13. Tangled

73 10 0
                                    

───────────────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

───────────────

"Jangan sampai kau berjumpa lagi denganku. Karena kalau itu terjadi, maka aku tidak akan pernah lagi melepaskanmu!" Begitu kalimat terakhir yang aku dengar, di hari terakhir saat aku aku memutuskan untuk berpisah dengannya.

Saat itu aku berusaha untuk tidak lunglai mendengar suaranya lewat sambungan telepon. Namun pada akhirnya tangisku tetap pecah. Aku tidak bisa berhenti meratap hampir seminggu lamanya, berharap bahwa ini hanyalah satu bagian dari banyak mimpi buruk yang kerap mampir dalam tidurku.

Tapi sakit dalam hatiku terasa nyata. Dan aku harus mulai membiasakannya atau itu akan berpengaruh juga pada nyawa yang ada dalam kandunganku.

Lalu dua bulan berlalu sejak saat itu.

Aku sudah mulai membiasakan diri, kembali dengan kesendirianku. Meskipun sesekali aku tetap akan mengingat sosok Rintaro yang selama setengah tahun selalu berlalu lalang di tempatku seolah dia adalah pemiliknya.

Dulu sebelum dia datang, aku tidak pernah merasakan perasaan sehampa ini. Benar seperti kata seseorang, bahwa kesepian itu terasa bukan karena kau sendiri, tapi karena kau pernah bersama orang lain, namun kini dia tidak ada.

Sebulan lalu aku resmi keluar dari pekerjaanku untuk lebih berkonsentrasi pada hidup baru bersama bayi dalam kandunganku. Ketika tidak sedikit rekan kerjaku yang keluar karena masalah kesetaraan gender dan pelecehan seksual, aku justru keluar untuk sebuah peran ganda yang harus kulakukan untuk anak ini.

Aku tidak bisa mengeluh, dan tidak akan mengeluh karena semua ini adalah pilihanku. Tapi kadang aku harus merasa bersalah, karena masih ada orang yang harus ikut menanggung beban oleh keputusanku. Ibuku sendiri.

Meskipun dia selalu bilang bahwa aku yang akan menerima konsekuensinya, tapi dia tidak bisa tinggal diam untuk membiarkanku seorang diri. Setidaknya setiap akhir pekan dia akan datang menginap, dan memastikan apakah aku baik-baik saja. 

Sebelumnya dia tidak pernah bertanya siapa ayah dari anak yang aku kandung. Tapi hari ini, aku terpaksa mengatakan kenyataannya lewat aliran pembicaran yang sebelumnya tidak mengarah ke sana.

"Apa dia seburuk itu hingga kau tidak ingin bersamanya?" Itu yang pertama kali meluncur dari bibir ibuku ketika kami tengah mencari keranjang bayi pada katalog daring di internet.

"Tidak."

"Dia pengangguran?"

"Yang benar saja!" Aku tertawa singkat padahal itu sama sekali tidak lucu.

"Dia berselingkuh?"

"Juga bukan."

"Kalau begitu kau simpanannya?"

Aku terdiam sesaat, dan sepertinya selang yang kuberikan itu membuat ibuku sedikit curiga.

"Ya ampun ...," dia menepuk dahinya.

Aku segera menukas sebelum ibuku berpikiran yang tidak-tidak. "Bukan seperti ituー"

Lalu kulanjutkan dengan cerita tentang Rintaro, tentang apa yang terjadi di antara kami lima tahun lalu. Dan tentang keberadaan Yuriko.

Rumit. Pikiran itu nampak jelas mengambang pada raut ibuku selepas aku menceritakan semuanya.

"Kau harus mencari penulis skenario agar kisahmu ini bisa jadi drama," ibuku mencoba berkelakar, meskipun wajahnya nampak serius sekarang. "Dari banyak manusia di dunia ini, kenapa orang dari keluarga Suna yang kau sukai?"

"Bukankah kita tidak bisa memilih pada siapa kita akan jatuh cinta?"

"Berhentilah sok filosofis, dan berpikirlah lebih realistis!" Ibuku mencibir meskipun aku tahu, dia tidak serius dengan kalimatnya itu.

Tapi bagaimanapun juga kata maaf selalu keluar begitu saja dariku, sekalipun dia tidak pernah meminta. Sekarang, pun jauh sebelumnya ketika yang bisa kulakukan hanya mempersulit hidupnya.

"Simpanlah kata maafmu untuk anak ini. Karena suatu saat nanti dia pasti akan menanyakan siapa ayahnya." Kemudian fokusnya kembali pada layar laptop, telunjuknya bergerak pada keranjang bayi bercat biru muda. "Ini lucu."

"Warnanya feminin sekali," komentarku. "Aku harus melakukan ronsen lagi untuk mengetahui anak ini laki-laki atau perempuan."

"Berhentilah mengkotak-kotakkan gender! Bukankah kau pernah bilang bahwa tidak masalah seorang laki-laki menyukai warna feminin?"

Aku hampir lupa itu. "Hahaha, benar juga. Kalau begitu ayo beli yang ini."

Satu-satunya hal menyenangkan yang aku rasakan dua bulan belakangan hanyalah obrolanku dengan ibuku, tentang anak ini.

Dan sesekali aku berandai, jika saja aku bisa melakukannya dengan Rintaro.

──────────────

Seminggu setelahnya, aku mengunjungi klinik untuk kembali memeriksakan janinku. Tidak ada yang salah dengannya, pun aku yang sudah cukup biasa melakukan berbagai meditasi agar pikiran negatifku tidak berpengaruh pada kesehatannya dan kesehatanku sendiri.

Katanya, dia laki-laki.

Sepanjang perjalanan pulang aku membayangkan akan seperti apa parasnya kelak. Akankah dia mewarisi mata sipit Rintaro? Atau rambutnya yang kadang mencuat kemana-mana saat bangun tidur. Atau mungkin tingginya?

Aku terus tersenyum sambil mencoba memproyeksikan seperti apa dia kelak. Namun yang terus mengambang dalam benakku tak lain adalah sosok Rintaro sendiri.

Aku sadar, bahwa aku merindukannya. Dan aku benar-benar ingin tahu apa yang bisa membuatku menghapus bayangnya.

Di tengah melankolia yang merayap dalam hatiku, sayup kudengar seseorang memanggil namaku dari jauh. Bukan suara yang familier, tapi aku yakin bahwa setidaknya sekali aku pernah mendengar suara itu.

Aku menoleh, kemudian menemukan wanita berpostur cukup tinggi berdiri di belakangku. Seperti terakhir aku melihatnya, dia nampak anggun dengan mantel musim dingin berwarna gading yang membungkus tubuh rampingnya.

"Apa kabar?" Sapanya.

Kedua sudut bibirku kupaksakan naik, membentuk sebuah senyuman saat menjawab pertanyaannya. "Aku baik-baik saja."

"Mau makan siang bersama?" tawarnya, bahkan sebelum aku balik bertanya tentang bagaimana kabarnya sejak pertama atau bisa dibilang terakhir dia mengunjungi apartemenku.

───────────────

[Finished] a Haikyuu!! Fanfiction|Rêverie|Suna Rintaro x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang