Chapter 06

11.6K 455 0
                                    

Pukul lima sore hari. Sebuah mobil putih melaju memasuki sebuah kawasan perumahan. Mobil berhenti tepat didepan halaman sebuah rumah berlantai tiga yang telah disegel tanda kuning polisi.

Entah apa yang membuatnya kemari, Jane turun dari mobilnya. Dia yang baru pulang dari sekolah langsung ke rumah lamanya tanpa memberitahu kedua orangtuanya.

Tanpa diperintah, kaki jenjangnya melangkah dengan sendirinya. Langkah demi langkah ia lalui hingga tibalah dia didepan pintu masuk.

Tidak peduli dengan segala larangan yang tertulis disana. Jane sedikit membungkuk untuk melewati segel kuning tersebut. Pintu tidak dikunci, segera ia masuk kedalam rumah lamanya tersebut.

Masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah. Barang-barang masih lengkap dan diposisi yang sama. Yah, tuan Lewis sengaja.

Keadaan yang lumayan gelap. Jane membuka seluruh tirai jendela. Setelah dirasa cukup terang. Ia melangkah naik keatas, lantai dua. Sama, tidak ada yang berubah. Dan terakhir ia melangkah naik ke lantai tiga. Berdiri dihadapan sebuah pintu ganda berwarna putih.

"Aku kembali, Jenny." sapa Jane lalu membuka pintu tersebut.

Masih sama, hanya saja sedikit berdebu. Padahal belum juga ditinggal setahun. Jane membuka tirai kamar agar cahaya senja masuk. Lalu duduk ditepi ranjang. Samar-samar bau anyir masih tercium.

DUK

Jane menoleh cepat kearah pintu kamar kala ia mendengar suara langkah kaki. Diambang pintu berdiri seorang pria berpakaian serba hitam. Menatap datar kearahnya.

"Siapa kau?" tanya Jane tegas dan langsung berdiri. Berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Ia mengeluarkan pistol dari dalam saku celananya.

Yah dia bukan gadis bodoh yang datang dengan tangan kosong. Tentu saja dia membawa sesuatu yang disebut Surprise.

Pria itu diam. Wajahnya masih datar. Seakan tidak takut kepada yang namanya kematian ia malah melangkah maju. Hanya tiga langkah. Dan Jane masih berdiri ditempat. Siap memasang kuda-kuda.

"Kau hidup kembali?" tanya suara serak itu.

Jane menyipitkan mata. Ia sedikit berpikir dan mencerna pertanyaan pria itu. Setelah paham bola matanya membesar.

"Apa kau-"

"Ya kau benar." potong pria itu tau dengan apa yang akan Jane tanyakan.

"Dasar brengsek!" teriak Jane murka. Bola mata indahnya tampak berair. Ia siap menarik pelatuk jika pria ini maju selangkah saja. Tunggu, mengapa harus menunggu? Ini kesempatan. Kesempatan emas untuk membunuh seorang pembunuh!

DOR

Peluru menancap sempurna pada bahu kiri pria itu. Ya Jane meleset. Sebab ini pertama kalinya Jane menembak. Dan juga dia belum siap untuk membunuh. Dia tidak memiliki keberanian. Akankah ia bisa membunuh pembunuh yang telah membunuh kembarannya?

"Kau takut, tangan mu gemetar." ucap pria itu datar. Seakan tidak sakit. Pria itu masih setia berdiri ditempat. Tidak peduli lengan kirinya di banjiri oleh darah segar.

"MUNDUR! MUNDUR BRENGSEK!" teriak Jane histeris. Keringat bercucuran membasahi pelipis. Ia tidak tahan lagi. Jane tidak bisa melakukannya. Padahal ini adalah kesempatan emas. Namun mengapa dia begitu takut?

Siapa duga, pria itu malah tersenyum lebar. Seperti menanti-nantikan hal yang ia dambakan.

"Ini yang aku inginkan." gumam pria itu tidak jelas. Ia melangkah maju, selangkah demi selangkah. Membuat Jane terpojok pada jendela.

"DASAR BRENGSEK!"

DOR

DOR

DOR

DOR

KLIK

KLIK

Peluru habis, juga setiap tembakan meleset. Inilah resiko jika belum siap membunuh. Lagipula ini terlalu tiba-tiba dan diluar dugaan. Jane yang awalnya hanya ingin berkunjung tidak menyangka akan bertemu dengan pembunuh sialan ini.

BRUK

Pistol terlepas dari genggamannya. Tangannya tampak begitu gemetaran.

Apa saat itu Jenny juga merasakan hal yang sama? Apa Jenny setakut ini?

Tidak! Bahkan lebih parah. Tidak dapat Jane bayangkan bagaimana kembarannya saat itu merasa takut seorang diri.

"Dilihat dari manapun kau tidak mirip dengan gadis itu." gumam pria itu menyentuh asal dagu tirus Jane.

PLAK

"Singkirkan tangan busuk mu itu! JANGAN SENTUH WAJAH KU DENGAN TANGAN HARAM MU! BRENGSEK!" Tepis Jane kasar. Sangat kasar.

Kini entah keberanian dari mana, ia mendorong tubuh pria itu kuat. Sangat kuat mampu membuat pria itu mundur setengah langkah. Yah hanya setengah langkah. Kasihan, buang-buang tenaga.

Tidak mau berlama-lamaan, Jane langsung mengambil ancang-ancang untuk berlari. Baru tiga langkah ia berlari. Pinggang rampingnya didekap dari belakang.

"Sepetinya aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama." bisik pria itu serak pada telinga kanan Jane.

Selanjutnya Jane merasa lengan kanannya ditusuk. Ia disuntik, dan obat itu merangsang cepat. Pandangannya mulai buram. Hingga akhirnya jatuh pingsan.

Tunggu!

Tidak! Jane tidak ingin dibunuh! Bukan ini yang ia inginkan! Bukan!

Haruskah dia menyesal? Lagi-lagi harus menyesal? Menyesal karena mendatangi tempat ini.

Tapi Jane kan tidak tau pria itu masih berkeliaran dirumah ini. Mengapa bisa kebetulan? Atau memang pria itu sering berkunjung ke sana?

•••

KIDNAPPED [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang