──────────────
Malam sudah menjelang saat aku kembali ke apartemen dengan kantong belanjaan di tangan, kemudian secara acak aku menemukan Rintaro yang tengah berdiri di genkan dengan tangan bersedekap. Dari rautnya sekarang, aku cukup tahu kalau dia tengah kesal oleh sesuatu, namun aku memilih abai dan hanya menghela napas sebelum berlalu melewatinya.
Sejam lalu kami berdebat lewat sambungan telepon perihal kartunya yang tiba-tiba berada di dompetku. Nanao sempat terkejut dan mulai menyusun teori bahwa sebenarnya aku adalah orang kaya yang selalu belanja menggunakan black card kapan pun dan di mana pun. Kalau ada yang pantas kucurigai tentang keberadaan kartu misterius ini, maka Rintaro adalah orangnya.
"Kenapa kau masukan ini ke dompetku?" Tanyaku setelah keluar dari supermarket dan pastinya sudah berpisah dengan Nanao yang bilang bahwa dia harus mampir ke suatu tempat lebih dulu.
"Aku hanya ingin kau membelanjakannya," suara Ritaro menjawab di seberang sana.
"Aku tidak butuh. Dan aku akan ditertawakan kalau belanja barang diskon dengan kartu hitam seperti itu!"
Ditambah, aku merasa aku masih bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus bergantung padanya. Kalau hanya harus menambah alokasi dana untuk membeli bahan makanan karena dia lebih sering menghabiskan waktunya di tempatku, aku masih tetap mampu.
"Kalau begitu belilah barang mahal yang kau suka."
Aku mendengus kecil sebelum menutup sambungan telepon tanpa basi-basi. Mungkin hal itu pula yang membuat mood Rintaro lebih rendah daripada biasanya. Tapi aku memilih untuk tetap mengabaikannya karena aku pun ingin dia lebih menghargai keputusanku.
"Minggir!" kataku ketus.
Kami masih saling diam bahkan setelah makan malam usai, dan aku berniat menonton acara televisi yang sudah kurekam sejak minggu lalu. Tapi aku tidak akan bisa melakukannya selama Rintaro masih menggelosor, berbaring di atas sofa dengan remote di tangannya, dan hingga beberapa detik berlalu tidak ada tanda bahwa dia akan bergerak.
Aku ingin menggeram, tapi kemudian memilih untuk mendusal lalu merebut remote-nya.
"Kau lupa ya kalau sofanya sempit?" Protesnya saat aku dengan sengaja menyikut dadanya.
"Aku tahu karena ini rumahku. Kalau kau tidak suka, pulang saja!" cetusku sambil menekan tombol remote tanpa peduli dia mendengus kesal.
Kartu hitam yang dia selipkan di dompetku sebelumnya berada di atas meja. Aku tidak berniat mengantonginya lagi, pun dia yang sepertinya masih bersikukuh agar aku menyimpannya.
Aku berbaring, menatap layar televisi yang mulai memutar acara favoritku. Tidak peduli sekarang aku menggunakan lengannya sebagai bantal, karena setiap malam pun dia selalu membiarkanku untuk melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Finished] a Haikyuu!! Fanfiction|Rêverie|Suna Rintaro x Reader
Fanfic𝘙ê𝘷𝘦𝘳𝘪𝘦; 𝘢 𝘴𝘵𝘢𝘵𝘦 𝘰𝘧 𝘣𝘦𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘭𝘦𝘢𝘴𝘢𝘯𝘵𝘭𝘺 𝘭𝘰𝘴𝘵 𝘪𝘯 𝘰𝘯𝘦'𝘴 𝘵𝘩𝘰𝘶𝘨𝘩𝘵𝘴; 𝘢 𝘥𝘢𝘺𝘥𝘳𝘦𝘢𝘮. ▶ Suna Rintaro x Reader Disclaimer: ・Haikyuu!! and the characters belong to Furudate Haruichi ・I own this story Before y...