Kanada, 2022
"Aku yang berhak menentukan tindakan untuk ibu!"
Sang gadis bertubuh kecil dan berambut cokelat panjang itu mengerutkan kening. "Kau hanya menumpang di sini, Choi Soobin!"
"Menumpang, katamu?" Soobin naik pitam. "Aku juga cari uang untuk pengobatan Ibu, Lia!"
Lia mendecak. Ia menatap tajam manik cokelat muda milik saudara kembaranya. "Kau pikir aku hanya diam di rumah dan tidak melakukan apa-apa? Aku bekerja siang dan malam untuk Ibu juga!"
Soobin mendengus. Ia memakai topi bercorak tentara miliknya, kemudian berderap keluar ruangan. Tidak lagi memikirkan kalimat Lia yang terus-terusan mengatakan bahwa Soobin hanya menumpang di sini. Sampai di depan pintu masuk, kalimat yang dilontarkan Lia berhasil membuatnya memutar badan.
"Kau bahkan tidak pernah menunggui Ibu di rumah sakit, Soobin! Kau sama buruknya dengan Ayahmu!"
"Tidakkah kau sadar bahwa ayahku adalah ayahmu juga?"
Lia mendecih. "Ia tidak pernah menjadi ayahku!"
Soobin mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Sejujurnya ia ingin meninju sesuatu, kesabarannya sudah terkuras habis, tapi tidak mungkin ia meninju adik kembarnya ini. Jadi ia memilih untuk berbalik dan membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat sosok laki-laki jakung, berdiri di depan pintu.
"Kebetulan sekali!"
Soobin mengerutkan kening. "Huening Kai? Kenapa kau di sini?"
Si laki-laki jakung itu tersenyum senang. Ia menjejalkan sebuah kartu nama ke dalam sakunya. "Ah, aku sedang pertukaran pelajar ke sini. Aku datang ke rumah sakit untuk menanyakan alamat Dokter Choi. Ternyata benar kalian di sini!"
"Oh, Kai!" Lia menyapa setelah mendorong tubuh Soobin untuk menyingkir dari ambang pintu. "Masuklah! Di luar hujan badai."
Huening Kai mengangguk. Ia melepaskan jas hujannya kemudian meletakkannya di beranda rumah. Ia melewati tubuh Soobin kemudian menepuk pundak temannya beberapa kali. "Ah, sudah hampir empat tahun kita tidak bertemu."
Soobin hanya mengangguk. Pasalnya, atensinya sekarang tertarik pada cahaya menyilaukan dari kejauhan. Keningnya berkerut dalam dan matanya menyipit demi melihat apapun yang berada di bawah hujan itu. Semakin lama, cahaya itu bergerak semakin dekat dan menyilaukan. "Lia?"
Lia menoleh begitu mendengar suara Soobin, tapi anehnya Soobin tidak ada di sana. Topinya tergeletak di lantai. "Anak itu sudah pergi?"
Huening Kai mengangkat wajah. Ia juga dibuat bingung karena Soobin yang tiba-tiba pergi tanpa suara apapun. "Biar aku cek- LIA?" Kali ini ia hampir berteriak karena Lia pun menghilang. Padahal belum ada sedetik tadi ia melihat gadis itu di hadapannya, tapi...
Secercah cahaya menyilaukan begerak mendekat. Terlalu dekat, terlalu menyilaukan, kemudian tubuhnya berpindah dengan sangat cepat.
Di mana ini?
— 🗡 —
"Ryujin dengarkan aku dulu!"
Si gadis berambut pendek yang dikuncir kuda itu menoleh. Ia menatap laki-laki yang selama ini berstatus sebagai pacarnya -tapi sudah berubah menjadi mantan sejak semenit yang lalu-. "Apa lagi, Choi Yeonjun?!"
Yeonjun menghela nafas. Ia menyugar rambutnya yang basah karena hujan. "Ini tidak seperti kelihatannya. Aku sungguh punya alasan."
"Sudah empat tahun dan kau masih belum mengerti?" Nada suara Ryujin meninggi. "Memberi kabar setelah kegiatan dan sebelum kegiatan adalah tindakan yang berbeda. Dan yang aku mau adalah kau mengabariku sebelum kegiatan!"
Yeonjun menarik nafas, tapi ia tidak diberi celah untuk bicara sepatah kata pun.
"Ke Australia tanpa mengabariku? Woah, kau pikir aku cenayang yang bisa membaca isi pikiranmu?" Ryujin masih tidak memberi celah. Persetan dengan orang-orang yang menatapnya tidak suka lantaran ribut di stasiun kereta. "Dan kau pergi bersama Heejin? Woah, kau selingkuh?"
"Biar aku jelaskan-"
"Kalian sedang apa?"
Mereka menoleh ke arah suara. Pemandangan selanjutnya yang mereka tangkap adalah presensi seorang gadis berambut panjang dengan balutan dress putih polos. Ia juga membawa tas belanja berukuran sedang dan segelas kopi di tangannya yang lain. Gadis itu menelengkan kepala karena bingung.
"Shin Yuna?" Yeonjun buka suara. "Sejak kapan kau di sini?"
Sama bingungnya dengan Yeonjun dan Ryujin, Yuna mengidikkan bahu. "Harusnya aku yang bertanya. Kenapa kalian di Paris?"
"Paris? Apa maksudmu?" Ryujin memutar badan untuk melihat papan pengumuman terdekat. "Harusnya aku di Korea k-kan..."
Yeonjun mengikuti arah pandang Ryujin dan matanya ikut melebar. Jadi mereka benar-benar di Paris? Tadi bukannya mereka masuk ke stasiun kereta bawah tanah di Gangnam? Kenapa mereka ada di sini?
"Aneh," bisik Ryujin yang dibalas dengan anggukan oleh sang laki-laki. "Harusnya kita- YEONJUN?"
"Kemana Yeonjun?!" Yuna ikut panik. Ia memutar badan untuk melihat sekeliling stasiun. Siang ini stasiun cukup ramai, jadi cukup sulit untuk mencari seseorang. Tidak menemukan tanda-tanda kehidupan dari Yeonjun, ia berbalik menghadap Ryujin tapi kakak perempuannya itu juga menghilang.
Yuna menggelengkan kepala. Ia menampar pipinya sendiri karena merasa telah salah lihat. Ia menarik nafas dan memejamkan mata. "Mungkin aku terlalu rindu dengan keributan dua orang itu. Makanya aku melihat mereka di sini. Tidak mungkin juga Ryujin ke Paris tanpa memberi tahuku."
"Tapi aku sungguh tidak tahu kenapa aku bisa di Paris."
Yuna memekik kencang dan membuka matanya begitu mendengar suara Yeonjun sedekat ini. Ia bahkan menumpahkan kopinya karena terlalu kaget. Entah sejak kapan ia berpindah, tapi sekarang ia berada di sebuah ruangan kuno penuh dengan gulungan-gulungan kertas. "Di mana kita?!"
"Itu juga pertanyaanku. Di mana kita?!"
Ryujin berdiri. Ia mendekati tumpukan pedang yang ditata rapi membentuk sebuah lingkaran. Ada secercah cahaya yang keluar, namun semakin lama cahaya itu semakin meredup. Matanya beralih ke permata berwarna hijau tua di tengah tumpukan pedang. Ia kenal permata itu. "Sepertinya kita... berada di Amethyst."
"Amethyst?" Yeonjun ikut memerhatikan tumpukan pedang itu. "Aku masih sering berpikir bahwa Amethyst hanya imajinasiku."
"Bodoh. Kalian bahkan kenal di Amethyst enam tahun lalu!" Yuna menimpali. Ia juga bingung dengan keadaan. Seingatnya, Amethyst adalah tempat yang indah, tapi sekarang hanya salju yang ia lihat sejauh mata memandang.
Yeonjun menggaruk tengkuknya. "Aku berusaha kembali tapi selalu saja gagal. Sudah enam tahun dan rasanya aku seperti bermimpi."
"Itu karena kau tidak bisa kembali jika Permata Alexandrite tidak memanggilmu."
Mereka kembali dibuat kaget dengan kehadiran seorang anak laki-laki. Ia melangkah ragu-ragu mendekati mereka. Rambut cokelat keabuan miliknya sedikit berantakan dan basah karena keringat. Sebisa mungkin ia menunjukan senyum terbaiknya sekalipun ia gugup luar biasa.
"Aku Niki. Aku adalah satu-satunya Ametharian yang tidak hibernasi. Aku adalah orang yang membuka portal antara Amethyst dengan dunia kalian. Selamat datang lagi di Amethyst."
— 🗡 —
Yesssss betul Niki yg manggil guyssss👍👍
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AMETHYST: Apricity
Fiksi PenggemarBUKU KEDUA DARI SERIES THE AMETHYST. 𝐀𝐩𝐫𝐢𝐜𝐢𝐭𝐲: 𝐓𝐡𝐞 𝐰𝐚𝐫𝐦𝐭𝐡 𝐨𝐟 𝐭𝐡𝐞 𝐬𝐮𝐧 𝐢𝐧 𝐰𝐢𝐧𝐭𝐞𝐫. -- Lima ribu tahun setelah pecahan Alexandrite disatukan, terjadi kehancuran yang maha dahsyat. Seisi Amethyst membeku, seluruh makhluk...