Soobin menggunakan potongan kayu untuk menyingkirkan rambut dari seonggok tubuh yang tergeletak di tengah hutan. Sedangkan Huening Kai, melangkah takut-takut ke belakang tubuh Soobin.
Lia berjongkok di hadapan seonggok tubuh manusia itu. Jenggotnya yang panjang bergerak seirama dengan dadanya yang naik turun. "Mereka bernafas. Mereka tidak mati, sepertinya tertidur."
"Begitu menurutmu?" tanya Huening Kai.
Jari Lia terulur untuk membuka paksa kelopak mata sang laki-laki. "Pupilnya normal." Kemudian ia memindahkan tangan ke bawah hidungnya. "Nafasnya hangat dan teratur. Aku yakin seratus persen mereka hanya tertidur."
Soobin menghela nafas. Sudah belasan tubuh manusia mereka temukan di dalam hutan salju yang super dingin ini. Beberapa diantara mereka sudah tidak bernafas, mungkin karena hipotermia -dugaan sementara Lia- dan kebanyakan dari mereka masih bernafas layaknya orang tidur.
"Apa lagi yang terjadi di sini?" Lia bermonolog.
"Kau sungguh yakin ini Amethyst?" Huening Kai masih menyangkal bahwa mereka baru saja tertarik oleh sebuah cahaya menyilaukan dan berpindah ke alam dingin ini.
"Pohon di Amethyst berbeda. Mereka bisa bicara jika kau mempelajari setiap gesekan daunnya." Lia menimpali. Ia berdiri untuk mengeratkan jaket kulit yang ia curi dari rumah warga.
"Dan dari mana kau tahu itu?" tanya Soobin.
Lia melanjutkan perjalanan. Disusul oleh dua laki-laki bertubuh jakung itu. "Dewi Winna memberi tahuku." Ia berhenti untuk menyentuh sebatang tanaman liar kecil. "Aku bisa merasakan gesekannya walaupun kebanyakan dari mereka juga sedang tertidur."
Huening Kai mengangguk mengerti. "Alam Amethyst sedang tidur panjang, layaknya seekor beruang di musim dingin."
"Benar," jawab Lia.
"Jangan sok tahu."
Lia memutar badan menghadap Soobin. Keningnya dikerutkan, tanda ia tidak suka dengan kalimat itu. "Kau sungguh ingin cari ribut di sini?"
Soobin mengidikkan bahu acuh. Ia berjalan mendahului Lia.
Sejujurnya, Soobin tidak tahu harus apa dan kemana. Seingatnya, mereka dituntun oleh Sentinel saat terakhir kali ke sini, tapi sekarang nol besar. Tidak ada yang bisa diajak bicara. Entah itu Sentinel atau warga.
Langkah kakinya berhenti begitu melihat air terjun tinggi yang lebih terlihat seperti perosotan es. Ada tebing tinggi yang membagi hutan. Ah, mungkin mereka harus putar arah.
Tapi orang-orang yang terperosok dari atas air terjun cukup membuat Soobin bingung. Pasalnya, ia kenal salah satu dari mereka.
"Ada orang lain yang tidak hibernasi?" Huening Kai bertanya, sama bingungnya dengan Soobin begitu melihat pemandangan itu.
"Tidak," jawabnya. "Itu Yeonjun!"
Mereka sontak lari ke arah sungai beku di bawah air terjun. Tumpukan salju membuat gerakan menjadi sangat lambat. Dan sialnya lagi, seekor mutan burung raksasa muncul dari atas tebing.
"Sembunyi!" Soobin memerintah dan diikut oleh dua orang lainnya untuk bersembunyi di balik pohon besar.
"Itu mutan burung yang pernah kita temui." Lia berbisik.
"Benar. Kita mengalahkannya tapi-" Soobin berhenti sebentar untuk menarik nafas. "Kita tidak bersenjata sekarang."
Maniknya menangkap beberapa orang itu mengendap masuk ke dalam hutan di bawah tebing. Soobin berinisiatif untuk mengikuti gerakan mereka. Selain karena mereka tidak bersenjata sedangkan komplotan orang itu punya pedang, sepertinya ada satu laki-laki yang berasal dari Amethyst.
Masih dengan gaya mengendap-ngendap, Lia berhasil mendekati seorang gadis berambut hitam panjang yang berjalan paling belakang.
"Yuna!"
Yang dipanggil sempat kaget lalu menoleh ke arah suara dengan cepat. "Oh? Lia unnie!"
Yang lainnya langsung menoleh ke belakang. Ryujin menghela nafas. "Bagus. Sekarang kita perlu cari empat orang lagi."
"Kita semua berada di sini?" Soobin bertanya, masih dengan suara yang sangat kecil.
Laki-laki berambut cokelat keabuan itu mengangguk. "Aku memangil kalian semua." Begitu menyadari tatapan bingung dari ketiga orang lainnya, laki-laki itu melanjutkan. "Ah, aku Niki. Akan aku jelaskan lebih lanjut ketika kita sudah di tempat aman karena-"
Kalimat Niki terputus oleh pemandangan sang mutan burung mencabut pohon besar dengan paruhnya karena berhasil mendapati mangsanya.
"Karena ada mutan. Lari!"
Menghindari mutan saja tidak cukup mengingat gerakan mereka jauh lebih lambat dari pada sang mutan. Soobin yang frustasi akhirnya menyetap pedang Yuna dan berlari keluar hutan.
"Orang itu gila, huh?" tanya Yeonjun.
"Terkadang seseorang harus gila untuk menang." Ryujin menimpali. Ia menarik sudut bibirnya. "Ayo menjadi gila."
Ryujin juga ikut berlari menyusul Soobin. Mereka berhasil menarik perhatian sang mutan. Beberapa kali mereka hampir terpatuk oleh paruh besarnya, sampai Soobin berhasil menusuk pedang ke perut sang mutan.
Sang mutan kesakitan, ia berusaha untuk terbang dan pergi dari sana. Tapi karena Ryujin punya hasrat membunuh yang tinggi, ia segera menusukkan pedangnya ke batang leher sang mutan.
Akhirnya sang mutan berhasil dilumpuhkan. Sebelum sang mutan jatuh ke tanah, Soobin mencabut pedangnya dan menusuk tepat di jantung sang mutan. Darah biru mengalir ke pedangnya dengan deras.
Tidak ada pergerakan lagi dari sang mutan. Sejurus kemudian, tubuh sang mutan berangsur-angsur mengecil kemudian berubah menjadi kabut hitam gelap dan menguap ke udara.
"Apa-apaan?" Soobin mengatur nafas. "Dia hanya bayangan?"
"Sebaiknya kita cari rumah warga karena kabut hitam itu sangat berbahaya."
— 🗡 —
"Berkabut."
"Lebih baik hindari karena terakhir kali aku melihat kabut di sini, kabutnya panas." Beomgyu menjawab.
Mereka —Taehyun, Chaeryoung, Yeji— setuju dan mempercepat gerakan mereka. Seperti biasa, Taehyun akan memimpin barisan walaupun sebenarnya ia tidak tahu harus kemana. Beomgyu berjalan paling belakang untuk berjaga-jaga.
Salju di sini jauh lebih tebal dari pada di pegunungan tadi. Di bawah sini juga jauh lebih dingin. Mungkin karena sinar matahari tidak dapat menjangkau tempat-tempat seperti ini.
"Dingin sekali," keluh Yeji sambil merapatkan jaketnya yang tipis.
"Aku tidak ingat Amethyst bisa sedingin ini," timpal Chaeryoung. "Rasanya kakiku mati rasa."
Mendengar itu Taehyun menoleh. Membuat Chaeryoung yang berjalan di belakangnya berhenti. "Kau bisa jalan?"
"Apa pedulimu?"
Taehyun mendengus. Susah sekali berbicara dengan gadis ini. Well, Lee Chaeryoung berubah sejak Taehyun ingin hubungan mereka berakhir. Mungkin ini semua salahnya karena menghilang begitu saja. Pada akhirnya, semesta selalu punya cara untuk menyatukan mereka berdua dan Taehyun tidak suka itu.
Kabut hitam akhirnya membungkus. Awalnya tidak ada yang aneh sampai Chaeryoung terjatuh dan panik. "Aku tidak bisa melihat!"
Yeji baru akan membantu Chaeryoung berdiri ketika sekumpulan orang berseragam hitam keluar dari kabut. Mata mereka hitam legam. Di tangan mereka terdapat panji-panji dan panahan panjang.
"Oh, sialan."
— 🗡 —
Taehyun kang ghosting *kompor* bercanda ding
Jujur bingung, haha hihi haha hihi mangkring di rank #19 chaeryoung😭 makasi udah baca buku ini yaaaa semoga tidak mengecewakan
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AMETHYST: Apricity
FanfictionBUKU KEDUA DARI SERIES THE AMETHYST. 𝐀𝐩𝐫𝐢𝐜𝐢𝐭𝐲: 𝐓𝐡𝐞 𝐰𝐚𝐫𝐦𝐭𝐡 𝐨𝐟 𝐭𝐡𝐞 𝐬𝐮𝐧 𝐢𝐧 𝐰𝐢𝐧𝐭𝐞𝐫. -- Lima ribu tahun setelah pecahan Alexandrite disatukan, terjadi kehancuran yang maha dahsyat. Seisi Amethyst membeku, seluruh makhluk...