Dalam perjalanan menuju Pengadilan Agama, pikiranku benar-benar berputar terus. Bukan pekara nasibku yang sebentar lagi menjadi seorang janda dengan satu anak.
Melainkan, penasaran dengan sosok suami Indri ini. Yang, tidak diketahui batang hidungnya sampai saat ini.
"Pak Andika, tahu soal suami Indri?" Aku bertanya dari balik kursi penumpang belakang.
Pak Andika sejenak berpikir, sambil terus fokus ke jalan raya. Dia mungkin sedang mengingat sesuatu, apa pernah bertemu dengan suaminya Indri atau tidak?
Kemudian dia menggeleng, "dari dulu, saya tidak pernah melihat suaminya Indri Bu."
Oke? Kamu bisa mendengarnya? Bukan aku saja berarti yang tidak mengetahui ihwal suami Indri ini. Ya, tetap ada dua kemungkinan. Masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Jika masih hidup, jelas. Dia tinggal bersama Indri. Karena memang mereka suami dan istri. Tetapi kalau sudah meninggal dunia, pengin sekali rasanya aku melayat dan bercerita kepada dia. Walau sia-sia, pasti tidak ada reaksi.
Hidup memang membuat kita harus selektif dalam memilih sesuatu, termasuk pasangan hidup. Meski kita semua tidak sempurna, bukan berarti kita harus asal memilih. Kualitas dan kuantitas. Bibit, bebet dan bobotnya juga bisa menjadi bahan pertimbangan.
"Kapan-kapan kita coba selidiki, ya."
"Baik, Bu."
Aku bersiap-siap karena mobil sudah sampai ke dalam gedung Pengadilan Agama. Tempat yang banyak dibenci oleh semua pasangan, kini aku malah dengan senyum ranum---bahagia berjalam menuju ke dalam. Untuk mengambil nomor antrean.
Angka 12 sudah aku dapatkan, kini tinggal menunggu nomor ini di panggil. Sembari melihat-lihat gawaiku, kucari nomor Pras---dan, mulai mengetikan sesuatu.
Stefa: sebentar lagi, saya mau ke sana. Tolong siapkan surat izin perusahaan ya.
Terkirim. Kumasukan lagi gawaiku, dan menunggu nomor dipanggil. Pengadilan agama kali ini sedikit sepi, hanya ada beberapa pasang orang yang sedang menunggu untuk masuk ke dalam ruang sidang. Sisanya---menunggu untuk melengkapi administrasi.
Pandanganku tertuju pada salah satu pasangan yang baru saja keluar dari ruang sidang pertama, hanya ada satu pasang. Perempuan dan laki-laki, masih muda. Tidak didampingi oleh pengacara dan lain-lain.
Terlihat wajah sumringah tercetak dari laki-laki yang kutebak usianya sekitar duapuluh lima. Dia tersenyum seperti bebannya baru terangkat. Sedangkan, yang perempuan malah murung.
Mungkin, perempuan itu sedih ditinggal oleh laki-laki itu. Memang, mantan suaminya itu memiliki tubuh yang bagus dan maskulin.
Nomor dua belas, silakan menuju loket dua.
Lamunanku dibuyarkan dengan suara panggilan yang keras dari sound yang tertempel di dinding. Aku segera membawa berkasku menuju loket tiga.
"Ada yang bisa saya bantu?" Jawab seorang laki-laki yang berseragam hijau tua itu.
"Saya, mau menyerahkan berkas gugatan cerai kepada suami saya Elano Kenzo Gautama," aku mendorong berkas itu maju. Karena kami dihalangi oleh sekat tinggi.
Tidak ada drama, air mata, penyesalan. Ketika aku selesai pada urusan di pengadilan. Selayaknya sinetron-sinetron di televisi---karena kehidupan nyatanya tidak seiindah yang dibayangkan oleh orang lain.
Orang lain di luar sana, hanya bisa menilai sesuatu yang tidak pernah mereka alami sendiri.
Seusai mengurus administrasi, aku segera keluar dan memberikan id card itu kepada satpam yang berjaga. Tinggal menunggu panggilan sidang.
![](https://img.wattpad.com/cover/290054471-288-k649485.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Istimewa Untuk Suamiku (Dewasa)
Fiksi UmumVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! "Bangkai itu tidak bisa ditutupi, Mas!" Stefa Azika Isabella, pemilik Toko 29 sedang menyelidiki secara diam-diam perselingkuhan suaminya Elano Kenzo Gautama---dibantu oleh asisten pribadinya. Perselingkuhan Elan...