"Astaga, Fano belum bangun?"
Aku membuka kamar Fano yang tidak dikunci oleh penghuninya. Kulihat laptopnya masih menyala di atas meja belajar.
Aku berjalan ke arah benda elektronik itu, ternyata dia baru saja menulis. Mungkin tadi malam.
"Fan, Fano. Bangun, waktunya sekolah. Jam berapa ini!" Aku berbicara sedikit kencang sambil mematikan laptop milik anakku.
Fano masih tidak bergeming, aku segera membuka tirai berwarna hitam itu. Supaya cahaya dari luar rumah masuk.
Fano, ketika kuginikan dia akan langsung mengerjapkan mata. Tetapi sekarang tidak. Dia masih tidur tengkurap dengan sarung biru serta baju koko masih melekat di tubuhnya.
"Fan, bangun Nak. Lho! Badanmu kok panas," aku menyentuh dahi Fano. Benar-benar panas.
Aku langsung panik, selain tubuhnya panas. Wajah Fano sedikit pucat. Kenapa? Tiga hari menjelang pernikahanku dengan Arlo ada ujian.
Aku kembali berlari ke kamar, mencoba menghubungi Arlo. Dengan maksud untuk meminta tolong mengantar ke rumah sakit.
"Ayo dong, Mas. Angkat," aku mondar-mandir di depan kamar Fano.
Ini memang bukan kali pertama aku mengurus Fano sakit. Tetapi dulu hanya flu dan batuk biasa. Tidak sampai pucat seperti sekarang.
Panggilan pertama masih tidak di angkat oleh Arlo. Dia apa belum bangun tidur? Kucoba menghubunginya lagi. Akhirnya diangkat.
"Maaf, Ste. Habis olahraga di depan. Hpku ketinggalan di kamar," jawabnya.
"Antar aku ke rumah sakit," aku langsung berbicara pada intinya.
Tanpa menunggu aku mematikan panggilan, Arlo sudah lebih dahulu melakukannya. Dia mungkin segera meluncur ke rumah.
Aku masuk ke kamar Fano lagi, tidak mungkin dia ke rumah sakit masih mengenakan sarung dan baju koko.
Aku segera melucuti pakaiannya, Fano bergeming dengan mata yang mulai terbuka.
"Kita ke rumah sakit, kamu bisa ganti baju sendiri?" Tanyaku, Fano masih mengenakan sarung saja.
"Bi-bisa, Bu," Fano mencoba duduk. Dia memegangi kepalanya terus.
"Kamu pusing?" Aku memberikan kaus dan celana piyama biasa dia pakai tidur.
Fano hanya mengangguk, kemudian aku kembali ke kamarku untuk bersiap-siap. Perutku sebenarnya lapar, tadi baru saja masak dengan Surti.
Tetapi setelah melihat anakku lunglai tidak berdaya gini. Tiba-tiba rasa lapar itu hilang seketika.
"Sur, Surti," aku teriak di anak tangga.
Surti yang dari arah dapur, dia berlari mendekatiku. "Kenapa, Bu?"
"Ibu mau ke rumah sakit, nanti biar Pak Andika saja yang ke sini ngambil undangan buat karyawan ya." Ucapku dengan tatapan panik.
Surti yang berdiri di lantai bawah dia juga tampak kaget dan kebingungan. Mungkin dia mengira aku yang sakit, padahal di matanya aku berdiri tegak tanpa kelihatan sakit.
"Fano Sur, bukan Ibu yang sakit," aku menyimpulkan.
"Iya, Bu. Nanti kalau Pak Andika ke sini biar saya berikan undangannya." Surti mengangguk.
"Ayo Mas! Kita segera berangkat," Aku menyambut Arlo dengan kebingungan. Tidak sampai seperempat jam---dia sudah sampai.
Arlo mengangguk, kami berdua langsung naik ke atas. Mengambil Fano di kamarnya dan membawa keluar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Istimewa Untuk Suamiku 1 (Dewasa)
General FictionVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! "Bangkai itu tidak bisa ditutupi, Mas!" Stefa Azika Isabella, pemilik Toko 29 sedang menyelidiki secara diam-diam perselingkuhan suaminya Elano Kenzo Gautama---dibantu oleh asisten pribadinya. Perselingkuhan Elan...