10. Derangement

53 10 0
                                    

──────────────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

──────────────

Rasanya aku sudah lupa kapan sesak yang mencekik itu pertama kali kurasakan. Yang kuingat hanyalah, ibuku yang selalu datang menenangkanku tak peduli dia pun tengah menahan luka.

"Ibu baik-baik saja." 

Itu yang selalu kudengar darinya. Sebuah kebohongan yang begitu kentara bahwa dia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Namun, alih-alih mengulurkan tanganku untuk membantunya dari situasi buruk itu, aku justru menjadi beban tambahan yang membuatnya harus lebih kuat bertahan.

Orang tuaku bercerai sewaktu aku SMA. Penyebabnya, perselingkuhan, kekerasan domestik, alkohol, dan banyak persoalan ekonomi yang membuat masa mudaku begitu menyiksa. 

Siapa yang menyebabkan semua itu terjadi? Tentu saja, ayahku. Seseorang yang memberikan secuil sumbangsih sampai aku dilahirkan dan tumbuh besar dengan berbagai permasalahan mental.

Dulu aku selalu ketakutan apabila orang tuaku bercerai. Namun menuju dewasa, aku lebih takut seandainya terjadi sesuatu yang buruk pada ibuku yang kerap menerima kekerasan. Ketakutan itu selalu membayangiku hingga nyaris setiap malam aku tak lagi bisa tidur nyenyak. Sampai akhirnya ibuku memaksakan sebuah perceraian setelah sebelumnya selalu ditentang oleh ayahku dengan dalih; dia begitu mencintainya.

Lalu tepat satu tahun setelah perceraian itu, aku dan ibuku mendapat kabar bahwa ayahku meninggal akibat konsumsi alkohol secara berlebihan. Alkohol bukan hal baru bagi pria itu, tapi orang di sekitarnya bilang, ketergantungannya pada minuman semakin menjadi semenjak perceraiannya dengan ibuku. 

Kenyataan yang kadang membuatku ingin mengutuk diriku sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa sebagai satu-satunya orang yang mewarisi darahnya.

Banyak orang menjadi bodoh karena cinta, meskipun lebih banyak orang yang bilang bahwa tak ada hal lain yang bisa membuatmu lebih bahagia dibanding cinta. 

Dan bagiku, cinta adalah suatu hal yang kuanggap hanya membawa derita. 

Karena itu, aku tak ingin bergumul dengannya. Karena itu pula aku selalu menyangkal setiap aku merasakan suatu emosi yang kerap direlasikan dengan perasaan itu.

Namun presepsiku berangsur berubah selepas aku bertemu dengan Rintaro. Batinku serasa bertarung; antara ingin mengakui bahwa aku mencintainya, atau terus berkilah karena akhir indah yang kuharap belum tentu datang dan kudapatkan.

Ada yang bilang, bahwa kau adalah protagonis dalam ceritamu sendiri. Tapi di ceritaku, protagonis dan antagonis hanyalah sebuah posisi yang cukup fleksibel untuk ditokohi oleh satu individu.

Aku protagonis dalam ceritaku. Namun seribu pikiran negatif yang menyanderaku menjadikanku antagonis bagi belahan lain dari diriku yang menginginkan sebuah akhir bahagia.

─────────────

Petang telah menjelang saat aku membuka mata selepas tidur siang yang kupaksakan untuk meredam emosi. Lalu yang pertama kali kutemukan adalah, Rintaro yang kini duduk di bibir ranjang, menggenggam salah satu tanganku dengan raut cemas yang belum pernah kulihat selama aku mengenalnya.

[Finished] a Haikyuu!! Fanfiction|Rêverie|Suna Rintaro x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang