Chapter 05

11.6K 399 2
                                    

CKLEK

Gelap, sangat gelap. Juga bau anyir dimana-mana.

"Jenny?" panggil Jane. Mengendap-endap masuk sembari mencari saklar lampu.

TIK

Lampu dihidupkan.

"OH MY GOD! JENNY!!!" teriak Jane histeris. Pemandangan tidak sedaplah yang menyambut kehadirannya. Ia berlari menghampiri kembarannya yang tergantung di depan jendela, bersimbah darah, juga tanpa mengenakan busana.

Tidak bisa berpikir jernih. Jane panik, sangat panik. Tubuhnya bergetar hebat. Bahkan air mata turun membasahi pipinya.

Ia melangkah pelan menuju mayat Jenny. Melepas tali yang melingkar pada leher kembarannya, lalu menurunkan tubuh itu kelantai.

"Jenny? JENNY?!" panggil Jane gemetar. Menaruh lembut kepala Jenny keatas pangkuannya.

"Jenny, TIDAK! JENNY!!!"

Jane melihat banyak luka sayat pada wajah cantik Jenny. Juga terdapat tiga tusukan pada perut gadis itu.

Sesak, nafas Jane sangat sesak. Bagaimana bisa Jenny mati dengan keadaan tidak bermoral begini?

"JENNYYY!!!"

•••

Di sore hari yang cerah. Langit yang tampak berwarna oranye. Juga angin sepoi-sepoi menyapu dedaunan.

Gadis remaja berpakaian serba hitam, juga wajahnya yang tampak sembab dan acak-acakan menatap sendu kearah nisan bertuliskan.

JENNY LEWIS.

BRUK

Ia terduduk lemas di atas tanah. Tatapannya kosong.

Tidak tunggu lama Tuan dan Nyonya Lewis datang, berlari tergopoh-gopoh. Mereka yang mendapat kabar duka langsung pulang saat itu juga.

"JENNY!" teriak Nyonya Lewis histeris. Tangisnya pecah. Disambut oleh Tuan Lewis yang menangis dalam diam.

Penyesalan singgah pada benak masing-masing.

"TIDAK! INI SALAH KU! INI SALAH KU! ANDAI SAAT ITU AKU TIDAK KELUAR! ANDAI SAAT ITU AKU... AKU..." Jane tidak tahan lagi. Dia histeris, juga mual. Dadanya sesak. Tidak tahu lagi cara mendeskripsikan kesedihannya saat ini.

"Jane..." lirih Tuan Lewis, berjongkok di sebelah gadis itu, memeluk putrinya itu.

"Ini bukan salah mu nak. Ini salah kami. Andai kami tidak berlibur. ANDAI KAMI PULANG SAAT ITU!" Nyonya Lewis tidak kalah histeris.

"Hentikan! Tidak ada yang bersalah disini!" tegas Tuan Lewis menarik lengan sang istri untuk ikut duduk. Ketiga insan disana berpelukan. Menangis pilu bersama. Meratapi nisan yang sama.

Benar.

Tidak ada yang bersalah disini. Tapi andai saja saat itu Jane tidak keluar. Andai saat itu Tuan dan Nyonya Lewis ada dirumah. Mungkin kejadian tragis yang menimpa Jenny tidak akan terjadi bukan?

Nasi telah menjadi bubur. Mungkin nasib Jenny memang berakhir tragis. Siapa yang tau dan siapa yang bisa mengubahnya.

•••

Tiga bulan berlalu begitu cepat, namun duka keluarga Lewis tak kunjung berlalu. Terutama Jane, dia sangat tertekan. Bahkan setiap malamnya dia akan menangis histeris.

"Jane?" panggil Nyonya Lewis memasuki kamar terang putri nya itu. Iris Hazel nya menatap kearah seorang gadis yang sedang duduk dipinggir jendela kamar. Menatap gelapnya langit malam.

Setelah hari kematian Jenny. Tuan Lewis membeli rumah baru. Dengan tujuan untuk menghilangkan rasa duka. Tapi nyatanya tidak juga kunjung hilang.

Tuan Lewis membeli salah satu rumah disebuah perumahan biasa. Lumayan saling berdekatan, cukup untuk membuat tetangga terjaga jika ada yang berteriak saja itu sudah bagus.

"Mommy, aku ingin mati." bisik Jane.

"Jane! Sadarlah nak. Jangan berkata seperti itu," nyonya Lewis berjalan cepat kearah putri nya itu. Berdiri disebelah Jane.

"Kau satu-satunya yang tersisa. Kaulah harapan terakhir kami Jane. Mommy mohon, jangan bersedih lagi. Jenny akan sedih melihat mu begini terus." ucap Nyonya Lewis parau, menahan tangis.

"Aku benci. Kenapa pembunuh itu belum ditangkap! Jenny korban ke empat puluh lima. Mengapa para polisi dan detektif begitu tidak becus? Aku benci mereka. Aku membenci diriku yang saat itu tega meninggalkan Jenny seorang diri. Aku-"

"Sssttt..." Nyonya Lewis membawa tubuh Jane kedalam pelukan. Setelahnya Jane menangis histeris seperti biasa.

"Hic... Andai saat itu aku tidak berkata begitu... Hiks... Jenny, maafkan aku..."

"JENNY! JIKA NANTI KAU DICULIK ATAU BAHKAN DIBUNUH. AKU BERSUMPAH TIDAK AKAN SEDIH."

Perkataan tajam yang masih terngiang-ngiang dibenak Jane. Dia sungguh menyesal, dia sungguh merasa bersalah.

Mengapa saat itu dia tega berkata begitu? Mengapa? Sebenarnya apa yang dia pikirkan saat itu?

Jane ingat, saat itu di dinding kamar terdapat sebuah tulisan dari darah Jenny, tentang bagaimana proses dan penyiksaan yang pelaku berikan terhadap Jenny.

Sebenarnya korban sebelumnya juga begitu. Bahkan ada kata-kata tambahan seperti kasus Sarah Lopez tujuh bulan yang lalu.

FBI yang membuat gadis ini ketahuan. Andai saat itu kalian pihak 911 tidak menelponnya. Mungkin dia masih hidup. Haruskah aku berterimakasih kepada kalian?

Mengapa dia begitu tega? Apa dia sungguh manusia?

•••

KIDNAPPED [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang