Chapter 08

9.7K 357 3
                                    

Nyonya Lewis tidak henti-hentinya menangis. Setelah Jenny meninggalkan mereka, kini Jane juga meninggalkan mereka. Mengapa takdir begitu tega? Ia merasa tidak becus menjadi orangtua.

Sudah hari ketujuh Jane dinyatakan hilang. Pihak detektif belum juga memberitahukan tanda-tanda penemuan. Diduga Jane diculik, dan pelakunya sama. Pembunuh berantai yang sedang diincar, sekaligus yang telah membunuh Jenny.

"JANE!" teriak Tuan Lewis diruang kerjanya. Dia frustasi. Seharusnya dia menyewa sopir pribadi untuk mengantar-jemput Jane sekolah. Jika begitu maka Jane tidak akan berkunjung ke rumah lama mereka! Jika begitu Jane tidak akan hilang!

Yah, polisi menemukan mobil Jane terparkir di halaman rumah lama keluarga Lewis. Polisi berkata kemungkinan besar Jane berkunjung ke sana ketika pulang sekolah lalu diculik. Sebab polisi juga menemukan sebuah pistol baru didalam kamar yang Jenny dan Jane tempati dulu. Setelah diperiksa, sidik jari menunjukkan milik Jane. Diduga sempat ada adu cek-cok sebab terdapat darah segar nan baru disana, yang sepertinya milik pelaku. Juga empat peluru meleset milik Jane.

•••

Jane yang sedang duduk disebuah sofa dengan kondisi pergelangan tangan yang terikat di depan menatap kosong kepada layar Telivisi. Begitu pula dengan kedua pergelangan kakinya yang menyentuh lantai, juga diikat.

"Lihat, mereka sedang mencari mu," ucap pria disebelah Jane yang sengaja membuat Jane menonton kasus hilangnya dirinya. "Jane Lewis."

Tanpa sadar air mata mengalir turun. Dia sedih memikirkan kedua orangtuanya. Pasti mereka akan menyalahkan diri sendiri lagi. Padahal jelas-jelas ini salah Jane. Andai dia tidak berkunjung ke rumah lama mereka. Tidak henti-hentinya Jane merasa menyesal.

"Kenapa menangis, kau kan masih hidup." bisik pria itu membingkai wajah pucat Jane yang begitu kecil, mungil. Dia suka melihat wajah Jane. Terlihat sangat cantik walau tidak memakai Make-up. Juga bola matanya yang indah. Dia suka mata biru. Jangan lupakan bibir Sexy gadis itu yang terlihat merah segar. Tapi untuk sekarang begitu pucat.

"Kau tidak mirip dengan kembaran mu." ucap pria itu sekali lagi memberitahu. Tanpa diberitahu pun Jane sudah tau.

"Ke-kenapa kau membunuh Jenny?" tanya Jane setengah berbisik. Ia tidak tahan ingin menangis. Pria itu diam sejenak. Tujuh menit berlalu ia habiskan untuk menatap wajah sembab Jane.

"Oh jadi nama dia Jenny," pria itu berucap tidak peduli. Ia mulai mencium lembut kedua mata sembab Jane. "Karena disuruh." sambung pria itu setelahnya.

Bola mata Jane membesar. Disuruh? Apa dia pembunuh bayaran? Seakan tau apa yang ada dipikiran Jane, pria itu meny'iyakan.

"Kau benar Jane. Aku pembunuh bayaran. Kau pikir aku membunuh orang karena iseng? Psycho? Oh ayolah, aku masih normal."

Jane yang mendengar itu hanya menggelengkan kepala. Bisa-bisanya dia tidak sadar perbuatan nya itu melebihi psikopat! Bahkan melebihi setan manapun! Dan mengaku bahwa dia normal? Dia sudah gila! Sakit!

"Siapa yang menyuruh mu untuk membunuh Jenny?" tanya Jane sekali lagi. Kali ini tampak serius.

"Entahlah, untuk apa aku mengingat siapa mereka. Yang penting tugasku selesai, uang kudapat." jawab pria itu acuh. Membawa tubuh Jane kedalam pelukannya.

Oh dia suka ini. Tubuh Jane begitu pas di dalam pelukannya. Sangat mungil. Jemari panjangnya bergerak menyisir rambut kusut Jane.

"Ke-kenapa kau menculik ku? A-apa ada yang menyuruh mu juga..." tanya Jane gemetar. Dapat pria itu rasakan tubuh kecil didalam pelukannya ini menggigil takut.

"Tidak." jawab nya singkat padat dan jelas.

"Dan kenapa saat itu kau ada di ruma-"

"Diamlah Nona Lewis. Kau begitu banyak bertanya. Dikasih hati malah minta jantung." kesal pria itu, mendorong kasar tubuh Jane menjauh. Jane menundukkan kepala takut. Dia tidak ingin ditampar lagi.

•••

Dikasih makan, dimandikan dan dirawat.

"I-ini dimana?" tanya Jane terbata-bata. Sejujurnya dia masih takut. Bahkan dia tidak yakin berhasil atau tidaknya membunuh pria brengsek yang sialnya tampan itu nantinya.

"Dirumah ku, ada tiga lantai dan satu ruang bawah tanah." jawab pria itu yang sedang fokus memasak di dapur. Dan Jane, gadis itu duduk manis di meja makan. Masih dalam keadaan pergelangan tangan dan kaki yang terikat. Jam menunjukkan pukul sembilan.

"A-apa rumahmu menyendiri?" tanya Jane terbata-bata.

"Ini perumahan Hometown." jawaban yang mampu membuat bole mata Jane membesar. Hometown? Kawasan perumahan Elite? Bisa-bisanya pembunuh bayaran berbaur dengan masyarakat biasa.

"Kenapa? Kau ingin berteriak? Tidak akan ada yang mendengar mu. Sebab rumah ini kedap suara. Aku membeli pengedap suara paling mahal. Hanya demi mu, karena mu Jane." jelas pria itu sengaja menekan kalimat akhir. Kegiatan masak-memasak selesai. Ia meletakkan satu porsi daging untuk Jane, dan satu lagi untuknya.

Keduanya makan dalam diam, duduk berseberangan. Sesekali Jane mencuri pandang kearah pria itu yang fokus menyantap makanannya.

Lima belas menit berlalu Jane belum juga menyelesaikan makannya. Yah dengan tangan terikat. Begitu susah, untungnya pria itu sudah memotong-motongkan daging untuk nya.

"Apa enak?" tanya pria itu tiba-tiba. Jane mengangguk setuju.

"Jawab dengan mulut mu." perintah pria itu sembari melempar pisau roti kearah Jane. Menancap sempurna pada meja dihadapan Jane.

DEG

DEG

"E-enak. Ini enak."

"Terimakasih Nona Lewis."

Susah payah Jane menelan ludah. Lima menit berlalu akhirnya Jane menyelesaikan makannya. Pria itu membenahi piring-piring dan mencuci piring keduanya.

"Hei," panggil Jane takut. Berhubung pria itu telah menyelesaikan cuci piring nya. Ia berjalan untuk duduk dihadapan Jane.

"Kenapa kau menculik ku? Apa kau butuh uang? Daddy ku akan memberikannya." sambung Jane perlahan. Tidak ingin membuat pria itu kembali marah.

Tapi nyatanya dia salah. Pria itu tampak emosi. Bahkan rahang kekarnya tampak mengeras.

"Kenapa kenapa kenapa! Kenapa kau bertanya begitu? Aku ini bukan menculik mu. Media saja yang menganggap nya begitu. Bahkan orangtuamu juga. Dan sekarang, kau merasa sedang diculik? Iya?"

Gila! Tentu saja iya!

Jane diam. Menundukkan kepalanya dalam.

"Lihat aku Jane. Coba kau jelaskan dimana letak aku menculik mu?"

Jane terisak-isak memikirkan nya. Pria ini benar-benar gila! Aneh! Tidak waras! Idiot! Menyebalkan! Jane benci itu! Sangat! Sungguh!

"JANE!"

Ia tersentak kaget. Menatap ngeri tatapan dalam pria itu.

PLAK

PLAK

PLAK

PLAK

Empat tamparan keras mendarat di kedua pipi Jane, sama rata. Ia terdiam. Bahkan tangisnya mereda. Sangking terkejutnya.

BRUK

Surai nya dijambak keras. Dan tubuhnya dihempas kuat untuk berlutut di lantai.

Bola mata Jane membesar ketika pria itu sibuk melepaskan jins nya.

Tidak! Jane tidak ingin kembali meneguk sperma pria itu! Dia jijik itu! Rasa sakit kerongkongannya yang kemarin saja belum mereda. Dan sekarang, lagi ...

Kepalanya ditahan kuat agar tidak banyak bergerak.

Dan kejadian beberapa hari silam terulang kembali.

"Telan semuanya, Jane ..."

Dia baru saja menyelesaikan makan malamnya. Jane benci ini!

•••

KIDNAPPED [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang