O1. Secercah harapan

807 139 21
                                    

Kaki kecilnya ia paksakan berlari di bawah suhu rendah yang menyelimuti Amethyst. Sepatu boots tebal yang terbuat dari kulit domba meninggalkan jejak di atas benda putih bernama salju. Saking tebalnya, kakinya bisa tenggelam sebatas betis. Membuat dingin semakin terasa menusuk tulang. Uap putih menguap setiap kali ia menghembuskan nafas. Rasanya ia ingin mengeluh -lagi- kepada sang Dewi karena meninggalkan Amethyst dalam badai salju yang tak kunjung usai.

Kakinya berhenti di depan sebuah bangunan kuno yang terbuat dari kayu. Atapnya membentuk tanduk rusa yang konon katanya, kau bisa melihat seluruh isi Amethyst dari atas sana. Seluruh isi Amethyst! Tanpa terkecuali. Tapi untuk kali ini, kau mungkin hanya akan melihat hamparan benda berwarna putih atau air terjun yang terselimuti es atau tumpukan tubuh manusia yang tertidur di jalanan.

Amethyst, digadang-gadang sebagai alam dengan keindahan tanpa batas. Berisi klan-klan terhebat yang pernah hidup di muka bumi ini. Tempat lahir manusia-manusia sempurna dari segala kesempurnaan yang pernah ada. Pernah dipijaki oleh hewan-hewan terkuat yang pernah bernafas. Atau tanahnya menjadi tempat untuk menopang tumbuhan-tumbuhan serba guna yang tiada tandingannya.

Mungkin sekarang orang-orang akan bertanya. Mana manusia-manusia sempurna yang berasal dari klan terhebat itu? Mana hewan-hewan kuat yang pintar itu? Atau mana tumbuhan yang hidup di atas tanah maha subur itu?

Jawabannya, semua itu berada di balik tumpukan benda putih itu. Manusia-manusia, hewan-hewan, dan tumbuhan-tumbuhan sedang tertidur berselimut salju dan es. Layaknya seekor beruang di musim dingin, mereka semua sedang hibernasi.

Amethyst membeku.

Di lantai paling atas Gedung Tanduk Rusa, ia menemukan ribuan catatan sejarah Amethyst. Gulungan-gulungan kertas bertuliskan huruf yunani kuno berserakan memenuhi ruangan. Ia terpaksa melompat kesana kemari agar tidak menginjak gulungan kertas dengan sepatunya yang basah.

Sampai di sudut ruangan, di dekat jendela besar di mana ia bisa melihat seluruh isi Amethyst, ia duduk sambil menyilangkan kakinya. Satu pedang terakhir ia letakkan di atas enam pedang yang sudah ia tata sejak lama.

"Cukup dengan satu mantra, aku bisa membawa mereka kembali," gumamnya yakin.

Tangannya membuka gulungan kertas dan matanya menelisik tulisan dengan seksama. Begitu menemukan barisan kalimat yang ia cari, matanya langsung terpejam dan bibirnya menggumamkan kalimat itu.

Satu menit...
Dua menit...

Dan sebuah cahaya menyilaukan keluar dari tumpukan pedang itu.

— 🗡 —

Seoul, Korea Selatan, 2022.

"Bisa kita mampir ke kedai kopi sebentar?"

"Baik, Tuan Choi." Sang supir yang duduk di kursi kemudi mengangguk. "Akan ada kedai kopi setelah perempatan."

Yang dipanggil Tuan Choi mengangguk. Ia melirik sekilas ke arah jam tangan mahalnya. Sejam lagi ada pertemuan penting dengan para petinggi negara. Itulah alasan kenapa dadanya terasa bergemuruh karena gugup. Kalau sudah begini, kafein adalah jawaban yang tepat.

Mobilnya terparkir di depan kedai kopi bernuansa retro yang tidak terlalu luas, tapi terlihat cukup menjanjikan. Pemuda Choi membuka payungnya kemudian berlari menembus hujan. Sampai di depan pintu kedai, ia menutup payung dan meletakkannya di tempat penyimpanan payung.

Bel berdenting begitu pintu terbuka. Bau kopi dan roti hangat langsung menggelitik indera penciumannya. Belum selesai dengan urusan bau roti dan kopi, ia langsung disambut oleh seorang gadis berambut merah.

"Oh? Sepertinya aku kenal kau?"

Sang wanita, dari balik kasir, tersenyum. "Halo! Lama tidak bertemu. Mau pesan sesuatu?"

"Tentu," sahut si pemuda Choi. "Aku minta vanilla latte hangat dengan tambahan espresso."

"Noted!" kata sang gadis. "Atas nama Choi Beomgyu, benar?"

"Aku akan sangat kecewa jika kau melupakan namaku, Chaery."

Gadis itu tertawa renyah. Ia menyelipkan seuntai rambutnya yang menjuntai. "Pesananmu akan jadi dalam lima menit."

Beomgyu mengangguk. Setelah selesai bertransaksi, ia menggeser sedikit tubuhnya agar lebih jelas melihat Chaeryoung yang sibuk membuat pesanannya. "Bagaimana kabarmu?"

"Baik," sahut Chaeryoung dengan cepat. "Kau sendiri? Kelihatannya sibuk sekali ya?"

Beomgyu terkekeh. "Begitulah."

"Masih sering menghubungi mereka?"

Beomgyu terdiam. Ia tahu siapa 'mereka' yang Chaeryoung maksud. Sejurus kemudian, ia menghela nafas. "Tidak juga. Mereka juga sibuk."

"Benar," sahut Chaeryoung seadanya.

"Kau dan Taehyun, bagaimana?"

Terdengar kekehan dari sang gadis. "Ku pikir kau sudah dengar bahwa kami putus. Sudah dua tahun sejak kami pisah."

Sebenarnya Beomgyu sudah dengae tentang masalah keduanya. Pernah sekali ia bertemu Taehyun di stasiun kereta. Laki-laki itu punya alasan yang jelas untuk masalah hubungannya dengan Chaeryoung. Sangat disayangkan.

Bel di pintu berdenting bersamaan dengan tangan Chaeryoung meletakkan segelas kopi hangat di meja kasir. Beomgyu baru hendak pergi ketika gadis yang baru masuk ke dalam kedai menyapanya.

"Oh! Hai! Tidak ku sangka kita bertemu di sini!"

"Oh! Hai, Yeji. Senang bisa melihatmu di sini." Chaeryoung menyapa.

Beomgyu ikut menganggukkan kepala. "Biasanya ku lihat kau di TV. Selamat untuk debutmu!"

Yeji mengibaskan tangan. "Terima kasih, Choi Beomgyu. Kau sibuk? Bagaimana kalau kita-"

Perkataan Yeji terputus karena Beomgyu tiba-tiba mendorong Yeji menjauhi pintu masuk. Belum sempat mencerna apa-apa, sebuah mobil menerobos kaca depan hingga menabrak meja kasir.

"Chaeryoung!"

"Aku tidak apa-apa!" teriak si gadis berambut merah dari balik meja kasir. "Tapi kakiku terjepit."

Beomgyu baru akan berlari ke arah Chaeryoung, tapi terhenti karena seseorang yang keluar dari mobil. Tubuhnya yang kecil namun kekar itu mencuri perhatian Beomgyu. "Kang Taehyun?"

Yang dipanggil menoleh. "Beomgyu?" tanyanya ditengah-tengah nafasnya yang memburu. "Pergi dari sini, sekarang!"

"Kau gila?" Beomgyu mendorong tubuh Taehyun untuk menyingkir. "Chaeryoung terjepit di balik sana!"

Taehyun menoleh ke arah meja kasir yang sudah hancur setengahnya. Pikirannya semakin kalut begitu mendengar kalimat itu. "Chaeryoung- katamu?"

Beomgyu sudah tidak peduli lagi. Ia melompat melewati meja kasir tapi... Chaeryoung tidak ada di sana.

"Mana Chaery?" tanya Beomgyu panik. Ia melirik ke arah pintu dan semakin dibuat pusing. "Mana Yeji?"

"Yeji? Memangnya dia di sini?"

DORR DORR!!!

Sebuah peluru melayang dari arah jalan raya. Beomgyu terpaksa menunduk dan berlindung di balik meja kasir. "Taehyun ke sini!"

Hening.

"Tae?"

Kepala Beomgyu semakin pening. Pasalnya, Taehyun juga menghilang. Nafasnya semakin memburu karena merasa dirinya tertarik oleh sesuatu. Begitu kuat. Hingga tidak ada celah untuk melawan.

Ia memejamkan mata karena cahaya silau menusuk matanya. Tubuhnya semakin terasa berat. Sangat berat. Sampai sesuatu menyedotnya dengan kuat.

Di detik berikutnya, ia mendapati dirinya berada di pegunungan yang tertutup salju.

— 🗡 —

THE AMETHYST: ApricityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang