia kembali meringkuk dibawah ranjang.

KRIET

Terdengar suara pintu yang dibuka perlahan. Sarah menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Tidak bisa dipungkiri lagi, tubuh nya begitu takut hingga terlihat sedikit bergetar.

"Di-dia datang..." bisik Sarah keringat dingin. Jantung nya memompa cepat. Dapat ia lihat dari sini sepatu pria itu berjalan kearah jendela.

Cukup lama pria asing itu berdiri didekat jendela. Setelahnya pergi begitu saja meninggalkan kamar.

Akhirnya Sarah dapat bernafas lega. Namun tanpa ia sadari sambungan telepon terputus.

KRING

KRING

KRING

Ponselnya berbunyi. Ternyata pihak 911 kembali menelponnya. Tanpa tunggu panjang Sarah langsung mengangkat telepon tersebut.

"Berhasil. Dia sudah pergi. Pria itu sudah..." Sarah menghentikan kalimatnya.

DUK

DUK

DUK

Didengarnya pria itu kembali. Langkah kaki yang cepat seperti berlari. Kembali menaiki lantai dua.

"Tidak. Tidak! Dia kembali! Dia kembali! Dia akan membunuh-"

"Sarah? Sarah?"

"AAAAAAA!"

"Sarah?"

"SARAAAAH?!"

TUUUT

Seorang gadis remaja turun dari sebuah mobil putih. Cahaya mentari senja menyoroti wajah cerianya. Detik ketiga ia berlari kencang memasuki sebuah rumah mewah nan megah dihadapan.

"JENNY!" teriak gadis itu semangat.

Diambang pintu, berdiri seorang gadis bersurai pirang gelap sepinggang. Melebarkan kedua tangannya, siap menerima pelukan rindu.

"I MISS YOU SO MUCH." gadis itu mendekap erat tubuh mungil Jenny.

"Aku juga merindukan mu, Jane." balas Jenny.

"Ya ampun. Seminggu tidak bertemu seperti ditinggal nikah sepuluh tahun saja." sindir wanita cantik melewati keduanya.

Jenny serta Jane hanya tersenyum kecut kepada sang ibu. Ya, mereka saudara kembar.

Memiliki rambut pirang gelap yang sama, bentuk tubuh yang sama, hanya saja Jane lebih tinggi 3Cm. Dan tentu saja wajah keduanya mirip jika dilihat sekilas. Namun jika diperhatikan dengan lebih seksama akan terlihat tidak mirip. Begitu pula dengan warna iris keduanya, jika Jenny memiliki iris berwarna Hazel seperti bola mata sang ibu, maka Jane biru cerah mewariskan warna mata sang ayah.

"Oh Jane. Panggil aku kakak." ucap Jenny membantu sang adik membawa barang-barangnya.

"Never! Kita hanya beda tiga detik. Menyebalkan." kesal Jane.

•••

Empat anggota keluarga sedang Dinner bersama dalam keadaan diam dan tenang. Menit berikutnya mereka selesai.

"Jenny, Jane. Besok Daddy dan Mommy harus keluar kota tiga hari lamanya. Ada acara dinas." ucap sang Daddy yang masih setia duduk di sana.

"Ya pergi saja. Hati-hati." jawab Jane seakan tidak peduli. Jenny yang melihatnya hanya menggelengkan kepala.

"Jenny..." panggil sang ayah.

"Yes?"

"Daddy khawatir dengan kalian. Dalam tiga bulan ini daerah kita selalu menjadi korban pembunuhan berantai. Dan korbannya selalu perempuan." ucap sang ayah sendu. Menatap keduanya secara bergantian.

"Oh ayolah Daddy. Kami akan menjaga diri baik-baik." ucap Jenny meyakinkan.

"Yah Daddy harap begitu. Jenny, Daddy mohon jaga diri kalian baik-baik. Terutama Jane. Tolong awasi dia." sorot mata sang ayah menatap tajam wajah polos Jane.

"Aku?" tunjuk Jane pada diri sendiri. "Jangan khawatir Daddy. Kami sudah berusia tujuh belas tahun. Nanti setiap tidur aku akan menaruh pisau dibawah bantal. Untuk berjaga-jaga." gurau Jane.

"Omong kosong." ucap sang ibu yang baru saja menyelesaikan kegiatan mencuci piring nya. Berjalan melewati Jane dan mengacak-acak surai gadis itu.

"Huh... Selalu saja begitu."

"Jane Daddy serius. Daddy lebih mengkhawatirkan mu daripada Jenny."

Jane menghela nafas berat. Lalu mengangguk paham.

•••

SELAMAT MALAM MINGGU DI AWAL TAHUN BARU WAHAI PARA JOMBLO!

KIDNAPPED [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang