Tok! Tok! Tok!
Aku sedang memasak nasi goreng cumi-cumi di dapur, warnanya merah tidak hitam. Karena tinta cuminya benar-benar sudah aku bersihkan tadi, selepas pulang dari pasar.
Jam dinding di dapur---baru menunjukan pukul sembilan. Apa Fano sudah tiba? Aku mematikan kompor yang sudah selesai masak sebenarnya. Waktu yang tepat.
Dengan masih menggunakan celemek, aku berjalan ke depan rumah. Memang gerbang rumah tidak aku kunci, supaya nanti Fano datang langsung bisa masuk. Tanpa berteriak.
"Hei, sayang. Kirain Ibu kamu sampai jam sepuluh," ucapku sesaat setelah membuka pintu.
Fano langsung memberikan pelukan hangat untukku, aku juga demikian. Segera berjongkok supaya bisa memeluknya juga---akhirnya rasa rindu ini sudah tuntas terbayar.
"Ibu bikin nasi goreng?" Fano membisikan pertanyaan ini di telinga kiriku.
Pak Andika hanya berdiri di belakang Fano, sambil membawa tas ransel milik anakku.
"Iya, kamu lapar bukan? Karena habis melakukan perjalanan jauh dari Malang," aku melepaskan pelukannya dan mencium kedua pipi Fano.
Memang, usiannya terus bertambah. Tetapi dia masih menjadi seorang anak kecil di mataku.
"Pak, ayo masuk. Ikut sarapan juga," aku mengangguk ke Pak Andika.
Tidak, bukan seperti yang kalian pikirkan. Pak Andika tidak ikut tidur di rumah. Melainkan memilih mencari sebuah losmen yang akan ditinggalinya selama satu pekan ke depan.
Ya, ini hari Minggu. Fano memang sedang liburan pertengahan semester, jadinya dia bisa lama di Surabaya.
Kami bertiga duduk lesehan di ruang tengah, karena memang tidak ada meja makan di sini. Aku segera mengambil nasi goreng cumi yang sudah kupindah ke bakul nasi plastik.
"Bagaimana sekolahmu, Fano?" Aku berbicara sambil mengambilkan nasi goreng itu---memindahkannya ke dalam piring.
"Alhamdulillah, nilai rapor yang diambilkan Nenek kemarin. Hasilnya memuaskan, Bu." Fano tersenyum bangga.
Dia berlari mengambil tas yang tergeletak di ruang tamu, mengambil buku kecil berwarna hijau. Laporan hasil belajar, milik Fano.
Memang, aku meminta mertuaku untuk datang ke sekolah Fano, supaya bisa menerima rapor yang diberikan guru. Dan, secara tidak langsung bisa melihat serta mendengar kepandaian cucunya. Tidak seperti Elano, yang hanya bisa menyakiti hati orang lain saja.
Fano berjalan pelan kembali duduk di dekatku. Aku tidak mengambilkan nasi untuk Pak Andika, supaya dia mengambil sendiri dan cocok seperti porsinya.
Aku membuka buku hijau itu, ternyata benar. Nilai Fano rata-rata sembilan semua, dari dua belas mata pelajaran. Tidak ada yang dibawahnya sembilan.
"Pertahankan Nak," aku mencium kening Fano yang sudah mulai melahap nasi goreng kesukaannya itu.
Fano menoleh ke arahku, hanya mengangguk. Karena mulutnya sibuk mengunyah.
"Saya nanti mau cek ke semua tempat Bu, mau lihat bagaimana perkembangannya," ucap Pak Andika sebelum menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya sendiri.
"Boleh, Pak. Nanti saya juga mau milih CV yang masuk. Untung barang-barang toko dan peralatan resto gimana Pak?" Aku juga berbicara sambil mengunyah.
Tidak baik memang, makan sambil mengobrol. Daripada kaku, malah tidak enak juga.
"Untuk keperluan toko barangnya akan jalan ke sini besok. Dua toko dahulu Bu, soalnya kita juga pakai dua mobil. Kalau peralatan resto," Pak Andika berhenti berbicara, karena masih ada makanan masuk di mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Istimewa Untuk Suamiku 1 (Dewasa)
General FictionVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! "Bangkai itu tidak bisa ditutupi, Mas!" Stefa Azika Isabella, pemilik Toko 29 sedang menyelidiki secara diam-diam perselingkuhan suaminya Elano Kenzo Gautama---dibantu oleh asisten pribadinya. Perselingkuhan Elan...